Langsung ke konten utama

Film "Marlina" dan sup ayam yang mematikan

Film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak bukanlah adaptasi kisah-kisah bijak di dalam buku laris "Chicken Soup for the Soul". Tapi ada kesamaan tentang kejutan dan pencerahan setelah menikmatinya (baca: menontonnya).

Sup ayam racikan Marlina di film karya Mouly Surya ini lebih menyesapkan aroma dan panorama khas Sumba. Kearifan lokal ditampilkan berupa dialek para pemainnya juga busananya, utamanya kuda yang sangat ikonik.

Marlina adalah perempuan mandiri dengan sedikit bicara. Diperankan aktris Marsya Timothy yang cenderung lebih terlihat bule dibandingkan perempuan lain di desa sepi itu.

Sikap diam Marlina yang juga jarang tersenyum bukan tanpa alasan. Dia menyimpan luka dan duka, strategi, kepiluan, sekaligus kejengkelan terhadap lingkungan sosialnya; yaitu mahluk laki-laki bandit yang mengancam diluar sana.

Tidak ada lelaki baik bagi Marlina saat ini, kecuali Topan anaknya yang tinggal nama di batu nisan.

Suaminya juga mati, dan belum sempat dia kubur. Mayat suaminya terduduk di ruang tamu, sampai datang para begundal lelaki yang merampok babi, ayam dan sapi ternaknya.

Pemimpin perampok Markus (Egy Fedli) bebas masuk ke rumah Marlina dengan leluasa. Dia minta dibuatkan sup ayam untuk makan malam bersama perampok lainnya. Tak lupa dia berpesan pada Marlina agar siap ditiduri oleh kawan-kawannya, saat datang nanti.

Marlina terguncang dalam diam. Sup ayam buatannya baru setengah matang saat kawanan perampok datang. Markus tertidur di kamar Marlina. Sambil memasak, Marlina bersiasat menabur racun di sup.

Keempat perampok sempat memuji masakan sup ayam Marlina sebelum mereka mati lemas keracunan.

Keberanian Marlina melawan perampok diperlihatkan sangat sederhana. Dia hanya memasak sup ayam beracun. Markus yang tidur di kamar terbangun oleh tawaran makan dari Marlina.

Markus menolak makan dan berusaha meraih tubuh Marlina yang berontak tapi tak berdaya. Pada moment yang tepat, Marlina meraih pedang milik Markus dan menebas leher pemerkosanya hingga kepala pemerkosa terpental. Malam itu lima laki-laki mati di tangannya.

Scene kepala Markus yang copot sangat mengerikan jika sang sutradara tidak mahir mempertimbangkan estetika gambar.

Dinginnya sikap Marlina pada kawanan perampok, tidak membuat dia hilang kesadaran hukum. Dengan santai Marlina membawa potongan kepala Markus ke kantor polisi.

Sayangnya jarak kantor polisi dari rumah Marlina cukup jauh, sementara angkutan yang lewat tidak bisa dipastikan datangnya. Marlina berjalan kaki menggembol kepala Markus tanpa pembungkus.

Pada kesempatan lain, dia mendapatkan karung dan kotak kayu sebagai tempat kepala korbannya.

Saat Marlina menunggu truk dan naik angkutan itu melewati perbukitan, di sinilah ketegangan film mencair oleh adegan dialog komedi satir.

Truk ditumpangi seorang tua (mama-mama), seorang perempuan hamil 10 bulan, dua ekor kuda dan seorang laki-laki pemilik kuda. Dialog mereka sederhana, natural khas lokal.

Film Marlina adalah simbol perlawanan perempuan di pelosok negeri terhadap kebangkrutan sosial.

Ketika Marlina di kantor polisi menjelaskan kejadian yang dialami, sangat sulit baginya mengurai kasus tersebut.

Laporan Marlina sebagai korban harus dilengkapi visum, dan di kantor polisi tidak ada alatnya. Jika punya duit bisa diurus sendiri, tapi perlu waktu berminggu-minggu untuk mendapat hasil visum.

Marlina sepertinya pasrah menghadapi apatisme lingkungannya tapi tidak bagi dirinya.

Dia tetap menempatkan diri sebagai perempuan mandiri, yang juga menangis merayakan bahagia saat berhasil membantu proses persalinan perempuan, tetangganya.

Itulah satu-satunya tangisan Marlina di sepanjang film.

Sebagai film yang sudah diterbangkan ke sejumlah negara dan sukses meraih penghargaan di festival, Marlina berhasil menyatukan nilai-nilai idealisme antara film arthouse dan film komersial.

Pada kondisi inilah, racun sup ayam Marlina telah mematikan stigma film festival selama ini. (tis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala