Langsung ke konten utama

Out Of The Press


Jumat (12/1/2018) seorang kawan -- mantan wartawan yang juga pegiat sastra -- memposting tempat kerjanya yang baru. Dia menggelar lapak pakaian di lapangan dan siap memulai sebuah perjalanan bisnis. Nanti saya akan cerita soal kawan saya ini.

Dua pekan sebelumnya, beberapa teman wartawan menandai saya di postingan akun Facebook mereka. Saya juga melihatnya di Instagram.

Postingan produk kopi kemasan merk "Aloya" itu berbahan baku kopi dari Temanggung, Jawa Tengah lalu dibawa ke toko di Medan, Sumatera. Produk kopi ini milik Susi Ivvaty mantan wartawan pegiat sastra dan kebudayaan.

Seorang teman wartawan lainnya, Agus Asianto dan Frieta istrinya juga memperkenalkan bisnis kuliner merek "Ayam Gosong" di Depok, Jawa Barat.

Sebulan yang lalu dia mengunduh info menu baru tersebut di dinding akun Facebook miliknya. Menurut yang sudah mencicipi ayam goreng ini, rasanya enak dan gurih.

"Gosong cuma namanya saja, mungkin karena sebelum dimasak direndam di air kelapa lebih dulu. Makanya kulit ayam menjadi hitam. Rasanya, enak kok," kata Rosihan Nurdin aka Bang Hance, wartawan senior eks majalah Femina. Dia mengaku mencicipi "Ayam Gosong" di sebuah acara premiere film.

Jauh sebelumnya, teman liputan bidang hiburan membuka usaha kuliner khas Jawa Barat; "Nasi Liboet".

Dibantu Tuti istrinya, Eko Hendrawan meracik masakan pesanan para klien di dapur rumahnya yang terletak di tengah kota Bandung, Jawa Barat. Saya sempat mampir ke 'show room'-nya yang hangat. Hangat dalam menerima tamunya.

Ada yang lebih lama berbisnis, Agi Sugianto. Dia berhenti jadi wartawan lalu berbisnis obat-obatan herbal dan peralatan agraria. Kini jangkauan usahanya melebar. Dia bigboss di perusahaannya yang beromzet miliaran rupiah.

"Saya lagi menunggu kiriman gagang pacul dari daerah, dan mata pacul dari Cina untuk petani di Jawa Barat," kata Agi waktu saya ajak ngobrol di pendopo rumah mewahnya, di kawasan Cibubur tiga tahun lalu. Saya diundang berbuka puasa waktu itu.

Karena kangen pada dunia jurnalistik beliau mendirikan media online.

Eko Hendrawan, juragan Nasi Liboet.



Salahsatu novel karya Sihar 'Ucok' Ramses. 
Banyak teman wartawan yang saya kenal nyambi berbisnis. Misalnya Dharono Trisawego jualan aneka sepatu boot melalui jasa online di Bandung, Dewi Syafrianis jualan sambal botol, dendeng dan rendang merek "Dendang". Saya sudah mencoba sambal dan rendang racikan wartawan tabloid Wanita Indonesia ini. yummy..

Wartawan senior Ary Sanjaya selain jadi produser program televisi juga buka penitipan motor di stasiun Depok, Nini Sunny menulis buku biografi dan tokoh musik didukung Dudut Suhendra Putra untuk sesi dokumentasi fotonya.

Ada beberapa teman yang menekuni dunia baru sebagai blogger dan vlogger seperti Alia Fathiyah (terakhir di tempo.co) atau Yustina Widhartantri eks wartawan koran Warta Kota yang sekarang rajin memberi konsultasi urusan bisnis dan media.
Sebagai blogger, Tantri juga menulis buku dan 'berteman' hantu sejak menjadi ghost writer. Jurus 'penulis tanpa bayangan' ini juga yang dipraktikkan oleh alumni wartawan Suara Pembaruan, Stevy Widia. Tentu tidak afdhol kalau tidak menyebut Alberthiene Endah, eks wartawan majalah Femina yang sudah tinggi jam terbangnya sebagai penulis buku.

Dunia pembibitan dan budidaya ikan dijalani Agust Chandra eks wartawan Sentana sejak limatahun lalu. Dia menjadi peternak ikan lele. Ekspansinya relatif cepat ke sejumlah kota sekaligus menularkan pengalaman kepada masyarakat dan kalangan akademisi di kampus melalui program pelatihan dan workshop.

