Langsung ke konten utama

Off Road membelah Bukit Menoreh, Kulon Progo

Sabtu, 4 November 2017, saya mengikuti kegiatan lintas alam menunggang mobil jeep khusus Off Road di Bukit Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengalaman pertama ini saya tunggu-tunggu. Terbayang lintasan berbatu cadas, sungai, tanah berlumpur serta kontur jalan meliuk-liuk di perbukitan. Jeep yang dimodifikasi mengganti ban standard dengan radial, serta bagian kap yang dibongkar diharapkan mengatasi persoalan di lapangan.

Perjalanan pagi berembun itu dimulai dari garis start di Rimbono Homestay, Desa Nglinggo. Suhu udara sekitar 16-18 derajat celcius, ketika terdengar adzan subuh.

Saya bergegas bangkit dari kasur yang tergelar di lantai kayu untuk membuyarkan rasa penat dan panggilan alam agar sebaiknya tidur lagi.

Suara jangkrik dan katak syahdu terdengar sejak saya beringsut tidur, setelah melumat beberapa biji durian kampung setempat tadi malam.

Rumah kecil (kapasitas dua orang) dari bahan kayu dengan ornamen dua jendela kaca, satu kamar mandi kecil dan pintu utama untuk keluar dan masuk adalah tempat menginap yang mengesankan.

Dinding kayu tanpa polesan warna atau vernis. Satu unit tivi layar gembung teronggok di sudut ruangan. Saya tak berminat menghidupkannya.

Sementara satu kasur dan dua bantal, sudah dikuasai oleh dua teman yang lebih dulu bermimpi. Artinya, saya tidak mendapat perlengkapan tidur yang representatif.

Rimbono Homestay memang bukan hotel, yang bisa dimintakan tambahan kasur dan lainnya. Tempat ini menawarkan konsep tidur di rumah warga. Bahwa tidak ada jaringan wifi untuk koneksi internet, itu lain perkara.

Dua rekan sekamar saya, Sutrisno dan Jimmy masih tertidur saat saya berjingkat lengser ke kamar mandi jam 05.00.

Desa Nglinggo berada persis di lereng Bukit Menoreh, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Jogja. Nama bukit ini punya kenangan sendiri buat saya. Waktu Taman Kanak-kanak, saya sering melihat Pakde asik membaca buku "Api di Bukit Menoreh" karya SH Mintardja itu. Bukunya berjilid-jilid.

Kawasan perbukitan ini dikepung hutan, dan kebun teh. Beberapa warga menanam kopi jenis robusta yang terkenal aroma dan rasanya. Saya mencobanya semalam sambil nonton pertunjukan seni rakyat di lapangan. Hmm..


Membelah Bukit 

Off Road (berkendara di jalur non aspal) ini adalah agenda kerjasama antara Forum Wartawan Pariwisata dengan Puskompublik Kementerian Pariwisata.

Berkunjung ke Desa Wisata Nglinggo di Desa Pagerharjo, Samigaluh belum lengkap bila tidak merasakan sensasi menyusuri hutan pinus dengan jalur off road kendaraan jenis Jeep 4x4.

Tanah perbukitan menjadi pemandangan sangat umum di sana. Nglinggo Adventure Hill selaku operator Off Road di Rimbono Homestay, tidak ingin membiarkan berkah alam yang diberikan Tuhan menganggur.

“Tahun 2014, track-nya tidak untuk wisata, hanya untuk senang-senang. Kebutulan banyak tamu menginap ingin mencoba dan akhirnya mereka menyebarkan via sosial media. Sampai akhirnya resmi untuk wisata sejak 2015,” ujar Melkey Binaro Pemilik Rimbono Homestay.

Ada dua macam Off Road yang di tawarkan. Pertama, Fun Off Road (mengelilingi tempat wisata atau semacam safari). Off Road jenis ini tergolong menyenangkan dan belum memacu adrenalin.

Yang kedua, Extrem Off Road (menjelajahi alam melalui area Off Road yang disediakan). Off Road jenis ini dikatakan extrem karena sangat memacu adrenalin.

Melkey juga Koordinator Pemasaran Desa Wisata Nglinggo punyai paket menarik untuk menikmati alam Nglinggo menggunakan Jeep.

Paket Jeep dibagi beberapa kategori. Mulai dari yang terpendek hingga seharian di hutan.

Ada empat rute untuk lintasan ini, yaitu rute pendek dengan ke Bukit Ngisis, lalu nikmati kebun teh hanya bayar 200 ribu per jeep berisi 3 orang.

Rute sedang berjarak tempuh selama 2-4 jam, kisaran harga 500 ribuan. Sedangkan rute panjang berjarak tempuh antara 4-6 jam dengan harga 700 ribu. Ada pula paket ketiga, Extrem menyusuri hutan pinus seharian.

“Paket paling diminati paket ketiga, setiap hari Sabtu dan Minggu sudah pasti ada yang booking. Ada juga dari perusahaan dan bank. Jika pemesannya banyak, kami juga punya club dengan total 70 armada jeep,” ujar Melkey.

Karakteristik jalur off road di kawasan ini dijamin seru. Mulanya jeep masuk menyusuri hutan dengan jalur yang tepat dengan badan mobil saja, lalu bertemu dengan "tanjakan 7".

Tanjakan dengan seperti angka tujuh. Setelah melintas tanjakan 7, lalu mobil melintas dengan track miring, yang membuat penumpang jeep sudah pasti berpegangan erat.

Ada "tanjakan patriot" yang memiliki sudut kemiringan 45 derajat. Tidak hanya itu, penumpang harus pasrah kepada driver off road, sebab "Turunan Pasrah" siap dilibas mobil. Disebut turunan pasrah, karena jika musim hujan sudah pasti licih dan harus pasrah menghadapi medan berat ini.
 
“Waktu terbaik bisa kapan saja. Tetapi jika yang ingin memacu adrenalin lebih tinggi lagi datang pada saat musim penghujan. Sensasi nya semakin luar biasa, karena tracknya semakin licin semakin menantang terlebih di turunan pasrah, saya saja drodog (deg-degan),” ucapnya.

Melkey berharap kedepannya kendaraan jeep-jeep tidak perlu mengundang dari tempat lain. Pemuda-pemuda desa di sini bisa mengambil jeep sendiri.

“Jika gak punya uang bisa utang ke bank. syukur-syukur pemerintah mau memfasilitasi supaya pemuda dan masyarakat di sini bisa lebih mandiri,” pungkasnya.

Tak hanya paketan jeep, Rimbono Homestay menawarkan tempat menginap menyenangkan. Terdapat 55 Kepala Keluarga yang mempunyai homestay di sini, harganya tergantung penawaran tuan rumah masing-masing.

Rimbono Homestay sendiri mempunyai 10 kamar dengan kisaran harga 250 – 300 ribu/malam. Untuk lengkapnya bisa cek akun Instagram @rimbonohomestay.

Rombongan pelancong yang beruntung (jika cuaca tidak hujan) akan mendapat hiburan pentas tarian Tepeng Lengger dari kelompok tari "Indra Cipta", dimana warga sekitar ikut menonton di tanah lapang.

Khusus rombongan dari Forwapar, kami dibawa mendekati lokasi Candi Borobudur. Namun, karena kendala waktu (bentrok dengan jadwal penerbangan ke Jakarta) membuat rombongan harus puas melihat Candi Borobudur dari kejauhan.

Hari itu saya menikmati perjalanan off road plus, melintasi lebih dari 60 Km perjalanan pergi-pulang, membelah Bukit Menoreh. Sebagian jalur ini siap dijadikan akses menuju bandara baru di Kulon Progo, yaitu New Yogyakarta International Airport.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala