Menjelang landing di Bandara Sam Ratulangi. |
Pesawat berangkat tepat waktu, jam 06.00 dari Gate 16, Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno Hatta di Jakarta. Keberangkatan kali ini untuk memenuhi undangan Ketua Panitia Festival Film Indonesia (FFI) 2017, Leni Lolang.
"Ajak juga Herman Wijaya, ya?" usul saya pada Leni Lolang di Whatsapp beberapa hari sebelum berangkat.
"Sebetulnya kita mengundang 20 media, yang mainstream sudah banyak dan media partner. Herman saya cekin ke sekretariat," lanjut Leni.
Leni menawarkan, persisnya dia bertanya:
"Imam sudah terdaftar apa belum namamu di sekretariat?", tanya dia sebelum saya menjawab dan mengajukan nama Herman yang juga sudah dikenalnya.
Herman satu-satunya wartawan film yang istiqomah mengkritisi berbagai hal dan kebijakan perfilman. Saya nyaman berfikir bareng warga Depok itu, terutama di bidang jurmalistik perfilman. Kami klik.
Sebagai wartawan dan kritikus, Herman pernah menjadi Juara III Lomba Kritik Film FFI tahun 1990 dan Juara I Lomba Kritik / Opini FFI 2014.
Dia mengikuti hingar bingar FFI di tahun 1980an sampai hari ini dengan cara menulisnya di media. Rekam jejaknya jelas. Bahkan dengan ada dan tidaknya FFI, dia tetap keras kepala.
Tahun 2003 saya masih wartawan bau kencur, ketika beredar surat protesnya kepada Badan Pertimbangan Perfilman Nasional yang diketuai H Djonny Sjafruddin SH. Gedung Film pun geger. Jika saat itu ada Kompasiana, mungkin bisa jadi viral.
Herman menulis di sejumlah media sejak tahun 1980an. Belakangan menulis di media online balaikita.com dan tabloid Bintang Film. Dia juga menulis di Kompasiana. Beberapa tulisannya membuat gemas para petinggi perfilman.
Sulit rasanya mencari wartawan seperti Herman hari ini. Meski tubuhnya kecil, tapi nyalinya besar dalam menulis.
Lelaki Indo Cina-Depok ini punya idealisme dan konsisten sebagai wartawan film yang kritis dalam tulis dan ucapan.
Kembali ke FFI 2017 yang diketuai Leni Lolang, yang juga Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) bidang Festival Film, saya mengenalnya sejak dia aktif di organisasi KFT dan saya mengurus PWI Jaya Seksi Film dan Budaya.
Saat ini, dia jadi bulan-bulanan sebagian orang film sesama anggota BPI, dan wartawan yang mendadak memaksakan diri untuk kritis pada kegiatan FFI.
Aksi yang mengatasnamakan wartawan film dan kebudayaan dan pernyataan tidak percaya masyarakat film atas hasil FFI 2017, hingga wacana mempolisikan FFI muncul dua hari sebelum malam puncak FFI di Manado. Jakarta memanas. Tapi FFI di Manado tetap berjalan sesuai jadwal.
Sepanjang hampir tiga jam perjalanan di udara saya duduk bersebelahan sebaris dengan Anggi Frisca (akrab disapa Cumit) satu dari 9 pengurus BPI Periode Pertama, dan wartawan Bobby Batara.
Ke-9 orang itu Gatot Brajamusti, Edwin Nazir, Kemala Atmodjo, Saifin Nuha (Alex Komang), Embie C Noer, Robby Ertanto, Anggi Frisca, Rully Sofyan dan Gerzon.
Pikiran saya terbang ke masa ketika awal FFI kembali dilaksanakan tahun 2004 sampai hari ini. Seluruhnya dirundung masalah. Ini jadi semacam kutukan bagi FFI.
Tiba-tiba terdengar suara pengumuman disampaikan pramugari pesawat melalui speaker, yang mengingatkan kepada penumpang bahwa saat ini tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan.
"Mari kita mengheningkan cipta selama 60 detik untuk para pahlawan. Mengheningkan cipta, dimulai.." kata sang pramugari.
Ini ajakan yang positif. Saya dan seluruh penumpang tertunduk mengheningkan cipta. Padahal, sebagian besar penumpang sudah 'hening cipta' alias tertidur sebelum ada pengumuman itu.
Hingga pramugari memberi aba-aba, "Selesai..", saya tetap melanjutkan hening cipta untuk FFI 2017: Semoga berjalan lancar.*
Komentar
Posting Komentar