Kerusuhan di Markas Korsp Brigadir Mobil (Mako Brimob) Kelapadua, Depok, Selasa (8/5/2018) membetot perhatian saya dan kita semua. “Lima polisi gugur, seorang teroris tewas”.
Kelima polisi itu disebut “mati syahid” oleh sebagian orang karena on duty menjalankan tugas negara dan bekerja untuk keluarga. Saya setuju itu, dan ikut mendoakan semoga husnul khotimah.
Apakah teroris yang tewas perlu didoakan? Saya ragu. Ragu apakah doa saya akan dikabulkan Tuhan, juga ragu pada keyakinan si teroris meski kemudian muncul perdebatan di ranah sosial, tentang keagamaan teroris.
Dari Mako Brimob, aksi brutal sporadis teroris berlanjut di tiga gereja Surabaya (Minggu, 13/5/2018), Mapolrestabes Surabaya (Senin, 14/5/2018) dan Mapolda Riau (Rabu, 16/5/2018).
Ada yang mengatakan para teroris tidak beragama. Sebab aksi radikalisme membunuh diri dan membunuh orang, bukanlah ajaran agama manapun di Indonesia. Dilain pihak ada yang menyatakan teroris mati harus disolatkan. Entahlah. Saya semakin ragu
Yang menarik, usai parade radikalisme atas nama agama Islam yang ditampilkan sejumlah jihadis – masih banyak sel tidur radikalisme lainnya – perhatian masyarakat beralih ke sumber-sumber penting terkait radikalisme.
Sejumlah orang berhaluan radikal atau setidaknya yang menyokong pemikiran radikalisme tercyduk oleh netizen, bahwa mereka memegang pos-pos penting di pemerintahan, perusahaan telekomunikasi, hingga di lembaga pendidikan menengah dan kampus perguruan tinggi. Itu belum termasuk kalangan profesional seperti artis sinetron, musisi, dan tentu saja juru dakwah.
Sampai di sini, setelah membaca tulisan teman akhwat yang terhindar dari pergaulan kaum radikalis, saya terbayang sewaktu aktif mengikuti ‘tarbiyah harokah islamiyah’ di masa awal tahun 1990. Masa itu, saya baru merayap bekerja di Harian Terbit sebagai korektor, dan tinggal di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Di kantor, saya membaca dan mengoreksi hampir semua tulisan wartawan. Jika ada tanda baca dan hal lainnya yang salah dari tulisan itu, saya laporkan ke editor sebelum naik ke meja lay-out.
Setiap hari saya berinteraksi dengan mereka baik yang di dalam maupun di luar kantor, menerima faksimili dan atau menulis dan mengirm laporan mereka lewat telepon.
Wartawan senior Lukman Hakim Gayo kerap mengirim faksimili hasil liputan dari perang Teluk, Iraq. “Apa sudah sampai tulisan saya?” katanya di seberang telepon, setiap mengirim faksimili dinihari. Dia ingin memastikan tulisannya sampai dengan selamat. Sebagai jomblo ketika itu, saya betah di kantor sampai dini hari.
Sesekali saya mengoreksi tulisan wartawan muda Fadli Zon (masih seumuran kayaknya), yang baru selesai kuliah di London lalu magang jadi wartawan di koran milik Menteri Penerangan Harmoko itu. Setelah lama tidak bertemu, dia jadi politisi terkenal.
"Kamu mau sampai kapan kerja di sini? Kalau saya, ini batu loncatan saja,” kata Fadli Zon suatu hari, saat kami tidak sengaja mengobrol di kantor redaksi koran sore, yang masih bersaudara dengan koran Pos Kota itu.
Dunia Islam sedang berkecamuk saat itu, dan sampai sekarang tidak pernah selesai. Perang saudara di dalam negeri (Bosnia Herzegovina vs Serbia, atau Palestina dengan Israel) hingga perang antarnegara di kawasan Timur Tengah.
Situasi itu berimbas pada semangat pengkaderan generasi muda di Indonesia, wabil khusus di Pondok Kelapa tempat saya tinggal.
Setelah futur dan lepas dari pengajian pembentukan kader Jundullah tersebut, belakangan saya dapat kabar mengenai banyaknya basis pengkaderan pemuda tarbiyah harokah Islamiyah. Ketika tulisan ini saya buat, sudah 30 tahun yang lalu pembibitan pemuda itu berlangsung.
Itulah kenapa, saya tidak terkejut ketika baru-baru ini disinyalir ada sejumlah tokoh terindikasi berhaluan radikal mengisi pos penting di lembaga pemerintahan, termasuk di kampus-kampus. Saya mengasumsikan, mereka adalah murid dari sistem pengajian yang pernah saya ikuti.
Asumsi ini bisa salah, tapi saya ilustrasikan pengalaman mengikuti pengajian tersebut. Sebagai pemuda ketika itu, saya tidak punya latar belakang pesantren (kecuali pesantren kilat) sehingga agak repot ketika di banyak malam pertemuan dengan amir (pimpinan), harus membaca dan menulis catatan menggunakan huruf ‘Arab gundul’.
Lebih dari setahun mengaji door to door, saya dibimbing dan diawasi dengan ketat serta luwes, bahkan ditanya/ dijemput di rumah jika waktunya ‘ngaji’. Tidak ada lagi malam mingguan dan gitaran.
Pengajian dilakukan berpindah-pindah, dari rumah teman ke teman lainnya sesama kaum pergerakan. Alhamdulillah, rumah saya belum sempat ketempatan ngaji. Bisa jadi karena di rumah selalu ada orang. Terlalu eksentrik kalau tetap melabrak tempat seperti itu.
Dengan modal spidol dan selembar plastik yang direkatkan di tembok lalu dijadikan whiteboard, di sanalah berbagai ilmu (aqidah, tauhid, muammalah dan strategi) dan doktrin falsafah kelompok ini ditulis dalam bahasa Arab. Semua ilmu tadi saya dapat secara silabus. “Supaya akhi gak loncat-loncat belajarnya,” kata sang amir.
Tambah referensi
Ketatnya pemantauan sampai taraf memilihkan buku yang wajib saya baca, dan masih tersimpan hingga kini antaranya: Sirah Nabawiyah karya Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia karya KH Badruddin H Subky, Jundullah Jihad Total karya Sa’id Hawwa, Al Islam Syahadatain dan Fenomena Kekufuran karya Sa’id Hawwa, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Idelogis dan Penyebarannya) diterbitkan Al Ishlahy Press, dan karya Yusuf Qardawi, Sayyid Qutb, Hassan Al Banna.
Selain buku-buku pemikiran tokoh Ikhwanul Muslimin tadi, yang juga wajib beli dan baca adalah majalah Sabili.
Beruntung, saya baca buku apa saja. Selain terpapar materi buku-buku -- yang berguna dalam babak awal pembentukan jundi (pelaku jihad di jalan Allah) – tersebut, duit gajian saya habis untuk beli buku-buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Emha Ainun Nadjib), Kang Sejo Melihat Tuhan (Mohammad Sobary), Ideologi Kaum Intelektual (Ali Syariati), Marxisme dan Agama (O Hashem), Pada Sebuah Kapal (NH Dini), dan buku lain termasuk karya Kahlil Gibran.
Memang tidak mudah meninggalkan pengajian yang sudah membuatkan nama baru untuk saya, Ibnu Qayyim.
Dengan telaten, amir yang entah sekarang ada dimana itu, membina dan merangkul anak didik. Saya menikmati pengalaman mengaji bersama beberapa orang (tidak lebih dari 6 orang) dari berbagai sektor perumahan. Saya tetap larak-lirik, bertanya dalam hati mau dibawa kemana? Tidak ada kesempatan protes atau bertanya hal-hal teknis. Kami semua sami’na wa athona.
Pada akhirnya saya mengambil keputusan keluar dari kelompok ini. Sebab, saya mulai mendengar keluhan keluarga dekat tentang keanehan sikap saya. Jangankan keluarga dan orang lain, saya sendiri merasakan banyak keanehan dari transfer ilmu di tempat itu; tidak boleh hormat bendera, misalnya.
Sampai saya menolak ajakan baik tetangga untuk jadi pegawai negeri di tempatnya kerja, dengan alasan takut saat upacara nanti menghormat bendera merah putih. Kawan saya pun pasang muka prihatin atas penolakan itu.
Sampai saya menolak ajakan baik tetangga untuk jadi pegawai negeri di tempatnya kerja, dengan alasan takut saat upacara nanti menghormat bendera merah putih. Kawan saya pun pasang muka prihatin atas penolakan itu.
Saya sempat merasa malu dan gengsi jika harus menyatakan mundur dari pengajian intensif sekitar dua tahun. Banyak komitmen terpaksa saya batalkan. Banyak ilmu dari sana, yang tidak semuanya buruk.
Saya bersyukur sekarang, berhasil tepiskan perasaan malu dan gengsi demi kembali ke lingkungan keluarga dan teman-teman. Dan, ternyata saya bisa menganut agama ini meski belum lurus-lurus amat, sih.**
Komentar
Posting Komentar