Langsung ke konten utama

Insiden di Panggung Usmar Ismail Awards 2016

Malam penganugerahan Usmar Ismail Awards (UIA) 2016 berlangsung Sabtu, 2 April di Balai Kartini, Jakarta Selatan.

Sekitar jam 21.00 saya yang berada di luar studio, didatangi tim Trans7 (official beoadcast UIA) agar saya siap-siap maju ke panggung untuk mewakili almarhum SM Ardan yang malam itu mendapat Penghargaan Khusus dari Dewan Juri UIA sebagai Pewarta Film Pelestari Arsip Perfilman.

Saya sempat menolak, dan minta agar Kepala Sinematek Adisurya Abdy saja yang menerima, karena lebih tepat. SM Ardan lebih dari 22 tahun bekerja di pusat dokumentasi perfilman itu.
Tapi bang Adisurya juga tak ingin dirinya muncul. Akhirnya saya mengalah.

Untuk masuk ke studio tidak mudah meski saya punya ID ALL ACCESS. Ritual acara live televisi mengharuskan saya berdiri menunggu break, sebelum masuk segmen berikutnya.

Saya ditempatkan di barisan depan, persis di samping kanan Angga Dwimas Sasongko, sutradara film Surat Dari Praha yang semalam meraih tiga Piala Usmar Ismail Awards untuk katagori Sutradara,  Film, dan Pemeran Utama Prianya. Agak ke seberang kanan, ada Joko Anwar sutradara A Copy of My Mind. Artinya saya duduk di barisan Nominasi Sutradara.

Ketika MC mengumumkan dan menyebut SM Ardan atau yang mewakilinya, saya maju. Yang menyerahkan Piala Penghargaan Khusus itu adalah Kepala Bekraf Triawan Munaf. Tak sempat saya ngobrol kecuali "say hello" pada ayah penyanyi Sherina Munaf tersebut.

Ritual berikutnya, usai menerima piala saya sampaikan testimoni beberapa detik lalu ke belakang panggung bersama Pak Triawan untuk kembali ke tempat duduk.

Jalan menuju kursi studio yang ada di depan mata tak sederhana. Dari belakang panggung saya menyusuri beberapa ruangan kru, lalu muncul di pintu masuk utama Balai Kartini, naik escalator, dan masuk studio lagi. Menunggu break lagi. Namun saya memilih duduk di luar bersama teman-teman wartawan peliput UIA.

Piala milik almarhum SM Ardan yang saya tenteng, dimanfaatkan untuk property foto-foto oleh sejumlah wartawan dan panitia.

Tapi siapakah SM Ardan itu? Saya tidak sempat mengungkapkannya di panggung. Juga tak ada penjelasan dari MC maupun teks di layar monitor tivi mengenai sosok SM Ardan.

Untuk itu saya ingin menjelaskan secara singkat sosok SM Ardan di sini.

SM Ardan bernama asli Syahmardan adalah penyair, sastrawan, tokoh Betawi yang juga seorang pewarta film. Dia lahir di Medan 2 Februari 1932 dan wafat pada 26 November 2006 akibat kecelakaan tertabrak pengendara motor seminggu sebelumnya.

Dia merupakan tokoh penting kebangkitan lenong, dan topeng Betawi. Sejumlah karyanya antara lain Terang Bulan Terang di Kali (kumpulan cerpen 1955), Ketemu di Djalan (kumpulan sajak 1956), Nyai Dasima (novel 1965), Si Pitung (skenario film 1970), Pembalasan Si Pitung (skenario film 1977), dan lain-lain.

Sebagai pewarta, SM Ardan pernah bekerja untuk Majalah Merdeka, Suluh Indonesia, Abad Muslim, dan Citra Film.

Selama 22 tahun hingga akhir hayatnya, SM Ardan bekerja di Sinematek Indonesia.

Saat bang Ardan di Sinematek, saya sempat mewawancarai sosok pendiam ini untuk program tayangan "Apresiasi Festival Film Indonesia" di TVRI tahun 2003. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala