Langsung ke konten utama

Keringat Awal Tahun 2018

Ini foto ilustrasi dari google.. 
Sudah cukup lama, sekitar empat tahun saya tidak ikut main bola volley bersama warga di perumahan.

Senin 1 Januari 2018 saya tak bisa menghindari ajakan warga: selain masih suasana libur, juga baru mandi. Masih segar. Ketika keluar rumah, warga sedang pasang net. Saya diteriaki supaya bergabung.

Tak terasa 4 babak saya habiskan sore kemarin itu. Tak terasa juga jika selama itu saya tertawa lepas saling ejek tetangga, dalam konteks bercanda.

Para pemain volley tarkam ini berusia dibawah 50 tahun. Mereka para tetangga umumnya pekerja, sebagian setiap Sabtu-Minggu atau hari libur memilih hangout main volley di lapangan fasilitas umum di depan rumah saya.

Mereka masih layak jadi spiker, melompat dan memukul bola di atas net. Tidak selalu keras, tapi cukup membuat pertahanan tim sebelah kewalahan mengolah bola untuk membangun serangan balasan. Biasanya spiker mujur seperti ini dielu-elukan.

Sementara spiker lainnya berusaha melakukan smash tapi bola seringkali nyangkut di net. Kalau sudah begitu, kami saling tertawa. Menertawakan kegagalan. Ini kegagalan sebaiknya ditertawakan saja. Hahaha..

Formasi pemain dari dua tim ini campuran dua atau tiga RT dengan pertandingan non kompetisi menggunakan aturan internasional dan PBVSI: berlomba mencapai angka 25 di setiap babaknya.

Satu tim terdiri dari 6 pemain yang berperan sebagai tosser, spiker (smash) dua orang, libero, dan defender.

Tosser atau pengumpan bertugas mengumpan bola dan mengatur jalannya permainan. Spiker bertugas memukul bola agar jatuh di daerah pertahanan lawan tapi juga harus mem-blocking bola lawan di bibir net.

Libero adalah pemain bertahan yang bisa bebas keluar dan masuk tetapi tidak boleh men-smash bola ke seberang net.

Sedangkan Defender adalah pemain bertahan untuk menerima serangan lawan.

Saya beruntung masuk tim yang cukup solid, yang rata-rata masih mampu melompat, dan menahan serangan meski sering juga kocar-kacir.

Di jaman masih SMP dan SMA di tahun 1980an saya rajin latihan volley bergabung dengan tim yang saya lupa apa namanya di Kompleks Perumahan Dewa Kembar, Cilincing.

Jika tidak di Dewa Kembar (bersepeda dari rumah di Asrama Polri dekat Stasiun Tanjung Priok), tiap hari minggu main (sparring partner)  di lapangan Stasiun KA, atau cukup di asrama.

Waktu saya seperti habis untuk volley sebagai hobby bersama, ah saya jadi teringat teman kecil di asrama Tono Suhartono. Terakhir saya dengar dia jadi pejabat di Bea Cukai Jakarta. Kalau saat itu saya serius dibina, mungkin saya masuk timnas volley hahaha..

Atur nafas di kolam renang. 
Kesadaran untuk suka volley tumbuh begitu saja, karena pengaruh lingkungan. Setiap sore di asrama tempat saya tinggal dengan keluarga Pakde, selalu ramai orang main volley. Sesekali saya renang dan jogging.

Nah, sebagai bapak-bapak sekarang, saya tidak segesit dulu. Tapi bisalah sekadar untuk melompat smash, juga serve terarah: tanda kondisi tubuh masih prima. Saya syukuri ini.

Hanya saja, setelah menyelesaikan empat babak, pada malam harinya lengan dan tumit terasa pegal-pegal. Ini wajar karena otot kaget digeber begitu.

Hari pertama yang penuh keringat ini menjadi penyemangat, dan menyadarkan kalau saya harus lebih banyak nimbrung gaul di lapangan volley, atau melanjutkan jogging.

Memasuki tahun Shio Anjing 2018, tidak ada salahnya memaknai filosofi volley: melompat tinggi untuk smash mematikan. Minimal lakukan tugas sebaik mungkin sebagai libero, tosser atau defender.

Jangan menjadi pemain cadangan apalagi sekadar jadi penonton. **

Selasa, 2 Januari 2018 -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala