Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Sibad, Dangdut dan Dolar

Seorang teman berbisik, tepatnya dia berbicara pelan pada saya saat menyaksikan Wishnutama bersalaman dengan Arief Yahya di Gedung Sapta Pesona, Jakarta pekan lalu. "Kok, pasar bereaksi negatif di saat presiden mengumumkan Kabinet Indonesia Maju?" katanya. Matanya bolak-balik menatap saya dan gawai di tangannya. Rupanya dia berusaha menjelaskan 'reaksi negatif' pasar saham yang dimaksud, dengan menunjukkan data dari laman Bursa Efek Jakarta. Saya menanggapi seadanya dengan bersuara sama pelannya dengan dia. "Mungkin reaksi sesaat saja," kata saya sok menganalisa bursa saham hari itu. Tapi Selasa (29/10/2019) sore ini ketika kantor bursa saham mulai ditutup, saya menyusuri posisi kurs dolar terhadap rupiah, yang ternyata 1 US Dollar setara dengan Rp14.040. Nominal itu mari kita jumlahkan dengan hitungan-hutungan sebagai berikut; 548.000.000 x 14.040 = 7.693.920.000.000. Kemudian dibagi 1000, yang hasilnya adalah 7.693.920.000. Angka tersebut ada

Perdebatan tentang rindu sepakbola

Keberuntungan harus dikejar. Petuah itu tidak meleset ketika saya dan rekan Herman Wijaya bertandang ke 'kandang ayam' di Rawamangun pada Rabu (25/9/2019) sore. Kami penasaran ingin melihat dua legenda jurnalis sepakbola, Cocomeo dan Sawung Sakti Umbaran adu argumentasi melanjutkan pertengkaran mereka di facebook beberapa hari lalu.  Rumah bertingkat di Jl Daksinapati (tak jauh dari Masjid At Taqwa) itu menjadi titik temu, yang dijanjikan oleh mbah Cocomeo selaku tuan rumah. Di ruang tamu lantai atas, saya dan Herman merancang skenario, mengatur posisi duduk untuk merekam perdebatan nanti. Selepas adzan Isya, terdengar suara kayu dipukul dari luar ruangan, ternyata itu ketukan salam dari Bang Sakti. Kedua jurnalis senior itu saya kenal dalam intensitas yang cukup, namun pada waktu dan tempat berbeda. Sakti Sawung Umbaran adalah anak tokoh pahlawan perfilman pendiri dan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia pertama tahun 1956, Soerjo Soemanto. Kami sering bertemu sewaktu

"Manhattan Transfer" dan foto wartawan Amazon di "Warkop DKI Reborn 3"

Jelang tidur semalam, saya menyalakan Youtube , memutar lagu-lagu The Manhattan Transfer . Dari sekian lagu, Chanson D’Amour terasa melekat di hati; saya putar empatkali karena memenuhi unsur relaksasi. Lagu lainnya lebih dinamis dan kurang sopan memasuki gendang telinga diatas jam 12 malam. Kuartet Cheryl Bentyne, Tim Hauser, Alan Paul, dan Janis Siegel bernyanyi dengan teknik ‘memecah vokal’ mereka menjadi empat warna dalam satu tarikan harmonis, selaras. Asik. Lalu berharap, semoga bangun tidur pagi, badan segar kembali. Grup tone jazz asal Amerika bentukan tahun 1969 ini merupakan panutan grup dari Bandung, Elfa’s Singers dan juga Chaseiro . Gaya dan teknik bernyanyi Manhattan Transfer mereka transformasi menjadi skill khusus. Lima tahun lalu, saya senang mendengar CD MP3 kompilasi lagu-lagu lawas 1960an, di dalamnya termasuk lagu Chanson D’Amour . Grup ini pernah ke Jakarta beberapa kali, tampil di sejumlah kota di Indonesia tahun 1996. Konser pertama mereka wakt