Langsung ke konten utama

11 Tahun Kepergian Chrisye, Mengekalkan Daya Hidup Sang Legenda

Chrisye adalah legenda musik pop Indonesia. Kepergiannya 11 tahun silam ditangisi tak hanya oleh keluarga, tapi juga insan musik dan para penggemar setianya. Dunia hiburan musik berduka.

Pemilik nama asli Chrismansyah Rahadi itu berusia 57 tahun ketika berpamitan dari panggung dunia fana menemui sang khalik di anjangsana keabadian. Segudang cerita bersama tebaran wangi bunga mengiringi pelepasannya pada hari itu, Jumat tanggal 30 Maret 2007.

Kehidupan Chrisye bisa dibilang sangat mengharu-biru layaknya lagu yang melambungkan namanya,  Lilin-lilin Kecil. Dia berpendar-pendar. Kadang meredup tersaput angin, hingga membuat cemas banyak orang, dan menghangatkan suasana di waktu lain.

Di film biopik Chrisye (2017), sosoknya ditampilkan dengan cukup apik oleh aktor Vino G Bastian. Banyak hal yang selama ini tersembunyi di balik penampilan dan gaya hidup anak band, yang kemudian mendapat peluang menjadi penyanyi solo itu.

Sutradara Rizal Mantovani meracik film produksi MNC Pictures itu, dan berhasil menghadirkan sisi lain Chrisye, yang tak terbantahkan kebintanganya.

Perjalanan karir bermusik dan rumahtangga Chrisye terangkai oleh cinta, airmata dan juga perjuangan keras yang menuntunnya ke puncak popularitas jagad musik pop tanah air.

Dinamika hidup serta pengalamannya itu pula yang akhirnya membentuk dirinya menjadi laki-laki, bapak dan suami yang sangat dicintai. Sebagai penyanyi, dia mampu menginspirasi banyak orang lewat lagu-lagunya.

Sejatinya, Chrisye telah pergi namun daya hidupnya tidak pernah padam di hati sanubari para penggemarnya.
Berbagai kesan melekat pada sosoknya yang dianggap introvert dan kaku dalam pergaulan. Namun Chrisye lagi-lagi bisa mencairkan hati yang beku lewat lagu.

Situasi itu lebih terasa terutama saat lagu Ketika Tangan Dan Kaki Berkata -- ciptaan penyair Taufik Ismail yang terinspirasi Surat Yaasiin ayat 65 -- dinyanyikan sangat dalam dan menyentuh. Dia menjadi terlihat sangat relijius dan tetap berkarakter tenang.

Tradisi merawat karya
Dunia hiburan Indonesia belum memiliki tradisi melestarikan dan merawat karya para legenda musik berprestasi. Kita tidak memiliki dokumentasi lengkap tentang legenda musik Indonesia.

Belum adanya cetak biru pengelolaan arsip di bidang kreatif ini, kecuali film dengan Sinematek Indonesia, sangatlah mengkhawatirkan. Akan banyak seniman dan karyanya yang hilang sia-sia dalam sejarah.

Mungkin saja anak cucu kita nanti tidak akan mengenali tokoh legenda musik seperti Sam Saimun, Bing Slamet, Rachmat Kartolo, Lilis Suryani, Elfa Secioria, Rinto Harahap, Benyamin S, Gesang,  Yockie Soeryoprayogo,  dan lain-lain sebagai literatur.

Sayangnya, pemerintah sepertinya belum tergerak untuk mulai membuat program yang komprehensif dalam merawat karya para seniman tersebut.

Lembaga negara yang saat ini dianggap mempunyai tugas merawat, melestarikan dan mengapresiasi karya para seniman, adalah notabene yang mengurusi dunia kreatif seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (film, seni, dan budaya) ataupun Badan Ekonomi Kreatif.

Tetapi sepertinya kedua lembaga ini terlalu sibuk, belum merasa perlu menciptakan sistem atau arsip guna menyimpan dan melestarikan karya-karya seniman musik Indonesia.

Padahal masih hangat bagaimana kegiatan Hari Musik Nasional pada 9 Maret 2018 di Ambon, yang menghabiskan biaya miliaran rupiah, namun tidak berimbas secara konkret bagi dunia musik Indonesia. Sementara, pengarsipan karya seniman musik legenda terabaikan.

Masyarakat dan keluarga sang seniman yang akhirnya bergerak masing-masing dalam upaya menjaga marwah para seniman tanpa harus menunggu tindakan pemerintah.

Maka, sudah tepat apa yang dilakukan oleh Komunitas Kangen Chrisye (#K2C) yang konsisten "Mengenang Chrisye" setiap tahun.
Mengenang Chrisye adalah wujud cinta sekaligus penghormatan terhadap sosok seniman berprestasi. Lebih dari itu, aksi #K2C adalah bentuk pelestarian dan perawatan aset nasional bidang musik.

Nama besar Chrisye di panggung musik berlanjut hingga kepergiannya. Terbukti dari banyaknya konser musik yang mengusung namanya sejak 2007-2017. Chrisye menjadi sebuah entitas, ladang amal yang bermanfaat bagi banyak orang.

