Asyiknya jadi sandal, tidak saling menghujat. (tis) |
Berdasarkan beberapa dalil yang saya baca, doa orang Islam tidak akan sampai kepada kafir walaupun itu kerabat dekat, termasuk ibu. Putus tus. Seperti menelpon tapi pulsanya habis. Hanya terdengar nada tuut..tuuut..tuutt!
Tapi rindu dan cinta pada ibu tidak pernah pupus. Kalau berdoa untuk ibu tidak sampai, pakai cara apa dong supaya kangen ini tersambung? Masak, gak ada opsi lain? Tapi memang tidak ada dalil lain yang bisa menolong.
Bagaimanapun, ibu akan selalu di hati, tidak pernah pergi. Cinta dan sayang itulah pengganti doa. Masak sih, ibu tidak bisa ditolong dengan doa anaknya yang saleh ini? Jadi, doa saya kepada orangtua hanya sampai untuk almarhum bapak yang lebih dulu pergi karena beliau muslim. Juga untuk nenek. Duh,..ampun. Maaf ibu..
***
Saya ingat waktu kelas 1 sampai 2 SD tinggal bersama ibu -- selepas dari pengasuhan nenek -- suatu hari pernah diajak main ke gereja, merayakan natalan. Nyanyi-nyanyi kidung jemaat. Masa kecil yang dinamis. Ini pengalaman pertama dan terakhir saya ikut ibu ke gereja di Tanah Tinggi, Senen. Kelas 2 SD saya lari dari rumah, karena kangen nenek. Dan, ketemu lagi dengan ibu di kelas 6.
Setelah natalan itu, beberapa bulan kemudian Ramadhan saya puasa dan sahur. Puasa dan mengaji kebiasaan dari nenek dan pakde. Saya diasuh nenek sejak umur setahun lebih karena bapak meninggal sakit di usia 36 tahun.
Ketika agak besar, umur 7 tahun saya berusaha dikembalikan ke ibu, tapi rasa kangen lebih kepada nenek. Intinya, saya ingin mengatakan bahwa soal toleransi beragama, saya sudah kenal sejak bocah.
***
Tibalah suatu masa, ketika di Indonesia akhir-akhir ini muncul istilah "mabuk agama", para penceramah ringan mulut menyebut kafir bahkan pada penganut Islam yang tidak sejalan pandangan politik dengannya.
Jejaring sosial Whats App punya keluarga pun terpapar broadcast ceramah video dan artikel hasutan, hoax, intoleran, dan seterusnya yang mengusik kenyamanan.
Sebelum berhembus isu SARA (Suku Agama dan Ras) di ajang pilpres dan terutama pilkada DKI Jakarta, hampir bisa dipastikan hidup beragama cukup kondusif. Perbedaan mazhab masih bisa dimaklumi.
Orang mau lebih cepat atau lambat melaksanakan Idul Fitri, misalnya, tidak menimbulkan reaksi keras. Mengucapkan selamat natal pada tetangga tidak masalah, bisa bergembira merayakan Tahun Baru, dan seterusnya.
Beragama ketika itu apa adanya, sederhana. Jilbab, akikah, busana syariah belum musim. Sedikit orang menyebut "syafakallah fii umrik..antum, akhi, tafadhol, dan lainnya untuk mengganti beberapa kata bahasa Indonesia. Berislam masih sangat terasa dengan cara Indonesia. Bahkan ada ungkapan nyeleneh: Cuek aja yang penting Islam. Guyonan ini terasa ringan, jika dibandingkan hari ini di musim banyak orang bersumbu pendek.
Eksposure wajah Islam jaman now lebih garang. Sebagian memahami ini adalah periode "futhu Mekkah", jaman pergerakan Islam.
Ada juga yang menghembuskan gagasan inilah jaman perang. Khilafah kudu ditegakkan di Indonesia. Musuhnya tak cuma kafir tapi sesama muslim yang tidak sepaham politik dengannya. Sampai jenazah muslim ditolak disolatkan karena beda pandangan politik, ribet dah.
Saya bertanya pada seorang ikhwan, aktivis dakwah yang setiap hari bergerilya, jihad sambil meninggalkan anak-istri, menjauhi keluarga dan kerabat, menjadi sosok yang inklusif. Jihad katanya. Islam menjadi sangat keras di dirinya. Beragama jadi merepotkan. Tergesa-gesa. Negara lain sudah memikirkan teknologi canggih, di sini mbulet urusan sorga-neraka.
***
Rabu (3/1/2018) saya selagi asyik mendengar "ceramah" pengusaha bioskop di Ayam Goreng Suharti Jl KH Wahid Hasyim tiba-tiba diajak ngobrol dan ditanya oleh teman muslimah berjilbab.
Dari obrolan, saya bisa menangkap sekilas jika dia penganut Islam yang bersahaja tapi tidak ngasal. Dia resah dengan fenomena beragama setahun terakhir ini terutama di Jakarta.
"Banyak teman dan saudaraku di grup WA, yang jadi aneh caranya beragama. Mau dibantah atau diajak berdiskusi tentang pemahamannya itu sudah gak bisa," katanya dengan wajah prihatin.
Sebagai muslimah yang bersikap dan berpikiran terbuka, teman saya punya masalah perbedaan pemahaman keislaman yang muncul di keluarganya. Saya rasa dia tidak sendiri, banyak keluarga Islam menghadapi hal yang sama sekarang.
"Ibunya mau modalin akikah anaknya (cucu) dan sudah beli kambing pun masih dikejar persyaratan, kambing harus warna hitam-putih sesuai sunah Nabi Muhammad. Lha, ibunya sudah beli kambing yang warna cokelat. Kan, jadi repot," katanya.
Saya ngobrol soal ini sambil agak berbisik-bisik takut ganggu paparan pemilik bioskop dari GPBSI yang sedang membentuk kepengurusan baru. Beberapa teman wartawan hadir di ruangan yang sama.
Beragama yang santun, lemah lembut, tidak jumawa, dan rendah hati menjadi agak sulit ditemui akhir-akhir ini.
Sayangnya, para penganut Islam ghirah tinggi ini tidak sungguh-sungguh mampu menjadi panutan buat saya, yang pernah merasakan dikontrol oleh seorang "amir" dan nyaris tidak bisa melepaskan diri dari kelompok pergerakan dakwah Islam bawah tanah.
Buku-buku seperti Sirah Nabawiyah karangan Hasan Albana dan sejenisnya jadi bacaan wajib di jaman tarbiyah di tahun 1990 itu. Ketika saya lari, dianggap futhur.
Apapun istilahnya, akhirnya saya bisa kembali merindukan suasana beragama yang gayeng, penuh toleransi sebagai warga negara Indonesia, yang tidak hanya dimiliki oleh satu penganut agama saja.
Beragama itu penting. Penting sebagai nasihat (hadist), sebagai candu (Karl Marx), dan sebagai urusan pribadi (masyarakat Eropa) sekalipun.
Tetapi yang menentukan seseorang itu Islam atau muslim, kata Cak Nun adalah hak prerogatif tuhan. Bukan manusia yang menentukan seseorang itu muslim ataupun kafir.
"Bahkan aku menyebut diriku muslim, tidak berani karena itu hak prerogatif Allah," kata Emha Ainun Nadjib dalam viral video ceramahnya. **
Kamis, 4 Januari 2018
https://youtu.be/xye_Vbb9-Yw
Komentar
Posting Komentar