Keberuntungan harus dikejar. Petuah itu tidak meleset ketika saya dan rekan Herman Wijaya bertandang ke 'kandang ayam' di Rawamangun pada Rabu (25/9/2019) sore. Kami penasaran ingin melihat dua legenda jurnalis sepakbola, Cocomeo dan Sawung Sakti Umbaran adu argumentasi melanjutkan pertengkaran mereka di facebook beberapa hari lalu.
Rumah bertingkat di Jl Daksinapati (tak jauh dari Masjid At Taqwa) itu menjadi titik temu, yang dijanjikan oleh mbah Cocomeo selaku tuan rumah. Di ruang tamu lantai atas, saya dan Herman merancang skenario, mengatur posisi duduk untuk merekam perdebatan nanti. Selepas adzan Isya, terdengar suara kayu dipukul dari luar ruangan, ternyata itu ketukan salam dari Bang Sakti.
Kedua jurnalis senior itu saya kenal dalam intensitas yang cukup, namun pada waktu dan tempat berbeda. Sakti Sawung Umbaran adalah anak tokoh pahlawan perfilman pendiri dan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia pertama tahun 1956, Soerjo Soemanto. Kami sering bertemu sewaktu ngantor di grup koran Poskota, Kawasan Industri Pulogadung antara 1991-2006.
Selebihnya karena tempat kesibukan yang berbeda, kami tidak pernah bertemu. Kalaupun bertemu biasanya di acara Hari Film Nasional 30 Maret ketika masyarakat film ziarah ke makam tokoh perfilman H Usmar Ismail, Djadoeg Djadjakoesoema, dan Soerjo Soemanto di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Pertemuan di kandang ayam kemarin adalah keberuntungan buat saya, karena bertemu Bang Sakti yang tetap enerjik dan nyentrik; perpaduan dari sikap keras kepala, kelotokan dan agak mbalelo. Caranya berjalan dan bicara memang seperti jagoan di film-film koboy. Mungkin sudah bawaan dari sono. Hehe.
Sementara, mbah Cocomeo saya kenal belum genap 1,5 tahun. Tapi intensitas pertemuan saya cukup tinggi dengan lelaki asal Semarang, penggagas acara Planet Football di RCTI itu. Maka, saya berani tulis bahwa keduanya punya karakter yang mirip, 11-12. Beruntunglah saya mendengar langsung perdebatan mereka soal sepakbola sekitar dua jam, temasuk turun makan dan minum.
Hampir semua lini tentang sepakbola dibuka blak-blakan. Begitu transparan dan vulgar. Obrolan mereka adalah informasi berdasarkan saripati pengalaman puluhan tahun. Keduanya ibarat pustaka sepakbola berjalan yang menerangkan sisi gelap sepakbola, tentang PSSI, calon ketua PSSI, para mafia dibelakang klub sebagai penentu skor, kenakalan wartawan sepakbola, dan lainnya. Saya merasa jadi pelanduk diantara dua gajah.
Yang menarik, cerita di masa lalu sekitar tahun 1980an yang ternyata keduanya berada satu tim sepakbola wartawan. Jauh sebelum jadi wartawan mereka adalah pemain klub. Jadi, merekalah generasi wartawan sepakbola yang berlatar pemain sepakbola. Bola mendarah-daging dan menjadi isu utama setiap harinya. Semangat keduanya sama, merindukan kemajuan sepakbola Indonesia.
Tetapi yang cukup mengejutkan, ada aroma kerinduan lain diantara keduanya dalam obrolan semalam. “Jadi, gua bertanya soal tulisan lu di facebook kemarin itu, ya untuk kebaikan sepakbola seperti yang juga lu pikirin. Lagian, kalau gua enggak bertanya begitu, lu kan enggak ngundang gua kesini. Kapan bisa ketemunya?” kata Bang Sakti, sebelum kami melanjutan berdebat di meja rumah makan padang Sederhana samping Pasar Sunan Giri, Rawamangun.**
26 September 2019
Komentar
Posting Komentar