Langsung ke konten utama

Passion Dan Kesempatan

Sering menyimak pergaulan orang-orang film, membuat saya agak kebal sanjungan, tidak mudah GR (gedhe rumongso/ gede rasa) disebut 'punya tampang' menjadi pemain film. Bahkan, ketika seorang produser film ngasih kode kesempatan itu, saya abaikan.

Bukannya sok jual mahal, juga bukan minder tapi bisikan dalam hati melarang saya berada di sana saat itu. "Nanti-nanti sajalah," begitu saya membatin.

Tahun 2015 ada yang menawari saya berbisnis mengelola bioskop. Tertariklah saya, tapi belum tergugah. Padahal yang menawari jagoan bioskop. "Lain kali saja," kata saya menolak halus.

Kesempatan itu saya syukuri. Pertama, karena saya dianggap mampu di bidang yang tidak pernah terlintas di benak. Kepercayaan orang kepada kita adalah doa yang baik, jadi wajib diaminkan. Amin..

Kedua, saya bersyukur karena tawaran/ kesempatan itu hanya sebagian dari yang saya ambil dan lewati. Artinya, banyak kesempatan dari lingkup industri perfilman. Tetapi kita tidak selalu bisa mengambil semua rezeki yang datang, toh?

Sementara ada nasihat mengatakan, jangan melepas kesempatan karena dia datang cuma sekali. Teori itu tidak bisa saya yakini sampai sekarang.

Pada praktiknya, kesempatan justru bisa dirancang kedatangannya. Seperti tukang kredit; dia tidak bisa dicegah tapi bisa dihindari. Adalah passion dan cinta yang mendatangkan kesempatan itu datang berulang.

Ketika berada dalam situasi ini, umumnya kita dihadapi dilema untuk menentukan skala prioritas.

***

Waktu berputar cepat. Orang yang sama kembali menawarkan idenya di awal 2018. Ini kesempatan kedua saya untuk menjelajah pengalaman baru: mengelola bioskop.

Jangan bayangkan bioskop itu sebesar Cinema XXI, CGV atau Cinemaxx.

"Lu harus mulai sekarang karena ini prospektif," kata pak Romli sebut saja begitu, pengusaha bioskop. Dia sangat antusias mengajak.

Setiap bertemu, dia menasihati supaya saya memulai usaha jasa putar film itu.

"Kalo lu udah merasa siap dan yakin bisa ngejalanin, gue akan bantu dah," katanya setelah sejam memprospek saya di Upnormal Cafe, Plaza Kuningan, Jakarta, Selasa (9/1/2018). Beberapa teman saya ajak untuk mendengarkan ceramahnya.

Kafe ini sempat kosong beberapa bulan sejak pihak pengelola waralaba "Seven Eleven" menutup usahanya di tempat itu dan di seluruh Jakarta. Bisnis toko tempat nongkrong anak muda ini bangkrut.

Itulah pertemuan kedua saya dengan pak Romli di Januari ini. Saya pamer sejumlah foto dan video lokasi dan ruangan -- hasil survey -- yang akan nenjadi target tempat bioskop kecil yang pertama. Cukup representatif menurutnya. Saya senang mendengarnya.

"Ok, besok gue kirim materi film yang di-watermark.  Peralatan yang diperlukan seperti infocus atau proyektor dan dvd player menyusul," katanya.

Terbayang saya mengelola bioskop mini, yang akan dihadiri penonton dari kalangan masyarakat kelas bawah.

Mereka adalah penggemar film yang hanya ingin menonton, tanpa berniat mengeluarkan uang lebih untuk belanja atau window shopping seperti di mal-mal.

Hampir seluruh bioskop besar di Indonesia terintegrasi dengan pusat perbelanjaan dan mal di tingkat kabupaten.

***

Ruang dalam Kino Tuskanac di Zagreb (tis) 

Pintu masuk Kino Tuskanac. (tis) 
Ketika mengikuti kegiatan Indonesian Movie Week di Kroasia pada bulan Juni 2017, saya lagi-lagi dapat kesempatan melongok dua bioskop kecil di dua kota bekas negara Balkan yang pernah dilanda perang saudara.

Kedua bioskop itu Zlatna Vrata di kota Split dan Kino Tuskanac di Zagreb, ibukota Kroasia.

Bioskop mini Zlatna Vrata berkapasitas sekitar 200 orang. Pulang menonton di sini saya menikmati suasana kota pantai yang sangat bersejarah itu.

Sedangkan bioskop Kino Tuskanac dengan konsep kursi penonton mendatar berdaya tampung 300an kursi. Penempatan kursi mendatar tidak mengganggu kenikmatan menonton. Penonton di barisan depan tidak menutupi pandangan penonton di belakangnya.

Hal itu karena jarak kursi antara depan dan belakang cukup jauh. Semua penonton nyaman dan leluasa melihat layar lebar sekitat 3m x 6m. Ruangan bioskop yang luas memungkinkan pemasangan kursi seperti itu. Di Indonesia belum saya lihat model begitu.

Kursi di bioskop Zlatna Vrata, Split. (tis) 

Narsis diantara kursi para sineas dunia di bioskop Zlatna Vrata, Split. (tis) 
Tawaran mengelola bioskop saya syukuri. Pertama, saya dianggap mampu di bidang itu meskipun tidak pernah terlintas terjun ke wilayah itu. Kepercayaan itu saya anggap sebagai doa. Harus diaminkan. Amin.

Bioskop mini nanti berbiaya HTM (Harga Tanda Masuk) jauh lebih murah dari bioskop besar. Ini akan membuka kesempatan masyarakat terutama di pelosok daerah yang tidak terjangkau oleh bioskop untuk menikmati film-film nasional.

Menghadirkan bioskop mini dalam skala nasional adalah bentuk dukungan kepada pemerintah dalam meningkatkan apresiasi terhadap film nasional. Hal ini diamanatkan oleh Undang Undang Perfilman No 33 tahun 2009.

Ini bukan pekerjaan mudah tapi juga tidak sulit. Beberapa hal harus disiapkan seperti sewa gedung, mengurus perizinan ke lembaga terkait, mengupayakan permodalan, dan printilan lainnya.

***

Kesempatan kali ini tidak hanya prospektif dan visible tapi sejalan dengan program kampanye film Indonesia, dan yang penting dekat dengan passion saya sebagai wartawan lebih dari 20 tahun.

Harapan senantiasa ada ketika cinta meresap dimanapun termasuk di dalam pekerjaan.

Kesempatan sebaiknya diciptakan atau dijemput, karena kita tidak pernah sabar menunggu datangnya. Saat ini, beberapa kesempatan datang.

Perlu sikap tegas dan ketajaman intuisi untuk menentukan skala prioritas agar tidak gamang. Take it or leave it.

Di saat saya siap memposting tulisan ini, pesan Whatsapp dari pak Romli terbaca di selular. Dia menepati janji mengirimi contoh film yang diberi watermark. 

Rabu, 10 Januari 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala