Silakan konfirmasi soal jumlah pengguna busway dari dan ke Ciputat, Tangerang Selatan setiap harinya. Data resmi dari bibir seorang petugas kondektur Transjakarta rute Bunderan Senayan - Ciputat menyebutkan, ada 5000 penumpang per hari di trayeknya.
Pada Senin (11/3/2019) malam, usai menghadiri screening film The Sacred Riana karya terbaru sutradara Billy Christian di Studio XXI Plaza Senayan, saya loncat ke halte busway Bundaran Senayan kemudian naik ke arah Ciputat.
Waktu pintu busway yang padat penumpang itu terbuka, kondektur menyembur keluar dan bersuara keras:
"Silakan masuk bagi yang merasa muda, kuat berdiri, dan langsing," kata petugas berseragam itu.
Saya dan rekan Herman Wijaya sudah berimpitan dengan para penumpang lainnya ketika pintu bus ditutup.
Informasi awal dari sang kondektur tadi sebenarnya terdengar agak lucu, tapi cukup tegas dan lugas.
Mengapa? Karena di dalam bus, selama perjalanan saya perhatikan para penumpang yang berdiri. Mereka cukup sadar untuk merasa muda, karena tahan berdiri lebih dari sejam sampai di terminal akhir.
Hanya penumpang yang berbadan besar sulit bergerak. Saya lebih mudah mengecilkan perut untuk bergeser ke arah belakang bus, mencari posisi paling nyaman.
Oya, tujuan saya ke Ciputat untuk menengok kegiatan organisasi Ikatan Wartawan Online (IWO) yang diketuai rekan senior Jodhi Yudono. Tiga hari yang lalu, kang Haris Jauhari mengajak saya dan Herman hadir di acara Rapat Kerja IWO.
"Kita berdiskusi, silaturahmi dan belajar bareng teman-teman wartawan online dari berbagai daerah," kata Haris saat kami kongkow di "Eat and Eat", Epicentrum Walk.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia periode awal itu menunjukkan undangan dari IWO. Dia menjadi salahsatu pembicara acara bertema "Masa Depan Wartawan di Era Industri 4.0".
Kembali ke busway yang jalannya merayap, seorang penumpang iseng bertanya-tanya ke kondektur.
"Ini bukan pertamakali saya naik busway ke Ciputat, bang. Selalu penuh. Bahkan, saya nunggu 2-3 mobil berikutnya juga penuh, makanya saya paksa naik karena bisa lebih irit waktu. Memang kurang armadanya?" kata penumpang agak protes. Saya menyimak.
Armadanya cukup, tapi jalur Ciputat selalu penuh karena ada 5000 orang Ciputat yang naik busway setiap hari.
"Lho, kenapa enggak ditambah armadanya?" sahut penumpang yang tampak kucel, dan aromanya sangat asam. Saya tidak tahan lagi, meski udara pendingin bus berusaha mengurai aromanya. Saya bergeser menjauh.
Pertanyaan itu tidak dijawab kondektur. Dia mungkin sadar, bukan kapasitas menjawab masalah teknis pengadaan armada bus. Atau mungkin dia bete menahan "parfum" si penanya. .
Sepanjang Jalan Fatmawati sampai Lebak Bulus saya tengadah kepala ke atas, melihat jalan layang kereta MRT (mass rapid transit) tinggi menjulang. Di saat yang sama, Pemda DKI Jakarta sejak jaman Gubernur Basuki Tjahaya Purnama membangun infrastruktur rel untuk LRT (light rapid transit) yang kapasitas angkut penumpangnya lebih sedikit dari MRT. Kereta MRT mulai beroperasi (uji coba gratis) hari ini, Selasa (13/3/2019) sampai 24 Maret.
Tiba di terminal Ciputat jam 20.30. Artinya, perjalanan ditempuh lebih dari sejam. Kami melanjutkan perjalanan ke Shekinah Village di daerah Limo, kali ini memesan ojek online "Go Car".
Lokasi acara IWO ternyata lumayan jauh, diluar perkiraan. Terutama ketika driver sempat kehilangan jejak sinyal aplikasi saat berada di tengah-tengah wilayah Ciputat dan Depok. Nyasar sejauh 15 km dari 'titik pesan'.
"Ini semacam planet lain dari Bekasi", kata Haris Jauhari sambil menyetir mobilnya, ketika mengangkut dua "roker" (rombongan kereta) saya dan Herman menuju Stasiun Pasar Minggu, mengejar jadwal kereta terakhir jam 23.30.
Acara IWO dihadiri sekitar 200an wartawan dari berbagai daerah. Anggota organisasi bentukan tahun 2012 ini cukup militan. Beberapa mobil dan bus berplat daerah terparkir di lokasi.
"Kami di sini membahas program kerja dan keinginan sebagian anggota untuk memasukkan IWO ke Dewan Pers. Pembahasan akan dilanjutkan besok (Selasa, 12/3/2019)," kata Ketua Umum IWO, Jodhi Yudono.
Suara lagu mars "IWO" terdengar menggema di ruangan saat rehat, menemani para wartawan menikmati segelas kopi panasnya. "Percuma aja kalau belum punya lagu mars, wong ketuanya musisi," ujar Jodhi, tentang lagu mars itu.
Jumlah IWO ribuan, tapi yang malam itu hadir hanya pengurus di bidang sekretariat, bendahara dan ketua. "Kalau datang semuanya, gak cukup tempat ini," jelas Jodhi.
Malam itu, saya menemukan kesamaan jejak dua wartawan senior Haris dan Jodhi, yang tampil sebagai leader di organisasi baru wartawan.
Haris Jauhari berjuang di awal pendirian IJTI dan menjadi ketua, sementara Jodhi berjuang mendirikan IWO kemudian menjadi ketua sejak 2017. Keduanya tidak pernah menjadi anggota organisasi wartawan lain sebelumnya.
Beruntung saya berteman dengan para senior yang hebat, dan kini kami bergabung di Masyarakat Peduli Jurnalistik.**
12032019
Pada Senin (11/3/2019) malam, usai menghadiri screening film The Sacred Riana karya terbaru sutradara Billy Christian di Studio XXI Plaza Senayan, saya loncat ke halte busway Bundaran Senayan kemudian naik ke arah Ciputat.
Waktu pintu busway yang padat penumpang itu terbuka, kondektur menyembur keluar dan bersuara keras:
"Silakan masuk bagi yang merasa muda, kuat berdiri, dan langsing," kata petugas berseragam itu.
Saya dan rekan Herman Wijaya sudah berimpitan dengan para penumpang lainnya ketika pintu bus ditutup.
Informasi awal dari sang kondektur tadi sebenarnya terdengar agak lucu, tapi cukup tegas dan lugas.
Mengapa? Karena di dalam bus, selama perjalanan saya perhatikan para penumpang yang berdiri. Mereka cukup sadar untuk merasa muda, karena tahan berdiri lebih dari sejam sampai di terminal akhir.
Hanya penumpang yang berbadan besar sulit bergerak. Saya lebih mudah mengecilkan perut untuk bergeser ke arah belakang bus, mencari posisi paling nyaman.
Oya, tujuan saya ke Ciputat untuk menengok kegiatan organisasi Ikatan Wartawan Online (IWO) yang diketuai rekan senior Jodhi Yudono. Tiga hari yang lalu, kang Haris Jauhari mengajak saya dan Herman hadir di acara Rapat Kerja IWO.
"Kita berdiskusi, silaturahmi dan belajar bareng teman-teman wartawan online dari berbagai daerah," kata Haris saat kami kongkow di "Eat and Eat", Epicentrum Walk.
Haris Jauhari, Herman Wijaya, Jodhi Yudono, dan saya difoto oleh Yul Adriansyah di Rakernas IWO
|
Kembali ke busway yang jalannya merayap, seorang penumpang iseng bertanya-tanya ke kondektur.
"Ini bukan pertamakali saya naik busway ke Ciputat, bang. Selalu penuh. Bahkan, saya nunggu 2-3 mobil berikutnya juga penuh, makanya saya paksa naik karena bisa lebih irit waktu. Memang kurang armadanya?" kata penumpang agak protes. Saya menyimak.
Armadanya cukup, tapi jalur Ciputat selalu penuh karena ada 5000 orang Ciputat yang naik busway setiap hari.
"Lho, kenapa enggak ditambah armadanya?" sahut penumpang yang tampak kucel, dan aromanya sangat asam. Saya tidak tahan lagi, meski udara pendingin bus berusaha mengurai aromanya. Saya bergeser menjauh.
Pertanyaan itu tidak dijawab kondektur. Dia mungkin sadar, bukan kapasitas menjawab masalah teknis pengadaan armada bus. Atau mungkin dia bete menahan "parfum" si penanya. .
Sepanjang Jalan Fatmawati sampai Lebak Bulus saya tengadah kepala ke atas, melihat jalan layang kereta MRT (mass rapid transit) tinggi menjulang. Di saat yang sama, Pemda DKI Jakarta sejak jaman Gubernur Basuki Tjahaya Purnama membangun infrastruktur rel untuk LRT (light rapid transit) yang kapasitas angkut penumpangnya lebih sedikit dari MRT. Kereta MRT mulai beroperasi (uji coba gratis) hari ini, Selasa (13/3/2019) sampai 24 Maret.
Tiba di terminal Ciputat jam 20.30. Artinya, perjalanan ditempuh lebih dari sejam. Kami melanjutkan perjalanan ke Shekinah Village di daerah Limo, kali ini memesan ojek online "Go Car".
Lokasi acara IWO ternyata lumayan jauh, diluar perkiraan. Terutama ketika driver sempat kehilangan jejak sinyal aplikasi saat berada di tengah-tengah wilayah Ciputat dan Depok. Nyasar sejauh 15 km dari 'titik pesan'.
"Ini semacam planet lain dari Bekasi", kata Haris Jauhari sambil menyetir mobilnya, ketika mengangkut dua "roker" (rombongan kereta) saya dan Herman menuju Stasiun Pasar Minggu, mengejar jadwal kereta terakhir jam 23.30.
Acara IWO dihadiri sekitar 200an wartawan dari berbagai daerah. Anggota organisasi bentukan tahun 2012 ini cukup militan. Beberapa mobil dan bus berplat daerah terparkir di lokasi.
"Kami di sini membahas program kerja dan keinginan sebagian anggota untuk memasukkan IWO ke Dewan Pers. Pembahasan akan dilanjutkan besok (Selasa, 12/3/2019)," kata Ketua Umum IWO, Jodhi Yudono.
Suara lagu mars "IWO" terdengar menggema di ruangan saat rehat, menemani para wartawan menikmati segelas kopi panasnya. "Percuma aja kalau belum punya lagu mars, wong ketuanya musisi," ujar Jodhi, tentang lagu mars itu.
Jumlah IWO ribuan, tapi yang malam itu hadir hanya pengurus di bidang sekretariat, bendahara dan ketua. "Kalau datang semuanya, gak cukup tempat ini," jelas Jodhi.
Malam itu, saya menemukan kesamaan jejak dua wartawan senior Haris dan Jodhi, yang tampil sebagai leader di organisasi baru wartawan.
Haris Jauhari berjuang di awal pendirian IJTI dan menjadi ketua, sementara Jodhi berjuang mendirikan IWO kemudian menjadi ketua sejak 2017. Keduanya tidak pernah menjadi anggota organisasi wartawan lain sebelumnya.
Beruntung saya berteman dengan para senior yang hebat, dan kini kami bergabung di Masyarakat Peduli Jurnalistik.**
12032019
Komentar
Posting Komentar