Langsung ke konten utama

Ujian Penumpang Transjakarta di 'Jalur Neraka' Cakung

Siapa bilang naik busway Transjakarta nyaman? Cobalah tanya para penumpang moda transportasi modern itu, yang setiap hari melintasi 'jalur neraka', sepanjang jalan raya Cakung, Jakarta Timur.

Tanyakan kepada mereka yang tidak dapat tempat duduk, seberapa nestapanya berdiri selama 2,5 jam tanpa dapat melakukan hal apapun, kecuali sabar dan bertahan.

Seorang ibu membawa anak laki-lakinya berusia 8 atau 9 tahun, naik busway rute Asmi - Kota Harapan Indah pada hari Rabu (6/2/2019).

Mereka berdiri sepanjang jalan macet. Suasana stagnan itu kerap terjadi hampir selama tiga tahun terakhir. Truk dan kontainer dari kawasan Industri Pulogadung bersemuka dengan truk kontainer dari kawasan pergudangan di Jalan Cacing (Cakung Cilincing).

Kendaraan raksasa itu berebut tempat dengan mobil, dan motor di kawasan yang sedang dibangun infrastruktur jalan layang.

Bagi warga kebanyakan, termasuk ibu dan anaknya tadi, naik busway merupakan pilihan satu-satunya yang terbaik.

Busway memiliki sistem pendingin udara (air conditioner) yang meminimalisir keletihan akut saat jalanan macet. Minimal para penumpang tidak jatuh pingsan kecapekan. Atau setidaknya hanya badan dan terutama otot kaki pegal-pegal menopang beban tubuh.

Sebagai pengguna busway, saya miris melihat sikap bebal para penumpang yang kebetulan mendapat posisi bagus (duduk di kursi).

Mereka, maaf terutama perempuan, meskipun di depannya berdiri anak dan ibu, tidak juga dia memberi kesempatan duduk barang sebentar.

Padahal, saya sangat menunggu ada adegan misalnya, orang yang duduk menawarkan kepada orang yang sudah berdiri lebih dari satu jam.

"Silakan duduk, bu. Nanti kalo saya sudah capek berdiri, kita gantian lagi ya?"

Saya bayangkan ada adegan seperti itu. Tapi,  ya ampun! Tidak ada tanda-tanda mereka yang duduk mau bergantian atau menawarkan ganti posisi ke penumpang berdiri.

Dimana rasa kemanusiaan itu? Sebebal itukah jiwa kita, sampai tidak lagi mampu melihat betapa menderitanya si ibu dan anak yang berdiri sepanjang jalan?

Padahal, harga tiket semua penumpang sama Rp3.500. Padahal, mereka yang dudukpun sudah gelisah duduk terlalu lama. Bayangkan rasanya kalau berdiri terus?

Sementara, penumpang duduk bisa main gawai, tidur, bangun, main gawai lagi dan terus begitu sampai dia terlihat bosan dengan handphone-nya (bahkan mungkin batere HPnya melorot 0%).

Tapi tidak ada adegan yang saya bayangkan: "Sini bu, gantian duduk. Pantat saya juga pegal karena duduk lama. Sekarang saya yang berdiri."

Adegan itu tidak pernah ada, ampai busway berhenti di halte Harapan Indah, lebih dari setengah jumlah penumpang turun di sana.

Mungkin jiwa sosial dan persaudaraan penumpang sudah habis. Saya berharap ada petugas Transjakarta yang peka pada situasi seperti itu. Misalnya dengan mengimbau penumpang untuk bergantian duduk.

Minimal, seharusnya ada imbauan dari petugas di dalam busway: "Kepada para penumpang, kami imbau untuk saling mengerti dan mau bergantian duduk.."

Namun, hal itu pun tidak dilakukan oleh awak busway yang dikelola oleh Pemda DKI Jakarta. Saya merasa situasi itu bukan semata sikap egoistis, tapi relatif peristiwa biadab.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K