Langsung ke konten utama

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis) 
"Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November...

Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget-nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat.

Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan.

Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat.

Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout, capcuss..

Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia.

Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adalah free dari pagi sampai sore. Bahkan, makan siang  free alias tidak disiapkan; cari makan masing-masing. Semua peserta FFI tanpa kecuali, keleleran.

Janji panitia pada peserta, uang makan siang (dijatah maksimal Rp15.000) dan akomodasi Rp2 Juta per orang  (undangan 400 orang dari Jakarta) akan diganti melalui transfer. Tapi dua pekan berlalu sejak malam puncak FFI, tak ada kabar uang pergantian itu. Artinya FFI kali ini benar-benar semakin kacau  -- ini sekalian curcol..:)

Acara malam nanti ke venue tempat Malam Penganugerahan Piala Citra FFI 2017 di Grand Kawanua International. Di sanalah undangan bisa makan malam tanpa keluar ongkos.

Tidak sampai 5 menit turun dari kamar hotel, kami sudah duduk tenang di kursi tengah mobil Avanza, taksi online yang disopiri Edi (38) pemuda asal Surabaya yang besar di Manado. Dia tidak bisa berbahasa Surabaya.  Sementara ada kawan di Jakarta, namanya Alex Palit kalau ngomong normal logatnya Suroboyoan walau fam-nya Palit dari Manado.

Di lengan tangan sopir taksi online banyak guratan, entah bekas tatto atau luka sabet benda tajam.

"Ini bekas sabetan pedang waktu saya ikutan prosesi adat. Ternyata saya tidak kebal," kata Edi saat ditanya soal sayatan di kedua tangannya. Penumpang awam pasti kecut kalau disopiri malam hari.

Menyewa taksi online di kota ini jadi pilihan tepat, apalagi Edi terbuka soal tawaran kami berkeliling Tomohon, selain Pasar Ekstrim sebagai tujuan awal. Beberapa tahun terakhir, kata Edi jasa transportasi online diminati.

Pada aplikasi taksi online tertulis, harga sewa dari Hotel Grand Puri ke Pasar Ekstrim di Tomohon sebesar Rp86.000. Tapi kami membayar Rp210.000.

Harga itu tidak resmi tapi hasil nego. Itu sudah termasuk ke Tomohon, mampir di Pasar Ekstrim, Kampus Universitas Manado, ke Danau Linow, dan tempat lain di sisi Selatan Danau Tondano kemudian balik ke hotel. Sangat murah apa murah banget??

***

Danau Tondano tampak di kejauhan. (tis) 
Melalui jalan beraspal di bukit mengingatkan jalan di Puncak, Jawa Barat.

Begitu exited saya untuk melihat Pasar Ekstrim. Sangat terkejut saat tiba di Pasar Ekstrim yang selama ini cuma terlihat di internet dan televisi.

Presiden Joko Widodo kesini saat kampanye Pilpres. Dia pegang "sate" tikus bakar, seperti terlihat di foto hasil pencarian google.

Memasuki Pasar Beriman (nama lainnya Pasar Ekstrim dan Fresh Market) dari pintu masuk tempat parkir, berjajar penjual aneka sayur dan buah segar khas Tomohon.

Lebih ke dalam, ada ibu menjual tikus bakar. Yup, tikus! Saya biasa lihat hewan itu main di got yang kotor. Kali ini bersemuka langsung.

"Seekornya duapuluhlima ribu," kata ibu penjual tikus sambil lalu pada saya. Mungkin dia tahu, saya turis lokal yang cuma iseng bertanya, dan tidak ada potongan akan membeli.

Kondisi tikus bakar itu utuh. Ada kepala dan, astaga ekornya menjuntai. Aduh, ini kan tikus, ngapain juga pake dibakar dan dimakan?

Eddie dan sate tikus. (tis) 
Tapi, saya juga sadar keragaman adat di negara Indonesia tercinta. Semua yang aneh menurut saya atau kita, bisa wajar atau justru keharusan bagi masyarakat lainnya.

Soal tikus bakar itu belumlah seberapa. Melongok ke dalam lagi ada "keajaiban" lain yang lebih sempurna. Babi, ular sanca belang, bajing, tikus, sampai anjing dijual dalam kondisi tinggal dikasih bumbu dan siap disantap.

Saya hampir muntah menahan aroma dupa asap bakaran hewan-hewan itu, tapi berusaha bertahan dengan tidak bernafas atau setidaknya ngirit nafas sambil terus merekam dengan kamera android.

Lega rasanya saat keluar Pasar Ekstrim dan kembali ke tempat parkir mobil. Saya tunggu Edi dan Herman yang masih 'belanja' foto di dalam.

"Sebenarnya itu efek psikologis aja. Lagi pula, yang penting kan bumbunya enak. Daging sapi atau kambing rasanya sama dengan tikus, anjing dan babi," kata Herman waktu datang. Dia meledek saya yang sempat terguncang di Pasar Ekstrim tadi.

Cemilan..


Ngopi

Rumah kopi "Singgah Sayang" (tis) 

Ada anekdot di Manado yang saya dengar ucap dari sopir penjemput dari Bandara Sam Ratulangi ke hotel, kemarin.

"Semua yang berkaki empat kami makan, kecuali meja. Semua yang terbang kami makan kecuali pesawat terbang. Bahkan, kalau tidak dilarang, burung garuda lambang negara juga kami makan," seloroh sopir berbadan besar bernama Frans ketika itu.

Soal tikus bakar tadi, pedagangnya mengatakan mereka dapatkan tikus-tikus dari hutan. Artinya, tidak seperti tikus kota yang main di got kotor.

***

Taksi online berjalan pelan, saya buka jendela agar udara segar Tomohon yang dingin menyejukkan masuk ke kabin mobil.

Edi mengajak mencoba kopi dan cemilan khas Manado di Rumah Kopi "Singgah Sayang". Secangkir kopi dan aromanya, serta kudapan kue pagi itu cukup mengendurkan syaraf.

Letak kafe di perempatan jalan. Warung itu ada sejak tahun 1975. Pada dindingnya terpasang beberapa foto dokumentasi ketika Bung Karno dijamu pemuka adat Tomohon.

Edi membawa kami ke sini, untuk menjemput saudaranya yang lebih paham tentang Tomohon. Dari sini, kami jadi berempat.

Di lintasan sekitar Danau Tondano, kami berpapasan dengan rawa-rawa. Di sana tumbuh bunga-bunga teratai berwarna pink. Cantik. Saya teringat adegan film Hujan Bulan Juni karya sutradara Hestu Saputra.

Di film itu tokoh Sarwono dan Pingkan (Adipati Dolken dan Velove Vexia) bersampan ria, menyusuri sungai kecil yang tenang.

Pada scene lain, mereka menikmati suasana di perigi yang ditumbuhi pohon teratai yang berbunga.

"Stop sebentar, Edi. Tempat ini seperti ada di film Hujan Bulan Juni. Apa ini lokasi syuting film itu?" cepat saya bertanya dan meminta Edi menghentikan mobil.

"Benar, ini lokasi syuting film itu," sahut Han, sepupu Edi yang mengaku mahasiswa jurusan teknik dari Unisma lulus 2016. Dia tahu ada syuting film di sini, tapi tidak tergerak datang melihatnya.

Herman pun baru menyadari kalau kami, tanpa sengaja berada di lokasi film adaptasi novel penyair Sapardi Djoko Damono itu.

Saya ingin melihat lebih dekat lagi. Turun dari mobil tanpa payung meski gerimis, mendekat sungai dimana terdapat beberapa sampan berlabuh di sana. Herman lebih senang memotret dari mobil.

Berada di sisi Selatan Danau Tondano dengan pemandangan alam Gunung Lokon yang tersaput awan serta sungai kecil berair tenang menjadi berkah buat saya, yang mencapai dan menyentuh air sungai.

Saya bayangkan menjadi Sarwono. Dan membuat puisi di dalam hati, "Pingkan, dimana kamu? Kutunggu kau di sini berteman gerimis.." hehehe.

***

Sungai kecil dan perahu. (hw) 
Dari tempat yang romantis itu, mobil meluncur ke arah perbukitan. Tujuan kali ini ke Danau Linow yang sepenceritaan Edi dan Hans danau itu milik pribadi seorang pengusaha.

Danau Linow sepertinya berada di tempat lebih tinggi dari Danau Tondano yang sangat luas. Aroma belerang tercium dari mobil.

Kawasan ini berdekatan dengan sumber daya alam (geopark) milik pemerintah. Di salah satu sisi danau menguap asap sumber belerang.

Kami mampir sebentar saja. Pagi itu sekitar jam 10.30 belum tampak petugas jaga di pintu masuk danau yang airnya dapat berubah warna dari biru menjadi hijau.

Cuaca tidak mendukung kami melihat perubahan warna air danau. "Kalau langit cerah dan matahari menerpa danau, maka warna air danau menjadi hijau. Mungkin efek belerang," kata Edi.

Saat itu air danau berwarna biru gelap. Langit mendung dan gerimis tak henti. Kami lanjutkan perjalanan kembali ke hotel.

Teman-teman wartawan lainnya sudah berangkat ke venue naik jemputan saat kami tiba di hotel jam 16.00. Masih ada waktu istirahat dan mandi sebelum kami ke venue naik taksi online.

Satu hal, setiap saya bertanya soal adanya FFI di Manado ke para driver taksi online, jawaban mereka sama. Bahwa mereka tidak terlalu tertarik dengan acara itu.

Sebagai acara nasional bernuansa glamour, FFI cocok diadakan di Manado yang masyarakatnya dikenal senang berpesta. Tapi, tidak ada tanda-tanda FFI yang dihadiri artis ibukota di Manado. Jangankan pawai artis, umbul-umbul dan baliho FFI tak ada. Bagaimana ngana so bisa tau? Lha, kok bisa begitu? **

Komentar

  1. Saya ingin jadi artis sinetron sejak dulu tapi gimana caranya tolong dong wa aq 0812-3151-8460 aq pengin banget jadi artis sinetron supaya aq bisa menjadi bintang film terbaik di Indonesia,,dan supaya aq bisa membuktikan ke semua orang bahwa aq asah orang yah bercita-cita tinggi
    ...........

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K