Langsung ke konten utama

Jadwal Tayang Film dan Diskriminasi Bioskop

ADA lima film Indonesia yang tayang di bioskop saat musim libur Lebaran 2018. Kelima film itu  Jailangkung 2 (Sky Media dan Legacy Pictures), Kuntilanak (MVP Pictures), Insya Allah Sah 2 (MD Pictures), Dimsum Martabak (RA Pictures), dan Target (Soraya Intercine Films).

Perolehan jumlah penonton kelima film tersebut, hingga Minggu (2/7/2018) memang belum mencapai angka maksimal seperti yang diharapkan meski secara komersial sudah terbilang break event point (BEP).   Dari berbagai sumber, data jumlah penonton 'Film Lebaran 2018'  bisa dilacak.

Yang terbanyak penontonnya adalah Jailangkung 2 (1.411.041). Selanjutnya adalah Kuntilanak (1.165.280), Target (800.548), Insya Allah Sah 2 (422.319), Dimsum Martabak (352.883).

Di luar lima film tersebut, ada dua film yang tayang bersamaan pada 28 Juni 2018, yaitu Kulari Ke Pantai produksi Miles Films (138.250) dan Rasuk produksi MD Pictures (278.275).

Film Indonesia telah terbiasa menjadikan masa-masa liburan panjang, terutama libur hari raya Lebaran sebagai masa tayang paling segar. Mengapa? Karena di masa inilah penonton film biasanya lebih ringan jari merogoh kantong untuk membeli tiket di bioskop.

Bagi produser film, ritual tahunan ini seakan wilayah hot spot, titik tertinggi sinyalnya yang memungkinkan untuk mereka mendapatkan keuntungan lebih dari filmnya dibandingkan, misalnya jika diputar di hari-hari reguler.

Tidak mengherankan film nasional saling sikut untuk lolos masuk jadwal di masa libur Lebaran. Tentu saja, yang biasanya memenangkan adu sikut ini adalah film-film milik rumah produksi besar.

Sangat tidak memungkinkan bagi rumah produksi (production house/PH) kecil untuk mendapat slot tayang film mereka di jalur itu.

"Jangankan berharap, bernegoisasi atau memohon tayang di hari biasa aja kita nggak dapet-dapet," kata seorang produser film, yang menunggu filmnya bisa tayang entah kapan. Sudah berbulan-bulan, katanya dia menunggu jadwal tayang.

Karena kesal tak mendapatkan kabar, keluar kalimat rasis dari mulutnya.
Bukan hal baru atau kejadian luar biasa, soal jadwal tayang film Indonesia di bioskop dikeluhkan oleh produser kelas menengah ke bawah.

Sejak zaman asosiasi produser hanya sebiji yaitu Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) sampai organisasi ini mulai ditinggalkan anggotanya, kemudian muncul Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) dan kelompok profesional produser bernama Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), keluhan senada masih saja terdengar.

Tentu saja keluhan produser yang melembagakan diri itu (dan apa kabarnya Badan Perfilman Indonesia?) tidak selalu mulus ketika berurusan dengan pengelola bioskop, terkait jadwal tayang film mereka.

Ketika film akhirnya tayang dan hanya mendapat jatah layar minimalis, atau tayang hanya beberapa hari sehingga kurang mendapat apresiasi penonton (jeblok) biasanya mereka protes ke pengelola bioskop, minta kebijakan. Sebab, tidak ada urgensinya mengadu atau melapor ke organisasi yang ada, ke BPI sekalipun.

Sementara, jika produser meraup keuntungan dari filmnya, maka gantian pengelola bioskop yang curhat.

"Kalau lagi untung, mana mereka pikirin bioskop," kata seorang pengelola bioskop ternama di Jakarta.


Jalur Neraka

Bagi film-film milik PH kecil yang memaksakan diri, pengelola bioskop masih memberi kebijakan tayang.

"Ini jalur neraka, di awal-awal bulan puasa Ramadan begini," kata Amir Gumay, sutradara film Anak Negeri Megalith.

Film berlatar sejarah Kota Megalith di Sumatera Selatan itu tayang di pekan awal Ramadan 1439 H (17 Mei 2018). Hal yang sama untuk film Selembar Itu Berarti produksi sineas kota Medan, Sumatera Utara.

Kedua film tentu saja tidak mendapat penonton. Selain momentum yang tidak mendukung, keduanya tidak memenuhi standar artistik film.

Lalu, mengapa tetap bisa tayang?
Mungkin sekadar memberi hiburan bagi produsernya bahwa film mereka bisa tayang di bioskop. Diselipkan sebagai ganjalan slot kosong yang dihindari produser umumnya. Dengan begitu, film mereka bisa disejajarkan dengan film nasional lainnya.

"Ya, mau bagaimana lagi. Memang dapatnya di awal puasa," kata Amir Gumay, kakak sineas Aditya Gumay. Dia protes tapi pasrah.

Bahwa RA Pictures -- termasuk PH baru -- bisa mengisi slot tayang di musim Lebaran, kabarnya cukup mengejutkan meski wajar; bahwa RA Pictures 'membeli' slot milik MD Pictures sebesar Rp 1,5 Miliar.
Sementara Sky Media bisa lolos karena bermitra dengan rumah produksi Legacy Pictures milik orang dekat pengelola bioskop.
Apakah ada regulasi soal aturan jadwal tayang film di bioskop?

Sejauh ini tidak ada pasal dalam UU Perfilman No 33 Tahun 2009 yang tidak punya petunjuk teknis itu, yang mengaturnya. Semua diatur dan disepakati antara pengelola bioskop dengan produser.

Kembali ke soal film-film libur Lebaran, yang tahun ini tidak 'nendang' hasilnya (sineas Joko Anwar mencuit di Twitter, mempersoalkan film lebaran yang bikin pening kepala) sudah saatnya dibuat aturan yang berkeadilan.

Seperti apa aturan itu? Misalnya memberi sanksi kepada PH-PH yang filmnya tayang di musim lebaran dan tidak mencapai target 1 Juta penonton. Tahun depan, PH ini tidak boleh masuk lagi di jadwal lebaran, diganti dengan PH-PH lain. Itu, misalnya. **

Penulis adalah Ketua Forum Pewarta Film

(Copas dari tulisanku di Kompasiana,  3 Juli 2018)
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala