Bukan, ini bukan tulisan provokasi atau pertanyaan kritis dari non muslim. Ini pertanyaan wajar dan baek-baek saja, standar dan halus dari sesama muslim.
Umat Islam, memang ribet da, rame beud, seperti gak sembuh-sembuh. Ibaratnya luka memar di dengkul atau jidat, yang berkali-kali kejedot ujung pintu, tersenggol bajaj, atau kepentok stang motor. Bonyok.
Ramenya umat Islam diluar batas etika, moralitas dan akhlak. Kalau ramenya cuma di hari-hari dan bulan "reguler" sih, agak lumayan ada bagusnya. Lah, ini ramenya gak mengenal hari dan waktu keramat. Hajar teruusss..
Hari Jumat yang terbilang sakral pun, gak menggoyahkan "iman" untuk tidak saling caci (dan bersama pasangannya, maki). Bahkan, masya Allah di bulan puasa Ramadan tetap seperti itu keadaannya. Tidak peduli lagi pada esensi minimalis (apa coba maksud kalimat ini?) dari puasa: seperti menahan diri dari rasa marah, curiga, dan perdebatan yang gak penting. Hal lainnya masih bisa dijalankan, wong cuma memahan lapar dan haus beberapa jam.
Kita bisa melihat rangkaian keriuhan itu kalau membuka jendela dunia maya. Ada tiga jendela yang jika dibuka, kita dihadapkan pada suasana amuk sosial; caimaki berjamaah dan ada imamnya pula. Perang saudara setanah air melalui kata-kata ada di jejaring Twitter, Facebook, dan Instagram. Alhamdulillah, tak ada lagi "kebodohan" seperti itu di grup Whatsapp seperti terjadi ketika politik membelah umat Islam di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta.
Eh, tapi Wagub DKI Sandiaga Uno bilang, rencananya menggelar 'aksi' solat Tarawih di kawasan Monas karena sangat instagramable.
Pasca ribut jelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2016 -- menghadirkan petahana Gubernur Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat versus penantangnya Cagub Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan dimenangkan setelah proses demokrasi yang sumir -- lalu muncul keramaian menjelang Pilpres 2019.
Tidak hanya meributkan, tapi juga menuduh presiden yang sedang bekerja sebagai kepala negara resmi yang diragukan keislamannya.
Terus, muncul aksi bunuh diri dan membunuh orang yang dilakukan orang berstatus agama Islam. Rame lagi. Banyak yang sakit hati dengan cara teroris karena membawa bendera Islam, padahal agama ini rahmatan lil alamin. Mengayomi semua pihak. Tapi, ada yang juga yang mendukung terorisme dan radikalisme dengan malu-malu kucing.
Sejak kerusuhan di Mako Brimob di Depok, bom di tiga gereja Surabaya, dan beberapa kota lain dengan target markas polisi, umat Islam rame lagi.
Alih-alih ingin membuat kondusif suasana, peta dakwah Islam di Indonesia diratifikasi oleh Kementerian Agama yang mengeluarkan selembar data berisi "200 Mubaligh". Tidak ada keterangan resmi tentang pola rekrutmen nama-nama itu. Sejumlah mubaligh menafsirkan daftar 200 mubalig itu dibuat dalam rangka agar dijadikan referensi bagi umat untuk mendapat penceramah, yang baik dan tidak ngalor-ngidul ngomongnya. Semua harus berada dalam konteks meningkatkan keimanan umat. Sebab, disinyalir banyak juru dakwah yang terjangkit faham radikalisme, yang dari ceramahnya bikin orang pecicilan pingin berjihad untuk mati secepatnya, atau salah menerima ilmu.
Hanya gara-gara selembar daftar "200 Mubaligh" dari Kemenag itu, umat Islam rame lagi. Kapan kapokmu?
Catatan:
Ilustrasi foto peristiwa pengunduran diri Soeharto setelah 32 Tahun menjadi Presiden RI yang menjadi headline koran di luar negeri sana. Hebat, kan Indonesia? Peristiwa pada 21 Mei 1998 ini merupakan tonggak sejarah Reformasi. Sudah 20 lalu, sejak tulisan ini dibuat. Gak nyambung dengan badan artikel, ya? Masak?
22 Mei 2018
Umat Islam, memang ribet da, rame beud, seperti gak sembuh-sembuh. Ibaratnya luka memar di dengkul atau jidat, yang berkali-kali kejedot ujung pintu, tersenggol bajaj, atau kepentok stang motor. Bonyok.
Ramenya umat Islam diluar batas etika, moralitas dan akhlak. Kalau ramenya cuma di hari-hari dan bulan "reguler" sih, agak lumayan ada bagusnya. Lah, ini ramenya gak mengenal hari dan waktu keramat. Hajar teruusss..
Hari Jumat yang terbilang sakral pun, gak menggoyahkan "iman" untuk tidak saling caci (dan bersama pasangannya, maki). Bahkan, masya Allah di bulan puasa Ramadan tetap seperti itu keadaannya. Tidak peduli lagi pada esensi minimalis (apa coba maksud kalimat ini?) dari puasa: seperti menahan diri dari rasa marah, curiga, dan perdebatan yang gak penting. Hal lainnya masih bisa dijalankan, wong cuma memahan lapar dan haus beberapa jam.
Kita bisa melihat rangkaian keriuhan itu kalau membuka jendela dunia maya. Ada tiga jendela yang jika dibuka, kita dihadapkan pada suasana amuk sosial; caimaki berjamaah dan ada imamnya pula. Perang saudara setanah air melalui kata-kata ada di jejaring Twitter, Facebook, dan Instagram. Alhamdulillah, tak ada lagi "kebodohan" seperti itu di grup Whatsapp seperti terjadi ketika politik membelah umat Islam di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta.
Eh, tapi Wagub DKI Sandiaga Uno bilang, rencananya menggelar 'aksi' solat Tarawih di kawasan Monas karena sangat instagramable.
Pasca ribut jelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2016 -- menghadirkan petahana Gubernur Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat versus penantangnya Cagub Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan dimenangkan setelah proses demokrasi yang sumir -- lalu muncul keramaian menjelang Pilpres 2019.
Tidak hanya meributkan, tapi juga menuduh presiden yang sedang bekerja sebagai kepala negara resmi yang diragukan keislamannya.
Terus, muncul aksi bunuh diri dan membunuh orang yang dilakukan orang berstatus agama Islam. Rame lagi. Banyak yang sakit hati dengan cara teroris karena membawa bendera Islam, padahal agama ini rahmatan lil alamin. Mengayomi semua pihak. Tapi, ada yang juga yang mendukung terorisme dan radikalisme dengan malu-malu kucing.
Sejak kerusuhan di Mako Brimob di Depok, bom di tiga gereja Surabaya, dan beberapa kota lain dengan target markas polisi, umat Islam rame lagi.
Alih-alih ingin membuat kondusif suasana, peta dakwah Islam di Indonesia diratifikasi oleh Kementerian Agama yang mengeluarkan selembar data berisi "200 Mubaligh". Tidak ada keterangan resmi tentang pola rekrutmen nama-nama itu. Sejumlah mubaligh menafsirkan daftar 200 mubalig itu dibuat dalam rangka agar dijadikan referensi bagi umat untuk mendapat penceramah, yang baik dan tidak ngalor-ngidul ngomongnya. Semua harus berada dalam konteks meningkatkan keimanan umat. Sebab, disinyalir banyak juru dakwah yang terjangkit faham radikalisme, yang dari ceramahnya bikin orang pecicilan pingin berjihad untuk mati secepatnya, atau salah menerima ilmu.
Hanya gara-gara selembar daftar "200 Mubaligh" dari Kemenag itu, umat Islam rame lagi. Kapan kapokmu?
Catatan:
Ilustrasi foto peristiwa pengunduran diri Soeharto setelah 32 Tahun menjadi Presiden RI yang menjadi headline koran di luar negeri sana. Hebat, kan Indonesia? Peristiwa pada 21 Mei 1998 ini merupakan tonggak sejarah Reformasi. Sudah 20 lalu, sejak tulisan ini dibuat. Gak nyambung dengan badan artikel, ya? Masak?
22 Mei 2018
Komentar
Posting Komentar