Langsung ke konten utama

Kisah Hadirnya Wartawan di Usmar Ismail Awards

Koran Harian Terbit milik PT Surya Kota Jaya (Grup Poskota) berpindah tangan ke pengelola baru pada tahun 2014. Seluruh awaknya termasuk saya, yang selama 20 tahun lebih bekerja di sana mendapat uang sangu. Pembelinya adalah politisi partai Gerindra.

Manajemen koran sore yang sempat booming di awal 1990 (saat perang Teluk) dan terbit sejak tahun 1972 itu, salahsatunya teman lama saya. Sejak ada kabar akan terjadi eksodus karyawan dan wartawan, dia sering nelpon dan chat di BBM (Blackberry Messanger).

Dia ikut sibuk ketika proses awal 'pindah gerbong', dan minta rujukan tentang siapa saja yang bisa diangkut ke gerbong baru. Saya dianggap paham soal Sumber Daya Manusia. Hihi..

Berceritalah saya, dan dia percaya. Sepertinya. Dia ngasih kode, ada peluang posisi jadi redaktur kalau saya mau ambil. Akhirnya, dia tidak pernah nelpon atau kirim BBM karena saya tidak merespon secara saksama dan dalam tempo yang sesingkatnya. Tapi, ocehan saya tentang siapa saja personel yang perlu diangkut, diterapkan.

***
Sementara itu, suasana Lantai 4 Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan seperti sarang hantu. Hanya 1,2,3 wartawan yang nongkrong di sana. Padahal ada kantor sekretariat organisasi wartawan bidang film di sana. Sangat mubazir.

Kadung akrab dengan penghuni gedung aset Pemda DKI Jakarta yang dikelola oleh PT Prodas dan Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) itu, saya bikin Forum Pewarta Film (FPF). Awalnya, forum ini sebatas nama grup di jejaring Blackberrry. Saya hasut wartawan supaya menghidupkan PPHUI.

FPF memulai kegiatan menonton bareng film lawas sambil berbuka puasa di ruangan Sinematek Indonesia. Kemudian menggagas diskusi terkait pecahnya organisasi PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) pasca kongres ke 15 di Lombok yang heboh dengan drama penangkapan Ketua PARFI terpilih Gatot Brajamusti oleh polisi terkait kasus narkoba.

Sekitar akhir Desember 2015, saya bersepakat dengan Kepala Sinematek Adisurya Abdy untuk mengadakan event Usmar Ismail Awards (UIA), ajang penghargaan perfilman yang jurinya adalah kalangan wartawan.

Acara puncak UIA dijadwalkan bulan Maret 2016 pas Hari Film Nasional. Tapi target itu bergeser jadi tanggal 2 April 2016. Tempat semula akan di Museum Fatahilah tapi dialihkan ke Balai Kartini, Jakarta.

Kabar baik rencana FPF mengadakan UIA 2016 itu saya broadcast di grup BBM FPF. Setidaknya ini akan menjadi event ketiga setelah dua kali wartawan film punya kegiatan sejenis, dan sudah lama tidak muncul lagi.

Dua acara sebelumnya pemilihan "Best Actor dan Actress" tahun 1973 diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Festival Film Jakarta (FFJ) di tahun 2006 dan 2007 yang diadakan oleh Tabloid Bintang Indonesia dan Cek & Ricek.

Keduanya tidak berlanjut. "Best Actor dan Actress" milik PWI secara politis melebur ke dalam Festival Film Indonesia. Sedangkan FFJ tak terdengar lagi entah mengapa?

Meski belum jelas pola kerjasama untuk UIA, saya bersemangat dan bergerak. Ini kesempatan untuk wartawan film agar lebih berarti, punya andil memajukan perfilman nasional ketimbang runtang-runtung atau bergerombol tidak jelas. Ada yang bilang, jadi wartawan hiburan, film dan musik sangat enak. Setiap hari senang.  Tertawa haha-hihi, tanpa terasa tiba-tiba tua.

Seperti adegan film Naga Bonar, saya dan Adisurya Abdy memilih jabatan sendiri. Bidang Kehumasan dan Penjurian jadi bagian saya. Sementara, Adisurya Abdy menunjuk diri sebagai Ketua Pengarah UIA.

Sebulan kemudian muncul H Irwan Usmar Ismail, Ketua Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail sebagai Ketua Penyelenggara UIA. Sedangkan Ketua Pelaksana UIA adalah Taufik Andharu Bhaskara, anak artis Lenny Marlina

Menghadirkan wartawan di ajang UIA sangat saya tunggu-tunggu, untuk melanjutkan 'tradisi' wartawan film. Selanjutnya, saya membagi dua skuad wartawan, yaitu sebagai Tim Juri dan Tim Sekretariat.

UIA menjadi medium pertemuan wartawan senior yang lama tak beraktivitas, wartawan madya dan junior untuk pertama kalinya. Bahkan diantara mereka ada yang tidak saling mengenal.

Saya mengenal mereka semua secara pribadi, karena kebetulan berada di lintasan antar generasi ketika menjadi Ketua PWI Jaya seksi Film dan Budaya periode 2009-2014.

Squad wartawan dalam Tim Sekretariat UIA bermarkas di lantai 5 (ruang kosong yang dirapikan) PPHUI. Di sana kami yang berjumlah 9 orang, membuat proyeksi, agenda, dan merancang buku UIA 2016 yang eksklusif.

Di tengah perjalanan, nyaris saya mutung ketika Adisurya Abdy tak juga memberi kepastian soal honor untuk Tim Sekretariat. Tim ini akhirnya gigit jari karena sampai UIA 2016 berakhir, mereka dan saya tidak terima honor dari YPPHUI.

Merasa bersalah, saya minta maaf kepada teman-teman Tim Sekretariat karena tidak berhasil memperjuangkan hak mereka  mendapat honor. Jangankan mereka, saya pun sebagai Ketua Bidang Humas dan Penjurian tidak dibayar.

Atas kejadian yang menjengkelkan itu akhirnya saya menolak ketika diminta bergabung di UIA tahun 2017.

Banyak alasan saya untuk menolak bergabung lagi, tapi yang paling utama munculnya fitnah bahwa saya menilep uang Rp36 Juta dari Pusbangfilm Kemdikbud. Ahaiii..

Laporan pertanggungjawaban saya buat rinci dan detail kepada Ketua Penyelenggara, YPPHUI dan tembus ke semua pihak. Tapi virus fitnah sudah merasuk ke tulang sumsum. Wartawan sebagian yang berpolitik malah ikut menyudutkan, tidak membela korps. Mungkin takut tidak diajak  di UIA berikutnya.

Untung ada wartawan garis keras, yang kritis dan relatif lurus bernama Herman Wijaya yang menghalau kabar buruk itu.

***

UIA 2016 diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) bersama Forum Pewarta Film (FPF). Kesepakatan awal sebatas lisan (gentlemen agreement).

Januari 2016 saya kumpulkan wartawan untuk misi mulia, menjadi tim juri dan tim sekretariat.

Mengejar tenggat waktu, saya ditemani Herman Wijaya dan Dudut Suhendra Putra atas nama FPF menyambangi kantor Gubernur DKI Jakarta.

Niatnya mau bertemu Basuki Tjahaya Purnama sang gubernur. Selain minta izin pakai Museum Fatahilah untuk perhelatan Malam Puncak UIA, juga minta kesediaan pak Ahok menulis kata pengantarnya di Buku Acara UIA.

Tetapi kami sudah cukup senang diterima oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, yang dalam pertemuan itu menyatakan bersedia membantu fasilitasi tempat di Museum Fatahilah.

Hari berikutnya, tim official broadcast Trans TV yang diketuai Teguh Usis datang ke lokasi Museum Fatahilah untuk melakukan set-up dan rekayasa acara. Toh, mereka menolak membungkus acara di tempat itu.

"Di sini sebetulnya bagus tapi soal teknis, keamanan dan biaya relatif lebih gede dibanding kalau acaranya di studio," kata Teguh Usis. Intinya, Trans TV keberatan soal biaya, yang dalam hitungannya bisa tembus Rp300 Juta. Dia minta dicarikan tempat lain.

Mendengar alasan itu, saya cukup puas meski mrmbatin 'selamat tinggal Museum Fatahilah'. Soal tempat lain, saya tidak lagi ikut campur. Yang pasti, Malam Puncak UIA 2016 berlangsung di Balai Kartini. Cukup meriah.

***
Saat diplomasi FPF dengan Pemda DKI Jakarta berlangsung, kepanitiaan UIA baru terbentuk. Taufik Andharu Bhaskara menyanggupi jadi Ketua Pelaksana UIA dan bersama timnya berjanji akan menutupi biaya kegiatan. Tapi, sampai kelar acara UIA, semua hanya angin surga.

SK Pengangkatan sebagai Ketua Panitia Bidang Humas dan Penjurian saya terima dari Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI). Dewan Juri Awal mendapat SK yang sama.

Bedanya, anggota Dewan Juri Awal ini mendapat Surat Kontrak Kerjasama.  Saya diminta oleh Ketua Pengarah untuk teken surat yang juga diteken oleh seluruh juri. Tercantum di dalam kontral, jumlah honor tiap juri Rp10 Juta.

Ketika anggota juri ditambah empat orang lagi untuk di posisi  Dewan Juri Akhir UIA, honor mereka masing-masing Rp 2,5 Juta.

Sementara Panitia Bidang Humas dan Penjurian UIA 2016 dalam hal ini Tim Sekretariat tidak mendapat Surat Kontrak. Artinya, tidak ada kejelasan tentang honor.

"Honor Tim Sekretariat disiapkan. Nanti, akan kami berikan," kata Adisurya Abdy yang juga akan melegalisasi nama UIA sebagai milik kami. Tapi  tidak pernah ada realisasi janjinya itu.

Tim Sekretariat saya bentuk dan terdiri dari wartawan yang  sama.
Salahsatu tugas Tim Sekretariat adalah membuat Buku UIA. Pusbangfilm memberi sponsorship Rp36 Juta dengan kompensasi pemuatan artikel di Buku UIA.

Atas saran Herman Wijaya yang disetujui oleh Tim Sekretariat, dana Rp36 Juta itu dijadikan sebagai pengganti honor, yang dibagikan untuk 12 orang sesuai porsi pekerjaan selama 3 bulan.

Buku UIA dicetak sebanyak 750 eksemplar dengan pembiayaan dari YPPHUI dan Panitia Pelaksana UIA. Pembayaran cetakan buku ini alot sampai pihak percetakan kapok menagih.

Buku UIA dipuji oleh wartawan yang juga seorang dokte, Daniel Irawan di akun twitternya sebagai buku terbaik dari semua buku ajang festival film termasuk FFI.

Buku ini dibagikan pada Malam Puncak UIA 2016 yang disiarkan langsung oleh Trans TV dari Balai Kartini, Jakarta tanggal 2 April 2016, pukul 20.30 WIB.

Oya, Panitia Bidang Humas dan Penjurian UIA 2016 adalah Teguh Imam Suryadi (tabloidkabarfilm.com/ Ketua), Nini Sunny (xposeindonesia.com/ Kabid Media Sosial), Dudut Suhendra Putra (xposeindonesia.com/ Kabid Dokumentasi), Deni Irawan (21cineplex.com/ anggota), Edi Edo (musiclive.com/ anggota), Akhmad Sekhu (moviegoers.com), Rosihan Kailinto Nurdin (senior/ anggota), Stevy Widia (youngster.id/ anggota), Thomas Manggala (Koran Sindo/ anggota).

Tim Redaksi Buku UIA adalah anggota Panitia Bidang Humas dan Penjurian ditambah tenaga lainnya, yaitu Herman Wijaya, Jeni, Ramli, dan Hendra Adrian.

Penjurian UIA dilakukan dua tahap oleh Dewan Juri Awal dan dipoles lebih dalam oleh Dewan Juri Akhir.

Untuk mengumpulkan anggota Dewan Juri ini tidak terlalu sulit, meski ada juga yang menolak karena bentrok dengan kesibukannya.

Agar tidak terjadi salah paham dengan wartawan Tim Sekretariat, saya menjelaskan bahwa pembagian tugas itu lebih karena masalah teknis. Mereka memaklumi.

Artinya, memang tidak ada wartawan yang lebih ditinggikan atau diistimewakan. Tahun depan misalnya, para juri bisa berganti posisi di tim sekretariat.

Maka berkumpulah para pendekar film untuk menjadi anggota Dewan Juri Awal UIA 2016.

Mereka Bens Leo (senior) yang mendalami penganatannya di wilayah musik; Yan Widjaya (senior) salahsatu pustaka film berjalan; Herman Wijaya (Tabloid Bintang Film) kritikus film senior, Susi Ivvaty (Kompas) aktivis kebudayaan; Wina Armada (senior) kritikus film era 1980an yang cukup lama tidak turun ke lapangan; Puput Puji Lestari (bintang.com) paling junior diantara para juri termasuk pengambil keputusan di medianya;  Ami Herman (riauinfo.com) wartawan senior  eks koran Suara Karya; Bobby Batara (Majalah All Film) pengamat film; Adrian Jonathan Pasaribu (filmindonesia.or.id) kritikus dan aktivis film;  Shandy Gasella (detik.com) kritikus film junior yang potensial; Benny Benke (Suara Merdeka) penulis cerpen; Bambang Sulistyo (Majalah Gatra); Dimas Supriyanto (Poskota) wartawan senior;  Beby Tertiani ZB Simanjuntak (The Jakarta Post) penulis aktif berita film; dan Sihar Ramses Simatupang (Sinar Harapan) sastrawan dan aktivis lebudayaan.

Sedangkan Juri Akhir yang saya kontak adalah wartawan luar Jakarta dan luar negeri. Para jagoan ini tak diragukan integritasnya yaitu Ipik Tanoyo (Bali Post) penulis kritik film senior; Daniel Irawan (Harian Waspada) pengamat dan kritikus film yang sehari-harinya berprofesi dokter; Ekky Imanjaya (Inggris) calon doktor di bidang film, dan Khaidir Banjar (Kedaulatan Rakyat) penjaga gawang berita di media paling hits di Jogjakarta dan Jawa Tengah.

19 Juri UIA 2016 adalah wartawan top. Sama hebatnya dengan 9 wartawan yang bertugas di Tim Sekretariat.

Perfilman Indonesia sangat dinamis. Saya merasa seperti satu keluarga dengan orang-orang di dalamnya. Soal tidak dibayar itu pun menjadi kisah masa lalu.**

https://youtu.be/3feYsn1SAMw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K