Langsung ke konten utama

Hidup Terkadang Ngehek, Kawan!

Tidak semua rencana yang kita rancang selalu berjalan linier. Sangat mungkin ada ganjalan. Sebab, roda kehidupan berputar.

Sebuah pesan Whatsapp, pada pertengahan Januari 2018 mampir di gawai cerdas saya. Isinya cukup membetot pikiran, seperti menjambak posisi dari tempat yang saya rasa cukup ideal selama belasan tahun di perfilman. Mungkin saya terlalu asik, atau terlena di dalamnya.

"Saya sudah dapetin fotomu dari facebook untuk dibikin ID Card. Tinggal foto KTP yang harus dikirim. Sekarang, ya," perintah tertulis dari Fawzie, teman lama di Harian Terbit.

Di koran sore milik Menteri Penerangan Harmoko -- sebelum dijual ke pihak lain tahun 2014 -- itu Fawzie bertugas di bagian pemasaran dan periklanan.

Sebuah foto ID Pers (kartu pengenal) menyusul dibawah "perintahnya". Kartu pengenal itu bertuliskan nama Koran OK OCE. 
Di bagian bawahnya terpasang foto close up wajah saya produksi tahun 2011. Lalu di bawahnya lagi tertulis nama dan jabatan: REDAKTUR PELAKSANA.

Surprised, tegang, terhenyak saya setelah membaca penawaran kerja yang agak maksa itu. Karena kenal baik dengan dia, saya patuhi saja mengisi posisi tugas itu. Padahal belum pulih kesadaran saya tentang hal, yang semestinya dan biasanya sulit untuk orang mendapatkannya: kesempatan dan kepercayaan itu.

Tapi, ah sudahlah. Intinya saya jadi galau mendapat tantangan bekerja  di media, yang akan menjadi corong aktivitas kegiatan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

Saya sempat meragukan tawaran kerja tersebut. Tapi kemudian bisa memahami setelah mendapatkan progress setiap harinya melalui grup WA team redaksi koran OK OCE. Artinya, tawaran ini serius.

Keseriusan Fawzie sebagai Pimpinan Perusahaan di media ini saya lihat dua minggu kemudian. Progres itu antara lain dengan selesainya mock up (dummy) untuk koran full color ukuran tabloid setebal 24 halaman yang dirancang edar gratis periode mingguan. Anehnya, saya belum sempat bertemu muka dengan tim redaksi.

"Kita akan duduk membahas ini setelah bertemu Wagub Sandiaga pekan ini," kata Fawzie di seberang telepon, Senin (12/2/2018).

Semua informasi, data, tugas, rubrikasi, lay out untuk mock up, dan kewajiban masing-masing pihak dikerjakan secara online. Ini zaman canggih, membuat media atau bekerja tidak harus "setor muka" atau datang ke kantor.

Konsep media komunitas koran dan online OK OCE menjadi arena baru saya dalam memproduksi berita nantinya. Ini media umum yang mencakup informasi politik, ekonomi, seni, dan budaya.

Dari namanya, media ini sangat tegas merupakan bagian dari program yang diwacanakan oleh Wagub DKI Sandiaga Uno berupa pemberdayaan pengusaha kecil (UMKM) dan perusahaan startup. OK OCE singkatan dari konsep One Kecamatan, One Centre for Enterpreuneurship) yang diusung Sandiaga saat kampanye Pilkada DKI tahun 2017 yang sangat panas.

Berat hati saya menerima tawaran ini sebab bukanlah pemilih dan simpatisan, meski bukan pula musuh pejabat Pemprov DKI Jakarta yang baru 100 hari dilantik.

"Sebaiknya diambil saja, gak usah dipikirin soal idealisme. Berjihad dululah untuk keluarga," kata Matt Bento, rekan seiring saat saya bocorkan kabar ini. Dia memberi solusi dan semangat.

Saya harus sampaikan kabar ini pada Matt Bento (Herman Wijaya) karena memang dia harus tahu sebagai salahsatu pendiri (Bendahara) Forum Pewarta Film yang baru dilegalkan dengan akte pendiriannya tahun 2018. Selain dia ada Dimas Supriyanto sebagai Sekjen, serta dua orang Dewan Pengawas yaitu H Djonny Sjafruddin SH dan HRM Bagiono SH, MBA.

"Hajar bray, duit gak ada agamanya. Profesional aja," tulis Bobby aka Sossisagaya melalui pesan WA besoknya.

Akhirnya grup WA Forum Pewarta Film riuh, memberi support. Sebagian bertanya lewat jaringan pribadi (japri), tentang bagaimana nasib tabloidkabarfilm.com yang saya kelola selama ini.

Rencana saya menggarap koran OK OCE dibocorkan Dudut SP yang menyebar informasi ke grup. Yo, weslah. Padahal, maunya saya nanti-nanti saja ngasih kabarnya, atau biar pada tahu sendiri. Toh, saat ini masih dalam tahap persiapan.

Saya seperti terlempar keluar dari kursi permainan. Ini lompatan baru yang menantang sekaligus kesempatan. Di bidang film yang romantis, suasananya semakin tidak kondusif, sempit, kurang sehat untuk menyemaikan gagasan dan ide.

Terutama, sudah semakin banyak wartawan yang peduli pada nasib perfilman Indonesia, serta mau diapakan perfilman dan wartawan film ke depannya. Sehingga saya harus secara perlahan menepi dari pusat keramaian di sana, cukuplah melihat dari kejauhan.

Meski menepi, saya tidak benar-benar beristirahat. Bidang organisasi dan liputan film masih menarik-narik saya. Hanya tinggal bagaimana saya bisa mengatur waktu.

Di saat sedang mempersiapkan beberapa program Forum Pewarta Film, tawaran baru ini membuat saya sempat menggerutu: "Ngehek, kenapa harus dapet yang seperti ini?"

Tapi, diam-diam saya bersyukur atas situasi dan tantangan ini. Hidup terkadang memang ngehek. Kita tidak selalu harus memilih sesuatu yang diinginkan karena bisa langsung ceprot, dikirim dari langit.

Supaya tetap jadi manusia waras, tak ada cara menyikapinya kecuali mengikuti permainan ini.

"Ikuti saja iramanya, isi dengan rasa.." demikian saya pinjam lirik lagu berjudul Apakah Ada Bedanya milik penyanyi puitis Ebiet G Ade yang penuh wejangan itu.  **

Senin, 12 Februari 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala