Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

30 Tahun lebih "Nasi Lengko H Barno" Cirebon

Paket lengkap sate, nasi lengko, dan sepiring kecil tahu gejrot yang siap disantap. (foto: tis)  Tigapuluh tahun berlalu, kedai kuliner Nasi Lengko milik Haji Barno tidak berpindah tempat juga tidak merubah racikan bumbunya. Itulah mengapa tempat ini sangat mudah ditemui, dan akrab kepada para pengelana rasa, khususnya pemuja kuliner lokal dari berbagai kota lainnya. Kesempatan pertama saya mencicipi nasi lengko H Barno pada Minggu (19/11/2017) ketika bersama rombongan JK Mania (penggemar Judhi Kristianto Records) dan enam wartawan musik era tahun 80-an plus Wahyu OS (pencipta lagu "Senandung Doa" yang kini berbisnis pertanian)  diajak berkeliling  kota Purwakarta, Subang hingga Cirebon. Kami merasakan sensasi berada di perkebunan buah naga dan durian sampai kulineran di kota kelahiran produser rekaman berusia 81 tahun itu. Para wartawan senior itu adalah Dimas Supriyanto, Alex Palit, Amazon Dalimunthe, Agusblues, Ary Sanjaya dan Herman Wijaya. Saya paling junio

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala

Off Road membelah Bukit Menoreh, Kulon Progo

Sabtu, 4 November 2017, saya mengikuti kegiatan lintas alam menunggang mobil jeep khusus Off Road di Bukit Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengalaman pertama ini saya tunggu-tunggu. Terbayang lintasan berbatu cadas, sungai, tanah berlumpur serta kontur jalan meliuk-liuk di perbukitan. Jeep yang dimodifikasi mengganti ban standard dengan radial, serta bagian kap yang dibongkar diharapkan mengatasi persoalan di lapangan. Perjalanan pagi berembun itu dimulai dari garis start di Rimbono Homestay, Desa Nglinggo. Suhu udara sekitar 16-18 derajat celcius, ketika terdengar adzan subuh. Saya bergegas bangkit dari kasur yang tergelar di lantai kayu untuk membuyarkan rasa penat dan panggilan alam agar sebaiknya tidur lagi. Suara jangkrik dan katak syahdu terdengar sejak saya beringsut tidur, setelah melumat beberapa biji durian kampung setempat tadi malam. Rumah kecil (kapasitas dua orang) dari bahan kayu dengan ornamen dua jendela kaca, satu kamar mandi kecil dan

Film "Marlina" dan sup ayam yang mematikan

Film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak  bukanlah adaptasi kisah-kisah bijak di dalam buku laris "Chicken Soup for the Soul". Tapi ada kesamaan tentang kejutan dan pencerahan setelah menikmatinya (baca: menontonnya). Sup ayam racikan Marlina di film karya Mouly Surya ini lebih menyesapkan aroma dan panorama khas Sumba. Kearifan lokal ditampilkan berupa dialek para pemainnya juga busananya, utamanya kuda yang sangat ikonik. Marlina adalah perempuan mandiri dengan sedikit bicara. Diperankan aktris Marsya Timothy yang cenderung lebih terlihat bule dibandingkan perempuan lain di desa sepi itu. Sikap diam Marlina yang juga jarang tersenyum bukan tanpa alasan. Dia menyimpan luka dan duka, strategi, kepiluan, sekaligus kejengkelan terhadap lingkungan sosialnya; yaitu mahluk laki-laki bandit yang mengancam diluar sana. Tidak ada lelaki baik bagi Marlina saat ini, kecuali Topan anaknya yang tinggal nama di batu nisan. Suaminya juga mati, dan belum sempat dia kubur. Maya

Mengheningkan cipta untuk FFI 2017

Menjelang landing di Bandara Sam Ratulangi.  Perjalanan dengan pesawat Garuda Indonesia menuju Bandar Udara Sam Ratulangi di Manado, Jumat (10/11/2017) pagi cukup istimewa. Ini perjalanan pertama saya ke kota Tinutuan itu dan akan menginap selama tiga hari kedepan. Pesawat berangkat tepat waktu, jam 06.00 dari Gate 16, Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno Hatta di Jakarta.  Keberangkatan kali ini untuk memenuhi undangan Ketua Panitia Festival Film Indonesia (FFI) 2017, Leni Lolang. "Ajak juga Herman Wijaya, ya?" usul saya pada Leni Lolang di Whatsapp beberapa hari sebelum berangkat. "Sebetulnya kita mengundang 20 media, yang mainstream sudah banyak dan media partner. Herman saya cekin ke sekretariat," lanjut Leni. Leni menawarkan, persisnya dia bertanya: "Imam sudah terdaftar apa belum namamu di sekretariat?", tanya dia sebelum saya menjawab dan mengajukan nama Herman yang juga sudah dikenalnya. Herman satu-satunya wartawan film yang