Langsung ke konten utama

Apes atau sue’ kata orang Betawi

Kita pasti punya persoalan hidup dari yang ringan sampai berat tak terangkat. Tapi, pernahkah anda alami yang dalam terminologi orang Betawi atau Jakarta lama disebut sebagai kondisi sue’, alias apes atau sial? Inilah momen histeris yang dapat membuat 'tergila-gila’...

Ini pengalaman saya. Malam sebelum tidur, lampu penerang kamar saya putus. Mau beli gantinya di toko sudah tutup. Jadi, saya putuskan beli lampu besok sambil antar istri ke pasar.

Paginya, tubuh terasa segar. Karena ini hari Minggu. Kata bang Rhoma Irama harus dibawa santai. Nyok kita santai..

Jam 09.00 saya siap beli lampu + mengantar juragan mami ke pasar. Motor saya starter, sekali injak pedal langsung hidup. Saat saya nemplok di jok motor terasa ada yang tidak beres. Saya tengok ke arah bawah belakang, ternyata ban belakang motor kempes.

Pagi itu saya pergi ke penambal ban yang berjarak sekitar 1000 meter. Beres langsung jemput 'klien' di rumah.. Singkat cerita, saya dapat lampu baru dan siap dipasang mengganti yang putus.

Di saat mau pasang lampu baru, anak lanang saya berteriak dari kamarnya di lantai atas: “Pah, kipas anginnya mati nih..” Sementara sang mama dari dapur setengah menjerit, “Yaa.. kompornya mati. Gasnya habis nih, pih. Gimana dong?.”

Rencana menikmati hari libur pagi yang diberikan Tuhan untuk bersantai, ternyata sebaliknya. Ehm, ini penundaan saja mungkin. Ya, harus berpikir positif sajalah. 

“Sana bawa kipas angin ke tukang servis terdekat, papa mau cari gas ke warung,” kata saya pada anak lanang.

Lampu kamar belum terpasang, saya sudah harus melanglang kampung mencari gas yang tidak saya temui di beberapa warung dekat rumah. Mereka kehabisan stock. Kiriman belum datang.. Sambil lenggang membawa tabung gas hijau, saya kembali ke rumah tanpa hasil.

Saya harus membeli gas di agen SPBU atau tempat lain, yang mungkin masih punya stock gas tabung ukuran 15 kg itu. Beruntung, saya dapat satu tabung di SPBU dan membelinya. Pulang dengan riang gembira.

Anak wedhok paling kecil yang tadi masih tertidur kini sudah rapi sambil asyik nonton tivi. Rupanya acara tivi selesai dan dia menagih janji saya untuk main gitar menyanyi lagu-lagu kesukaannya. Ok-ok, never mind. Siapa takut main gitar? Papa emang mau santai, kok..  

“Ayo ambil gitar di kamar,” kataku pada si kecil yang dengan mengikuti di belakang. Maka ‘konser’ dimulai.. jreeeng!. Tiba-tiba terdengar nada sumbang, “Crepet!”, Olala.. tali senar gitar no. 6 putus dalam sekali tarikan. “Yaelah, ada-ada aja..”

Meneruskan gitaran, kok gak enak di kuping dan di jari-jari saat memetik senar, terasa janggal. Kalau mau nyaman, ya harus beli senar gitar lebih dulu. Terbayang toko penjual alat-alat gitar yang berjarak sekitar 10 menit dari rumah. Mood  berkesenian langsung dropp.

Situasi mendadak serba salah ini pernah saya alami di lain waktu, Ketika laptop kerja tiba-tiba hang di saat teman kerja mengirim sms bahwa laporan kerjanya sudah dikirim via emal.

Ada teman lain yang mengirim bahan presentasi untuk besok, serta seorang klien yang memberikan jawaban lewat email.  Duh, padahal jam makan siang harus dituntaskan. Oya, pulsa paket data hape pun ternyata habis. Nyaris dunia seperti gelap hahaha..

Siang harinya pakde Soekarno dari Tanjung Priok mampir main ke rumahku. “Kalau lagi sue’, ada aja persoalan. Kalau lagi ada duit tidak terlalu masalah. Nah, kalo gak gablek, itu sue’ namanya,” katanya sambil senyum-senyum.

Pakde bercerita suatu hari mesin cuci di rumahnya tiba-tiba motornya berhenti berputar. Di saat yang sama pendingin AC di kamarnya meredup hingga perlu diservice. Sementara motor bebeknya sudah batuk-batuk harus ganti oli mesin, ditambah setrika listrik yang mendadak ngadat, tidak mau panas. Itulah secuil kisah tentang sue’.

Kalau anda sedang mengalaminya, saya doakan semoga situasi itu cepat berlalu. Hadapi dengan jiwa ksatria dan nikmati masa-masa itu karena jarang terjadi. Hehehe..

Tapi keapesan, kesialan dan kesuean seperti ini bisa jadi bahan renungan, lho. Yaiyalah, masak buat bahan pangan!**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala