Langsung ke konten utama

30 Tahun lebih "Nasi Lengko H Barno" Cirebon

Paket lengkap sate, nasi lengko, dan sepiring kecil tahu gejrot yang siap disantap. (foto: tis) 
Tigapuluh tahun berlalu, kedai kuliner Nasi Lengko milik Haji Barno tidak berpindah tempat juga tidak merubah racikan bumbunya.

Itulah mengapa tempat ini sangat mudah ditemui, dan akrab kepada para pengelana rasa, khususnya pemuja kuliner lokal dari berbagai kota lainnya.

Kesempatan pertama saya mencicipi nasi lengko H Barno pada Minggu (19/11/2017) ketika bersama rombongan JK Mania (penggemar Judhi Kristianto Records) dan enam wartawan musik era tahun 80-an plus Wahyu OS (pencipta lagu "Senandung Doa" yang kini berbisnis pertanian)  diajak berkeliling  kota Purwakarta, Subang hingga Cirebon.

Kami merasakan sensasi berada di perkebunan buah naga dan durian sampai kulineran di kota kelahiran produser rekaman berusia 81 tahun itu.

Para wartawan senior itu adalah Dimas Supriyanto, Alex Palit, Amazon Dalimunthe, Agusblues, Ary Sanjaya dan Herman Wijaya. Saya paling junior diantara mereka.

Menurut pak Judhi, rumah makan H Barno sangat legendaris. Setiap ke Cirebon, dia mampir bernostalgia makan nasi lengko di sini.

Sementara kang Wahyu OS sudah 20 tahun tidak makan di tempat ini. "Surprised. Saya beberapa kali ke Cirebon pingin makan di sini gak pernah kejadian, eh baru sekarang. Ini tempat bersejarah," katanya sambil menguntal sate bumbu kecap.

***

Di bagian depan warung berkapasitas 25-30 pengunjung itu terdapat gerobak (dipakai sebagai dapur) dan pemanggang sate yang selalu membara.

Bu Tini. (foto: tis) 

Warung legendaris itu. (tis) 
Maka jika sedang 'on duty' membakar sate, kepulan asapnya tidak sampai melesak ke dalam warung tapi hanyut terseret arus udara luar. Dijamin acara makan anda jadi aman dan nyaman.

Sebetulnya, tidak ada yang teristimewa dari nasi lengko racikan pak H Barno (sudah almarhum tahun 2014 kemudian dilanjutkan oleh Tini, keponakannya).

"Dulu sebelum menetap di sini, warung kita di emperan jalan," kata Tini waktu ditanya kisah perjalanan warung H Barno.

Tini menjawab pertanyaan saya di sela dia melayani para pengunjung yang selesai makan dan bergantian menyerahkan sejumlah uang bayaran kepadanya. Tini adalah generasi ke-3 pengelola warung itu dan ditugaskan sebagai kasir.

Dari hasil olah TKP dan 'investigasi', saya mendapatkan petunjuk harga sejumlah item. Nasi lengko sepiring Rp13.000, sate kambing 10 tusuk Rp40.000, tahu gejrot seporsi Rp10.000.

Berdasarkan hasil penelusuran sejarah dari berbagai literatur (ditulis begini supaya terkesan akademis) nasi lengko adalah nasi sederhana (benar-benar sederhana, bukan nasi 'sederhana'-nya milik sodara dari Padang itu).

Asalnya sega lengko (bahasa Jawa), nasi lengko adalah makanan khas masyarakat pantai utara (Cirebon, Indramayu, Brebes, Tegal dan sekitarnya).

Meski sederhana, nasi lengko sarat kadar protein, serat dan rendah kalori karena memakai bahan-bahan yang 100% non-hewani. Bahan-bahannya antara lain: nasi putih (panas-panas lebih baik), tempe goreng, tahu goreng, mentimun (mentah segar) semua dicacah, tauge rebus, daun kucai (dipotong kecil-kecil), bawang goreng, bumbu kacang (seperti bumbu rujak, pedas atau tidak, tergantung selera), dan kecap manis.

Rombongan JK Mania dan pak Judhi Kristianto (nomer 3 di sisi kiri meja). (tis) 
Umumnya kecap yang dipakai adalah kecap manis encer, bukan yang kental. Lalu disiramkan ke atas semua bahan.

Tempe dan tahu goreng potongan kecil diletakkan di atas sepiring nasi. Diatasnya ditaburi mentimun cacah, toge rebus, dan disirami bumbu kacang di atasnya, ditambah potongan daun kucai, lalu diberi kecap secukupnya sampai kecoklatan. Ditambah bawang goreng dan sekeping kerupuk aci putih, yang bundar atau kotak, menjadi kondimennya.

Sebagian orang suka melumuri kerupuk dengan kecap, sebelum mulai dimakan. Ada juga yang suka meminta nasi lengkonya diberi seujung sutil atau dua minyak yang dipakai untuk menggoreng tempe dan tahu.

Supaya lebih mantap di lidah, biasanya makanan ini disajikan dengan ditambah 5 atau 10 tusuk sate kambing yang disajikan secara terpisah di piring lain.

Yang agak unik, jenis kecap yang cocok di warung H Barno sangat spesifik, buatan lokal merek "Matahari".

"Pernah dicoba pakai kecap merek lain, termasuk yang namanya terkenal seperti kecap merek tetot dan tetot (tetot itu suara sensor gambar ucapan vulgar, biasa di acara televisi), pengunjung berkurang drastis. Terus pakai yang ini sampai sekarang," jelas Tini sambil matanya mengarah ke deretan botol kecap.

Nah, bagi penggemar sate kambing muda, warung H Barno juga menyiapkan racikan khusus. Apa saja bumbunya? "Rahasia dapur," kata si abang sate sambil terus mengipas panggangannya.

Ya, sudahlah. Karena rahasia, saya lebih baik menikmati rasa satenya saja.  Kalau saya tahu, takut gak mau datang kesini lagi ya?**



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala