Ketika mulai menulis ini, saya membayangkan suasana di dalam biskota Jakarta sebelum ada busway yang nyaman. Saya mengalami sebagai pengguna biskota waktu itu; gerah, penuh aneka aroma parfum dan bau badan. Semua bercampur aduk.
Penumpang bis adalah ide yang setiba di terminal (seperti Pulo Gadung) yang apatis dan berhamburan mencari udara segar. Penumpang meloncat berdesakan tak mau berlama di dalam bis. Sumpek!
Ide yang dibiarkan menumpuk berkerumun akan menjadi lumut, kering dan mati. Dia harus dikeluarkan agar mendapat oksigen dan tidak menjadi angan-angan kosong.
Seringkali gagasan muncul pada waktu dan tempat tidak tepat. Seperti halnya penumpang biskota tadi.
Jika datang ide biasanya saya salurkan ke dalam tulisan, senandung lagu-lagu dengan gitar. Prinsipnya ide harus diberi tempat.
Tapi tak selalu keberuntungan berpihak, seperti juga tidak selalu kemalangan setia datang menemani.
Tak jarang saya lihat kematian atas ide-ide saya sendiri. Kematian itu karena mereka melompat bebas tanpa pijakan.
Persisnya ide datang ketika di tempat yang sulit tersedia alat tulis kertas atau telpon sedang lowbatt.
Apakah ide harus mati, sementara harga sebuah ide sangat 'mahal' jika dikaitkan dengan dunia kreatif dan industri? Tidak percaya?
Beberapa kasus terkait ide ini, saya dengar langsung dari beberapa teman, dan saya sendiri merasakannya.
Yang paling sering terjadi adalah pencurian ide pembuatan program untuk televisi, radio, media, konsep iklan, sinetron, hingga film, lagu dan musik.
"Gue sudah pitching sama tim kreatifnya, tapi konsep yang gue ajukan ditolak dengan alasan gak cocok. Tapi dalam hitungan bulan, konsep yang gue bikin itu tayang dengan judul lain," kata teman wartawan.
Sudah bukan rahasia jika hampir semua stasiun televisi sangat 'rakus' mencari ide-ide segar. Mengandalkan ide tim internal semata tidak akan bisa bersaing dengan tivi lain.
Maka pilihannya adalah menggandeng pihak luar. Cukup masuk akal karena tim kreatif internal lelah digempur tuntutan rating, dan bersaing. Karena capek, kreatifitas akan menjadi kendur. Jalan kreatif lainnya adalah mencuri ide yang datang, atau memodifikasi program lain yang sudah ada dan ratingnya lagi tinggi di stasiun tivi sebelah.
Nah, teman saya tadi termasuk 'ide yang datang', kemudian ditolak untuk dieksekusi dan diklaim milik stasiun televisi. Kalau sudah begitu, sulit bagi penggagas atau pemilik ide untuk menggugat. Itulah contoh betapa mahalnya sebuah ide.
Saya sangat menghargai setiap ide, yang datang dari diri sendiri terutama dari orang lain. Jika ada orang meremehkan atau mengabaikan ide kita, itu bukan karena dia lebih baik. Bisa jadi karena tidak memiliki ide sebaik kita. Maka, tetap fokus dan berani mewujudkan ide kita sendiri itu lebih baik.
Dengan segala keterbatasan, saya tidak punya opsi memperkecil risiko matinya ide, selain menyimpannya dalam memori.
Dengan harapan di saat menemukan alat tulis nanti, ide di dalam memori bisa dihidupkan lagi. Itu dengan catatan, ruang penyimpan data di memori cukup kuat untuk mem-backup ide-ide yang berlarian tadi.
Sebelum melantur, izinkan saya bertanya mengapa saya harus menulis? Bahwa menulis adalah ciri mahluk beradab, itu tidak selalu benar. Sebab, sejak jaman batu manusia sudah berupaya menulis di goa-goa dan batu. Seperti apa mahluk beradab itu? Ya, yang bisa menulis.
Sebaiknya menulis menjadi budaya (disiplin) selain membaca. Semoga kita menjadi beradab setelahnya. Atau paling tidak ikut berkontribusi mengisi peradaban.
Menulis memerlukan enerji, bukan sekadar tumpahan isi kepala dan perasaan. Menulis seperti proses menularkan referensi, pengalaman atau seberapa dalamnya perenungan si penulis.
Menulislah jika bosan dan malas bicara, ketika marah, merasa lapar dan dahaga. Menulis juga untuk menunjukkan bahagia, cinta dan nestapa.
Jangan takut tulisan jelek dan menjadi cemoohan. Karena menulis bukan untuk orang lain. Menulis sejatinya untuk diri sendiri.
Mulai saja menuliskan apapun, lupakan bahwa orang akan menilainya buruk. Kalau pendapat saya salah, abaikan. Sebab, saya pun masih belajar menulis. **
Sabtu, 3 Februari 2018
Penumpang bis adalah ide yang setiba di terminal (seperti Pulo Gadung) yang apatis dan berhamburan mencari udara segar. Penumpang meloncat berdesakan tak mau berlama di dalam bis. Sumpek!
Ide yang dibiarkan menumpuk berkerumun akan menjadi lumut, kering dan mati. Dia harus dikeluarkan agar mendapat oksigen dan tidak menjadi angan-angan kosong.
Seringkali gagasan muncul pada waktu dan tempat tidak tepat. Seperti halnya penumpang biskota tadi.
Jika datang ide biasanya saya salurkan ke dalam tulisan, senandung lagu-lagu dengan gitar. Prinsipnya ide harus diberi tempat.
Tapi tak selalu keberuntungan berpihak, seperti juga tidak selalu kemalangan setia datang menemani.
Tak jarang saya lihat kematian atas ide-ide saya sendiri. Kematian itu karena mereka melompat bebas tanpa pijakan.
Persisnya ide datang ketika di tempat yang sulit tersedia alat tulis kertas atau telpon sedang lowbatt.
Apakah ide harus mati, sementara harga sebuah ide sangat 'mahal' jika dikaitkan dengan dunia kreatif dan industri? Tidak percaya?
Beberapa kasus terkait ide ini, saya dengar langsung dari beberapa teman, dan saya sendiri merasakannya.
Yang paling sering terjadi adalah pencurian ide pembuatan program untuk televisi, radio, media, konsep iklan, sinetron, hingga film, lagu dan musik.
"Gue sudah pitching sama tim kreatifnya, tapi konsep yang gue ajukan ditolak dengan alasan gak cocok. Tapi dalam hitungan bulan, konsep yang gue bikin itu tayang dengan judul lain," kata teman wartawan.
Sudah bukan rahasia jika hampir semua stasiun televisi sangat 'rakus' mencari ide-ide segar. Mengandalkan ide tim internal semata tidak akan bisa bersaing dengan tivi lain.
Maka pilihannya adalah menggandeng pihak luar. Cukup masuk akal karena tim kreatif internal lelah digempur tuntutan rating, dan bersaing. Karena capek, kreatifitas akan menjadi kendur. Jalan kreatif lainnya adalah mencuri ide yang datang, atau memodifikasi program lain yang sudah ada dan ratingnya lagi tinggi di stasiun tivi sebelah.
Nah, teman saya tadi termasuk 'ide yang datang', kemudian ditolak untuk dieksekusi dan diklaim milik stasiun televisi. Kalau sudah begitu, sulit bagi penggagas atau pemilik ide untuk menggugat. Itulah contoh betapa mahalnya sebuah ide.
Saya sangat menghargai setiap ide, yang datang dari diri sendiri terutama dari orang lain. Jika ada orang meremehkan atau mengabaikan ide kita, itu bukan karena dia lebih baik. Bisa jadi karena tidak memiliki ide sebaik kita. Maka, tetap fokus dan berani mewujudkan ide kita sendiri itu lebih baik.
Dengan segala keterbatasan, saya tidak punya opsi memperkecil risiko matinya ide, selain menyimpannya dalam memori.
Dengan harapan di saat menemukan alat tulis nanti, ide di dalam memori bisa dihidupkan lagi. Itu dengan catatan, ruang penyimpan data di memori cukup kuat untuk mem-backup ide-ide yang berlarian tadi.
Sebelum melantur, izinkan saya bertanya mengapa saya harus menulis? Bahwa menulis adalah ciri mahluk beradab, itu tidak selalu benar. Sebab, sejak jaman batu manusia sudah berupaya menulis di goa-goa dan batu. Seperti apa mahluk beradab itu? Ya, yang bisa menulis.
Sebaiknya menulis menjadi budaya (disiplin) selain membaca. Semoga kita menjadi beradab setelahnya. Atau paling tidak ikut berkontribusi mengisi peradaban.
Menulis memerlukan enerji, bukan sekadar tumpahan isi kepala dan perasaan. Menulis seperti proses menularkan referensi, pengalaman atau seberapa dalamnya perenungan si penulis.
Menulislah jika bosan dan malas bicara, ketika marah, merasa lapar dan dahaga. Menulis juga untuk menunjukkan bahagia, cinta dan nestapa.
Jangan takut tulisan jelek dan menjadi cemoohan. Karena menulis bukan untuk orang lain. Menulis sejatinya untuk diri sendiri.
Mulai saja menuliskan apapun, lupakan bahwa orang akan menilainya buruk. Kalau pendapat saya salah, abaikan. Sebab, saya pun masih belajar menulis. **
Sabtu, 3 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar