Langsung ke konten utama

Syuting Bareng Tiga Wartawan Senior di Metro TV

Panelis Q&A: Sudjiwo Tejo, Bens Leo, saya, Maman Suherman, Mc Daddy, dan Indra Bekti. 
Lantai 3 Studio Grand Metro TV pada Selasa (30/1/2019) siang mengingatkan saya pada artis musisi Ahmad Dhani, yang baru dipenjarakan atas kasus ujaran kebencian.

Tujuh tahun lalu, di acara 8-Eleven pada 3 Maret 2011 saya bertemu  dengan boss Republik Cinta Management itu, di obrolan membahas kekerasan yang dilakukan Dhani pada juru kamera infotainment dari Global TV. Sehari sebelumnya, Dhani dipanggil oleh Dewan Pers.

Diskusi hangat itu dipandu presenter cantik Marissa Anita dan si ganteng Tommy Tjokro. Saya diundang oleh Metro TV mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ditemani Eko Maryadi dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Dhani mengaku tidak melakukan kekerasan seperti diberitakan media, dan dia punya tim infotainment sendiri yang dipeliharanya. Hanya saja tidak disebut mana saja infotainment binaannya itu.

Selesai syuting siaran langsung itu, kami berfoto ria. Tommy Tjokro yang memotret-kami pakai kamera handphone-nya lalu berjanji mengirim foto-foto itu. Saya tak pernah minta sampai sekarang. Padahal momen itu bersejarah haha.

Kasus kekerasan Dhani akhirnya lenyap ditelan waktu.

Nah, kemarin saya kembali datang ke Studio Grand Metro TV. Duduk di ruang tunggu di lantai 3. Saya dibedakin, ngopi dan ngobrol bersama para aktivis layar kaca Maman Suherman, Bens Leo, Sudjiwo Tedjo, Indra Bekti, Mc Danny alias Dani Jaya Wardhana, serta host Andini W Effendi.

Untuk apa saya ada di situ? Begitu kira-kira pertanyaannya.

Ya, saya dihubungi oleh tim kreatif program Q&A atas referensi wartawan senior Bens Leo untuk menjadi bagian acara berdurasi 1,5 jam yang tayang tiap hari Minggu mulai jam 19.05 Wib.

Menurut Maman Suherman selaku penggagas Q&A, syuting rekaman tapping ini akan ditayangkan hari Minggu, 3 Februari 2019.

Saya senang diajak meski belum tahu harus ngapain dan sebagai apa? Tapi, menurut Andini, episode ini sangat berbeda dari sebelumnya. "Syuting episode ini lebih banyak pesertanya dibanding panelisnya," katanya saat kami ngobrol.

Saya baru tahu diplot menjadi panelis bersama para wartawan senior dan dua komedian tadi, ketika tiba di studio.

Tugas panelis bertanya ke para narasumber, yang hari itu adalah tim produksi film PSP: Gaya Mahasiswa dan Keluarga Cemara. Kedua film berbasis cerita film lawas itu menjadi obyek tema acara, yaitu seputar marak dan larisnya produksi film-film jadul.

Para aktor dan komedian jaman "milenial" di satupanggungkan dengan grup Orkes Moral Pancaran Sinar Petromak (OM PSP) pengusung dangdut jenaka. Uus, Boris Bokir, David John Schaap, Wira Nagara, dan Adjis Doa Ibu adalah pemeran personel PSP yang kini rata-rata berusia diatas 60 tahun. Walau termakan usia, mereka masih atraktif memainkan alat musik dan segar menyanyikan lagu Fatime yang melegenda

Bisa dibayangkan, panggung "Q&A" pun pecah porak-poranda. Hal-hal serius, misalnya RUU Tentang Musik yang disinggung mas Sudjiwo Tejo pun larinya jadi cair dan renyah.

Padahal wacana RUU Permusikan yang akan disahkan jadi Undang-undang itu sangat "horor" bagi seniman musik, dan berpotensi menciderai kreativitas.

"Karena RUU itu salahsatu pasalnya menyebut, musik atau lagu tidak boleh provokatif. Itu, kan bahaya buat seniman," tanya Sudjiwo Tejo pada tim PSP.

Rasanya belum selesai misi para panelis untuk bertanya mengorek cerita, tapi waktu 1,5 jam sudah habis. Suasana ringan dan penuh canda itulah, yang bikin waktu terasa cepat.

Kondisi itu sesuai dengan rencana Maman Suherman. "Kita sengaja cooling down dari obrolan selama ini tentang politik. Biar penonton gak bosan dan capek," kata mantan wartawan yang juga pencetus program tv Indonesia Lawak Klub.

Maman tidak lagi menjaga ILK, dan ingin selalu fokus di satu program. "Saya terbiasa untuk fokus dalam bekerja, ini sudah bawaan sejak jadi wartawan yang fokus pada sesuatu," katanya.

Maman Suherman termasuk senior saya. Begitu juga Sudjiwo Tejo dan Bens Leo. Mereka pernah jadi wartawan aktif, mengembara jauh di belantara dunia hiburan, jauh sebelum saya 'lahir'. Mereka  mengembangkan diri, dan berhasil menciptakan panggung sendiri.

Berada diantara para senior hebat, jadi lebih muda dan konyol, seperti seorang adik ikut kakaknya syuting. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K