Terjaganya eksistensi seniman tidak lepas dari peran penggemarnya (fans) sebagai garda depan. Dimana artis tampil di sana fans berkumpul. Chrisye memiliki banyak penggemar, diantaranya sangat loyal yang tergabung di Komunitas Kangen Chrisye (#K2C) yang digagas dan diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional 2014-2016).

Sejak Chrisye pergi, #K2C mengadakan acara mengenang sosok idola itu dengan memutar lagu-lagunya di tempat khusus, hingga membuatkan buku.

Tidak ada salahnya lembaga pemerintah yang terkait langsung dengan industri musik, bercermin pada langkah para fans seniman musik, dengan mengekalkan jejak para tokoh dalam sebuah diorama di museum, misalnya.

Apapun hal tentang Chrisye saat ini sangat layak dimuseumkan, tapi perlu juga dirayakan sebagaimana dilakukan oleh #K2C.

Pada sebuah obrolan dengan penulis, Ferry Mursyidan Baldan bersama #K2C tahun lalu berencana mendirikan Museum Chrisye. Niat ini patut direspons secara positif.

Rintisan Museum Chrisye sendiri sudah diawali dengan terkumpulnya pernak-pernik 'warisan' almarhum seperti baju show, sepatu, sandal, kaset, CD, hingga pakaian rumah.

Barang-barang peninggalan Chrisye, yang didapat dari berbagai pihak dikoleksi oleh komunitas #K2C. Pekerjaan mengumpulkan memorabilia Chrisye tidak sederhana. Terlebih lagi, #K2C menunjukkan kecintaannya pada Chrisye dengan menerbitkan dua buah buku.

Buku pertama berjudul Chrisye, Kesan di Mata Media dan Fans diluncurkan pada peringatan 5 tahun wafatnya Chrisye, pada 30 Maret 2012. Kemudian pada 30 Maret 2017 diluncurkan buku 10 Tahun Setelah Chrisye Pergi.

Kedua buku dikordinasikan penulisannya oleh wartawati senior Nini Sunny bersama tim.

Kedua buku ini memiliki dimensi lebih luas, tidak sekadar dokumentasi berupa teks dan gambar, tetapi juga merupakan karya monumental.

Keterlibatan wartawan sebagai penggali informasi mengenai Chrisye dalam buku tersebut adalah strategi cukup cerdas, dimana belum ada karya buku sejenis yang melibatkan banyak wartawan sebelum dan setelahnya. Setidaknya hingga tulisan ini dibuat.

Fans sebagai garda terdepan
Sejumlah artis Indonesia memiliki fans cukup loyal antaranya penembang lagu Bintang Kehidupan Nike Ardilla, ada fans Olga Syahputra, dan lain-lain. Para fans merupakan garda terdepan artis, baik di saat aktif hingga di akhir hayatnya.

Mereka mengawal eksistensi dan menjaga daya hidup sang idola.
Dilihat dari sisi jumlah penggemar, ada fakta menarik dimana olahraga sepakbola berada di urutan pertama.

Sebagai perbandingan, klub sepakbola Manchaster United memiliki 750 juta fans di seluruh dunia.

Di urutan berikutnya FC Barcelona (500 juta), Real Madrid (310 juta), dan Chelsea (200 juta).

Komunitas fans penyanyi pop dalam dan luar negeri juga tumbuh sporadis di sini. Indo Beatlemania Club di Indonesia sama seperti komunitas fans The Beatles di Liverpool, Inggris. Mereka menyukai lagu-lagu, property dan berbagai pernik tentang The Beatles yang melalui proses panjang, menjadi bernilai ekonomis.

Di deretan artis muda Indonesia, beberapa nama bersaing meraih simpati penggemar seperti Ayu Tingting, Agnez Monica, Prilly Latuconsina, Aliando, dan lainnya.

Dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya bagi komunitas fans musisi dan artis Indonesia untuk mencapai sekelas fans club band artis legendaris dunia macam The Beatles yang berhasil mendiversifikasi kerinduan pada idola menjadi potensi baru di bidang pariwisata.

Berkaca pada aktivitas #K2C sebelas tahun terakhir, sangat tidak mudah menjadi fans sekaligus mengelola klub penggemar. Dibutuhkan persyaratan 'ketat' seperti keberpihakan, loyalitas, dan keberanian/ keikhlasan mengorek kantong yang cukup dalam.

Kita berharap #K2C menjadi pionir fans club artis Indonesia yang memiliki Museum Chrisye. Semoga terlaksana. Betapa bangganya suatu saat, jika ada wisatawan asing datang ke Indonesia kemudian bertanya siapakah artis Indonesia, lalu kita bisa mengarahkannya agar dia berkunjung ke Museum Chrisye.

Pada akhirnya, kegiatan mengenang 11 Tahun Kepergian Chrisye pada 30 Maret 2018, berupa lomba penulisan artikel yang digagas #K2C menjadi langkah cerdas dalam upaya mengekalkan daya hidup sang legenda, Chrisye.

Semoga stamina #K2C terjaga untuk melanjutkan kenangan pada Chrisye di tahun-tahun selanjutnya. ***

Kamis, 5 April 2018 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala