Langsung ke konten utama

Menangis dan Tertawa Untuk "A Man Called Ahok"

Seberapa greget, lo? 
Gue mau nonton A Man Called Ahok, belum masuk bioskop sudah ada yang nangis..
                            ***
Film A Man Called Ahok (AMCA) tembus 1.009.303 penonton dalam hitungan sepekan (17 November 2018).

Film biopik tentang masa remaja Basuki Tjahaya Purnama -- Gubernur DKI Jakarta yang dijatuhkan secara politik -- arahan sutradara Putrama Tuta (Catatan Harian si Boy, Pintu Harmonika, Noah Awal Semula) itu merupakan rival keras film Hanum dan Rangga, yang dibully oleh netizen akibat ulah Hanum Salsabiela Rais selaku penulis, yang menggiring persaingan kedua film ke ranah politik.

Hanum adalah anak biologis politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Dia juga mewarisi darah ideologis politik orangtuanya. Sehingga, film garapan sutradara Benni Setiawan itu 'terbentur' urusan politik. Beberapa pekan sebelum film tayang, Hanum terjebak isu menyebarkan hoax dalam kasus 'pemukulan' Ratna Sarumpaet salahsatu anggota tim kampanye Prabowo-Sandi, yang kemudian dipecat.

Akumulasi kejadian di layar politik itu membuat kecenderungan orang menonton film AMCA, yang menawarkan inspirasi mengusung aura kesetiaan profesi, nasionalisme, dan anti korupsi.

Pesan dalam skala besar yang disampaikan AMCA lebih kuat dibandingkan H&R meski keduanya punya potensi seimbang untuk meraih banyak penonton.

Saya belum menonton H&R karena terbiasa menonton film-film Hanum dan Rangga sebelumnya. Tidak buruk, hanya membosankan kisahnya.

Sebab, film-film yang ditulis naskahnya oleh Hanum Rais dan Rangga suaminya, sebelum H&R relatif diterima penonton dan box office. Misalnya film 99 Cahaya di Langit Eropa, 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2, Bulan Terbelah di Langit Amerika, dan Bulan Terbelah di Langit Amerika 2.

Pada kesempatan yang sama, H&R hanya meraih tak lebih dari 250.000 penonton.

Jumlah penonton H&R dengan AMCA pada pekan pertama itu sudah mencapai angka psikologis sekaligus politis bagi keduanya.

AMCA menang telak melawan H&R dan menjadi film biopik terbanyak penontonnya setelah Habibie & Ainun (4,5 Juta) dan Rudy Habibie (2,2 Juta). Kedua film terakhir milik MD Pictures yang memproduksi Hanum dan Rangga.

Untuk genre biopik yang selama ini sulit mendapatkan penonton, AMCA adalah pengecualian. Dia tertolong tak hanya oleh penonton umum tetapi juga para 'Ahoker' yang penasaran dan kangen pada sosok idola mereka.

Jumlah penonton AMCA sedikit diatas Soekarno-Indonesia Merdeka (2013) yang hingga layar diturunkan dari bioskop, film arahan sutradara Hanung Bramantyo itu membawa pulang 960.071 tiket penonton.

Film-film biopik di bioskop mengangkat kisah perjuangan tokoh nasional dan tokoh populer antaranya Sang Kiai (2013), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Kartini (2017), Wage (2017), Nyai Ahmad Dahlan (2017), Moonrise Over Egypt: Perjuangan H Agus Salim di Kairo (2018).

Film lainnya Gie (2005), Sang Pencerah (2010), Chrisye (2017), Athirah (2016), Jenderal Soedirman (2015), Istirahatlah Kata-Kata (2017), Jokowi (2013), Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar (2014), dan Soegija (2012). Yang terbaru, film Sultan Agung (2018)

                                 ***
Menonton AMCA saya tidak mendapatkan hal baru dalam film Indonesia. Secara teknis dan pengadeganan film ini sangat standar untuk film drama.

Bahkan, entah mengapa sosok Ahok terasa miss casting diperankan oleh aktor Daniel Mananta. Sementara di saat Ahok remaja dia tidak mendapat banyak kesempatan muncul (bicara) didominasi ayahnya (diperankan aktor Denny Soemargo). Justru pada bagian Ahok remaja ini lebih terbangun drama. Penonton kepincut mengambil tisu untuk membasuh mata basah mereka.

Selebihnya, atau bahwa kemudian film AMCA ini 'menang banyak', itu lebih disebabkan faktor emosional garis politik penonton.

                               ***

Agar tidak lupa, di awal tulisan ini saya membuat highlight soal ulah penonton AMCA yang menangis sebelum masuk teater. Dia donatur saya untuk pembelian tiket nonton  siang itu di CGV Slipi Jaya, Jakarta Barat.

Mungkin lagi pingin beramal, dia nraktir saya. Jadi, dia membeli dua tiket seharga Rp70.000 (@ Rp35.000). Okesip, tiket sudah dipegang.

Tiba-tiba dia membuka smartphone, dan tampak membaca sesuatu di 'kitab suci'-nya itu.

"Sorry, bro gua lupa, hari ini di jam ini ada janjian sama nara sumber di Kantor DPRD DKI," kata my bro, wartawan senior dan penulis kritik film berinisial Herman Wijaya.

Sudah bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Ya, dia pamit bergeser tempat, artinya batal nonton.

Bagaimana nasib dua helai karcis? "Jual saja," kata saya sekenanya. Ya, daripada mubazir, dia tawarkan tiketnya ke calon penonton yang masih antri.

"Maaf, saya mau nonton Hanum dan Rangga," kata seorang pria yang ditawari tiket. Di depannya berdiri perempuan berhijab memperhatikan gerak-gerik teman saya yang mendadak jadi 'calo'.

Tidak patah semangat, teman saya kembali mencoba. Kali ini ditawari pada seorang wanita yang datang bersama seorang wanita lainnya. Tiket itu tidak ditolak, tapi dia juga tak membayar.

"Gua kasih aja deh. Kapan-kapan nontonnya," katanya dengan nada penuh keikhlasan. Mukanya kecewa atas keteledoran membaca jadwal wawancara.

Akhirnya saya menonton sendiri, di teater bersama 10 orang lainnya. Ruangan bioskop terasa sangat lengang.

Mendapat 1 juta penonton bagi film AMCA dipastikan membuat produsernya tersenyum lebar sekali. Karena dia dapat 'jackpot'. Dari jumlah itu bisa ditaksir, duit yang masuk ke kantong produser dan pemilik bioskop. Taruhlah rata-rata harga tiket Rp35.000, lalu kalikan sejuta (35.0000 x 1.000.000 = Rp35 Miliar). Setelah berbagi dengan bioskop, produser mendapat sekitar Rp20 Miliar. Dengan biaya produksi AMCA sekitar Rp5 Miliar, hasil itu sangat memuaskan. Bisa bikin 3-4 film lagi.   **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K