Di bidang penulisan novel, skenario dan penyutradaraan film ada Wibi Aregawa, Salman Aristo, Akhlis Suryapati, dan Erwin Arnada.

Buku-buku dan pentas karya sastra diminati oleh Akhmad Sekhu. Wong Tegal ini sudah berkarya dalam pembuatan buku-buku dan manggung di event kesusastraan. Ada juga Public Relation (publishis) film seperti Sry Muliana Nasution yang bergabung di PH Falcon Pictures.

Para pebisnis dan enterpreuner itu saya kenal bahkan diantaranya sangat kenal baik. Pernah sama-sama berada di satu titik perjuangan.

Mereka lebih dulu menyelesaikan tugas, berani mengambil sikap dan kesempatan di dunia baru. Sebagian lainnya masih runtang-runtung, berjibaku dalam kesibukan harian. Menikmati profesi dan terus berjuang.

Beberapakali saya menyaksikan pindah kerja wartawan Harian Terbit -- tempat saya memulai jadi wartawan -- ke media lain. "Mereka lolos ujian," kata teman senior di koran milik Menteri Penerangan H Harmoko waktu itu.

Saya masih 'imut-imut' sebagai wartawan jaman itu cuma bisa tersenyum. Kepikiran juga pindah kerja kalau ada kesempatan mengikuti senior Amazon Dalimunthe, Kesit B Handoyo, Evieta Fajar Pusporini, Ajat Sudrajat, Saeno M Abdi, Arief Budhi Soesilo, dan lain-lain.

Suatu hari saya 'keluar' dari koran sore yang bermarkas di kawasan Industri Pulogadung, satu atap dengan gedung percetakan PT Metro Pos.  Saya pun berkreasi sebagai freelancer di koran Pikiran Rakyat, dan beberapa majalah internal.

Ikut mempersiapkan dummy majalah ekonomi finansial Money selama setahun adalah pengalaman tak terlupakan. Karena belum sempat dicetak, manajemen PT Velvet Media (induk perusahaan Majalah Playboy, Four Four Two, Shape dan Behind The Screen) membatalkan niatnya. Akibatnya, saya dipindahtugaskan ke majalah Behind The Screen.  Di tempat ini saya bertemu dengan senior Erwin Arnada, juga Ponti Carolus, Salman Aristo, Soleh Solihun dan lainnya.

Soleh Solihun sekarang ngetop sebagai komika sebelum jadi aktor dan sutradara film. Aura kebintangannya memang sudah muncul waktu itu; ngocol dan ceriwis berbahasa Inggris.

Sebelum lupa, ada Hendra Lesmana eks wartawan Lembaga Kantor Berita Nusantara Antara yang beberapa tahun terakhir aktif memotret dan memandu para model.

Dia rajin memposting  fotonya di Facebook dalam pose akrab dengan para model cantik dan manja binaannya. Sampai sekarang saya sulit membedakan siapa sebenarnya yang manja; Hendra atau para modelnya? Wkwkwk..

Kehidupan sufi juga menjadi pilihan selepas menjadi wartawan. Jalan ini ditempuh oleh Candra Malik yang pernah menjadi reporter koran Indo Pos dan beberapa media setelahnya. Kini, seniman pengasuh spiritual lulusan pesantren ini lebih dikenal sebagai budayawan dan tokoh sufi. Puisi dan lagu ciptaannya terdokumentasi dalam album rekaman komersial.

Endi Aras Agus Riono pernah turun ke lapangan sebagai reporter akhirnya menjadi tokoh pelestari permainan tradisional gasing. Lewat gasing-nya itu Endi melanglang buana, diundang jadi pembicara di televisi dan meraih penghargaan kebudayaan.

Ketika Gatot Brajamusti jadi Ketua Parfi, saya membuat dan dia yang mendanai majalah Action milik kami.

Sayangnya hanya sampai dua edisi di tahun 2011. Edisi ketiga gagal print, karena sang 'investor' sulit dihubungi. Untuk menyelesaikan tiap edisi, saya dibantu Didang Prajasasmita, Ibrahim Syachroni, Bobby Batara, Adjie Adjo, dan Dudut Suhendra Putra.

Nini Sunny, Akhmad Sekhu, dan Erwin Arnada.

Dewi Syafrianis dan produk rendangnya.

Sry Muliana, Alia Fathiyah dan Yustina Widhartantri. 

***

Wartawan beralih profesi bukan kejadian luar biasa. Dari telusuran berita, terpapar jelas sejumlah pesohor berlatar profesi wartawan.

Ada pengusaha, budayawan, seniman, politisi, menteri, bahkan wakil presiden Adam Malik adalah mantan wartawan. Dan banyak lagi tokoh-tokoh berlatar profesi wartawan sejak jaman pra kemerdekaan

Kiprah mantan atau wartawan tak semua tercatat di jagad sejarah. Mereka bergerak dalam irama kehidupan yang berbeda; mungkin jalan sunyi.

***

Beberapa bulan ini saya merasa senang, terharu sekaligus bersemangat melihat dan mendengar kabar wartawan dan mantan wartawan berbisnis.

Mereka teman-teman seangkatan yang berani dan punya kesempatan, melepas dinamisnya dunia pers.

Jika nanti mereka sukses, saya akan bangga mengatakan kepada banyak orang: Mereka adalah teman-teman saya!

Jika mereka gagal dalam misi mengejar passion atau mengubah status dan nasibnya, saya akan bilang: Mereka adalah sahabat saya seperjuangan!

Saya percaya darah wartawan tetap mengalir pada jiwa mereka, terus terbawa dalam proses menuju sukses.

Sikap egaliter, mau melayani, mampu membaca peluang, mudah beradaptasi dan kritis itulah yang saya kenal dari mereka.

Menjalani hidup dengan berbagai profesi merupakan pilihan setiap orang. Namun, sukses atau tidaknya tergantung pada skill dan campur tangan Tuhan.

Hidup memang harus dijalani. Orang yang baik bermanfaat untuk diri dan banyak orang. Semoga makin banyak wartawan yang menjadi pengusaha. Melanjutkan misi perjuangan sampai di satu titik sukses.

***

Seperti janji saya di awal, inilah sinopsis tentang Sihar Ramses Simatupang yang membanting setir, duduk lesehan beralas terpal menunggu datang pembeli pakaian di lapangan kawasan Stadion Pakansari, Bojonggede.

"Baru sebulan, tapi hasilnya lumayan, bro. Apapun harus aku lakoni sekarang. Hidup semakin berat, media cetak tak bisa jadi andalan lagi," katanya dalam chat via Whatapp, Sabtu pagi tadi.

Nama Sihar Ramses cukup populer sebagai aktivis dan pegiat sastra. Karyanya banyak tersebar mulai dari novel, cerpen, ontologi puisi, dan naskah cerita.

Dia juga dosen terbang di sebuah kampus universitas swasta di Jakarta. Di tengah kesibukannya itu, Sihar memelihara tanaman dan ikan hias yang juga dijualbelikan.

"Sekarang aku lagi bikin tesis. Mudah-mudahan Februari besok aku jadi dosen di UMN," kata Ucok, sapaan Sihar tentang kegiatan lainnya. Saat ini, dia mengejar S2 jurusan Seni dan Industri Urban di IKJ.

Semangatnya sangat besar dan meletup-letup mengalahkan keruwetan masalah keseharian yang harus dihadapi sebagai suami, dan ayah dua orang anak.

Tapi yang lebih penting, Sihar membebaskan dirinya dari rasa sungkan dan malu melakoni debutnya sebagai pedagang lapak pakaian saat ini. Saya sempat terkejut dan miris tapi kemudian memuji tindakannya.

Pelajaran yang saya dapat dari teman wartawan yang pintar bahasa Jawa dan Perancis ini: kerjakan apa yang harus dikerjakan. Buang perasaan gengsi. Horas lae!!

Saya jadi berfikir mau ngumpulin mereka semua dalam sebuah buku, sebuah cerita bahkan film. Sepertinya menarik. Tapi nanti, kalau saya sudah lebih banyak bertemu dan menggali kisah pengejaran passion mereka. Untuk sementara saya tulis disini dulu.

Terimakasih buat fotographer Dudut Suhendra Putra yang foto-fotonya saya culik.

Sabtu, 13 Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K