Langsung ke konten utama

Digitalisasi Waktu di Masjid

Banyak masjid memasang alat penunjuk waktu jam digital di tembok, biasanya dekat mimbar atau podium.

Penunjuk waktu dengan angka-angka digital ini terasa lebih modern, lugas to the point ketika dilihat, dibandingkan jam konvensional dengan jarum penunjuk.

Maka solat berjamaah menjadi agak berbeda juga. Waktunya dihitung mundur. Seperti di masjid perumahan tempat saya tinggal.

Setiap selesai adzan dilakukan bilal, jam digital yang biasanya bergerak maju, disetting khusus agar bergerak mundur dari 10-9-8-7-6... dan seterusnya.  

Hitungan mundur selepas adzan berdurasi sekitar 5 menit. Sehingga jika jam menunjukkan angka 00.00 bilal harus lakukan iqomah tanda dimulai solat berjamaah.

Tetapi tak semua jemaah solat taat aturan. Ada saja diantara mereka yang mengabaikan hitungan mundur, tetap melakukan solat-solat sunnah. 

Waktu 5 menit sebenarnya cukup untuk melakukan solat sunnah sebelum yang wajib berjamaah. 

Jika habis batas waktu lima menit ini, otomatis alarm jam berbunyi dan jemaah harus berdiri di belakang imam. Salat berjamaah tidak akan menunggu mereka yang masih melaksanakan solat sunnah.

Bagaimana menyikapi seorang kakek sepuh yang tak bisa mengejar waktu berjamaah di masjid? Juga ketika seorang pemuda pakai celana jins dan kaos oblong tanpa kerah masih solat sunnah meski alarm jam berbunyi?

Bulan Ramadan kemarin, saat Subuh saya melihat seorang jemaah pria tua. Kakek yang saya tahu namanya itu selalu mengambil posisi solat di sebelah pilar dalam masjid. Gerakan solatnya pelan sekali, cenderung lemah. Itu sangat wajar dengan kondisi tubuhnya. Tak mungkin kakek melakukan rukuk dan sujud atau bangkit berdiri dengan kecepatan seperti jemaah bapak-bapak atau anak muda. 

Si kakek masih menyelesaikan rukuknya. Dia jadi perhatian jemaah lainnya, termasuk sang imam dan bilal. Seperti kereta yang siap jalan, masinisnya menunggu seorang calon penumpang.

Suasana ini menjadi dramatis, dan genting buat saya, yang dalam hati merasa rikuh. Di satu sisi, saya membenarkan kehadiran jam digital agar jemaah disiplin. Tapi, kalau ada jemaah renta apakah sistem itu tetap berlaku? Ternyata tidak. Karena bilal dan imam masjid menunggu si kakek beberapa detik lagi sampai dia menyelesaikan solat sunnahnya.

Di hari yang lain, seorang remaja berpenampilan layaknya anak band, masih rukuk solat sunnah ketika  imam solat sudah berdiri. Sementara bilal dalam posisi memegang mikrophone siap melakukan iqomah.

Kedua pejabat masjid memandangi pemuda yang solat. Dari gesture dan wajah mereka terlihat tidak sabar menunggu. Sementara pemuda itu berdiri di shaf kedua berjarak sekitar tiga meter dari posisi imam yang melihatnya sambil berdiri.

Suasana jadi rikuh. Dalam hati saya membenarkan sistem hitung mundur digital tetapi juga tidak menyalahkan ibadah yang dilakukan si pemuda.

Untuk menepis kadar rikuh tadi, saya ambil jalan tengah untuk bersabar. Toh, imam dan bilal juga menunggu. Tapi ternyata bilal tidak bisa memberi toleransi, mengingat jemaah pemuda sudah melewati deadline. 

Ketika pemuda duduk tahiyat akhir, iqomah disuarakan oleh bilal lewat pengeras suara. Jemaah yang sejak tadi berdiri, kini merapatkan barisan membentuk shaf. Sementara si pemuda tertinggal dalam hitungan beberapa detik sebelum dia ikut bergabung bersama jemaah untuk solat Subuh.**

03 Juli 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K