Setiap pagi pada semester awal ini, tugasku bertambah dan agak rutin; mengantar anak kedua (cewek) kuliah. Anak pertama, laki-laki sudah siap bikin skripsi. Dia membawa motor sendiri sejak awal kuliah di Jakarta Selatan. Anak ketiga, perempuan kelas III SD.
Sebenarnya ada banyak angkutan alternatif untuk sampai kampus, seperti angkot, metromini, ojek online, busway, dan kereta commuterline.
Hanya saja, soal waktu tempuh sulit diprediksi dan keburu lelah di jalan sebelum mencerna pelajaran. Lagi pula, pagi hari aku tak banyak aktivitas kecuali mencatat, menulis sesuatu. So, mari papa antar kau ke kampus. Si putri kampus belum sempat bikin SIM.
Sebenarnya ada banyak angkutan alternatif untuk sampai kampus, seperti angkot, metromini, ojek online, busway, dan kereta commuterline.
Hanya saja, soal waktu tempuh sulit diprediksi dan keburu lelah di jalan sebelum mencerna pelajaran. Lagi pula, pagi hari aku tak banyak aktivitas kecuali mencatat, menulis sesuatu. So, mari papa antar kau ke kampus. Si putri kampus belum sempat bikin SIM.
Jarak dari rumah ke kampus di Rawamangun relatif dekat, rata-rata 2 jam pergi-pulang. Hanya perlu kesabaran jika terpaksa melintasi macetnya Jalan Raya Cakung yang sedang dalam pembangunan jalan layang.
Sejak dua tahun terakhir, bangunan bahu jalan dari arah Kota Harapan Indah - Pulogadung dan sebaliknya bikin semua pelintas jalan lebih cepat tua.
Akibatnya, munculah bermacam anekdot: "Bekasi itu planet saking jauhnya", "Pagi mau berangkat cukur rambut plontos, pulangnya gondrong", malah ada "Pagi salaman sama anak, pulangnya sudah dipanggil kakek/ nenek" dan bully-an lain, yang lucu.
Nah, hari Senin (19/11/2018) pagi seperti biasa, si putri kampus sudah di depan kaca pukul 06.30 wib. Artinya, aku harus berjalan ke teras menstater motor, lalu menunggu di jalan depan rumah. Biasanya 5 - 10 menit lagi, dia sudah nemplok di jok belakang motor.
Langit sedikit mendung, udara dingin tetapi si abang perawat lapangan umum di depan rumah sudah sibuk bekerja.
Mesin pemotong rumput kudengar mengerang-erang. Jika aku tidak memakai helm, suara mesin potong rumput itu pasti 'berteriak' di kuping.
Si putri kampus kulihat datang, dan langsung naik ke motor. Dia agak mendorong punggungku pertanda "let's go! "
Maka, motor kugas perlahan tapi pasti sampai kecepatannya normal. Melewati tukang potong rumput, dan satpam perumahan di pintu gerbang. Kusapa mereka.
Pagi itu suasana agak membuat pingin tidur, mataku sebenarnya belum puas di kasur selepas subuh tadi.
Perjalanan pagi terasa hening. Tak kudengar suara si putri kampus di jok belakang. Kaca spion motor dalam posisi tidak tepat untuk melihat ke belakang. Mungkin pagi ini lebih asik merenung di jalan.
Setelah sampai di tikungan pertama, sekitar 1 kilometer dari rumah, mulai kurasa keanehan. Ya, rasanya jalan motor terlalu ringan. Otomatis, kuraih penumpang di belakang dengan tangan kiri.
"Jangan-jangan dia tertinggal!. " kataku saat tak menyentuh apapun. Dan, inilah saatnya menengok ke belakang.
Yup! Benar juga, si putri kampus tidak ada di jok motor. Tertinggalkah dia, atau terjatuh dan aku tidak menyadari? Kalau jatuh, masak tidak ada teriakan orang sedemikian ramai yang memberitahu? "Ok, gue harus balik ke rumah. Mulai dari nol,".
Sampai di depan rumah, si putri kampus sudah ditemani adik dan ibunya. Dia manyun menungguku. Aku tak banyak bicara, cuma ketawa dalam hati.
"Akhirnya, pengalaman aneh yang pernah dan sering kudengar itu terjadi juga pada diri sendiri. Hahaha".
Perjalanan diulang dari awal. Si putri kampus masih agak manyun. Motor pun bergerak menyusuri jalan Harapan Indah, masuk ke sisi BKT lalu keluar dan berputar arah di Stasiun Klender Baru, memotong jalan masuk perkampungan, lalu tembus di Kawasan Industri Pulogadung.
"Tadi baru mau naik motor, helm kutaruh di jok. Dibenahi dikit. Eh, papa malah jalan. Dipanggil-panggil enggak berhenti," celoteh si putri kampus.
"Tadi baru mau naik motor, helm kutaruh di jok. Dibenahi dikit. Eh, papa malah jalan. Dipanggil-panggil enggak berhenti," celoteh si putri kampus.
Sampai di depan kampus, si putri kampus menyerahkan helm dengan wajah masih tertutup masker.
Dengan sigap kurogoh kantong. "Ini untuk ongkos dua hari, ya," kataku, sambil menyerahkan selembar Rp50.000an. Dia tertawa, kulihat dari matanya. "Terimakasih, pah. Hati-hati," katanya. **
Komentar
Posting Komentar