Langsung ke konten utama

Gaduh Beras Impor

Proses menanam padi di sawah Desa Simo,  Boyolali, Jawa Tengah. (tis) 
Mendadak beras jadi isu nasional di antara ratusan berita di media massa dan media sosial. Mulai dari pejabat level menteri sampai petani bicara soal beras. Ada apa, gerangan?

Konon stok beras Indonesia sudah menipis. Pemerintah tak mau terlihat kendor di hadapan hoaxer. Isu ditepis terlanjur berkembang, rakyat meringis petani pun gamang.

Sementara masih ramai berdiri warung Tegal, warung Padang, restoran siap saji, warung pecel lele, gerobak angkringan dan kafe-kafe penjual kuliner berbahan dasar beras.

Saya sebetulnya masa bodo amat. Selama beras (putih) bisa dibeli, tak perlu khawatir. Tapi kali ini urusan beras agak menghantui sejak melek mata sampai mau tidur.

Bukankah selama ada tempat jajanan kuliner, itu pertanda Indonesia aman soal pasokan beras? Setidaknya ini pandangan awam saya.

Belum lama di Papua, puluhan warga suku Asmat meninggal dunia akibat terserang campak dan gizi buruk. Kemudian ada yang mengeliminir kondisi tersebut sebagai hal yang tidak lepas dari buruknya infrastruktur -- terutama akses jalan, yang menyebabkan distribusi pangan dan kebutuhan tersendat ke wilayah timur Indonesia itu. Harga-harga jadi mahal di bumi Cenderawasih.

Di Biak saya makan mie instan 'termahal' di kantin Bandara Internasional Frans Kaisiepo. Harga per bungkus indomie 10 kali lipat dari Jakarta.

Itu terjadi tahun 2015, ketika saya diundang meliput Festival Film Etnik Nusantara. Kaget saya melihat jumlah nominal pada bon yang diserahkan kasir Rp25.000 (padahal cuma indomie plus teh tawar hangat). Dengan sigap, teman saya membayarkan kontan. Ya, saya memang dalam kondisi ditraktir saat itu.

Artis yang sekarang Ketua Umum Parfi'56 Marcella Zalianthy, Yanti Yasser, dan Ronie Dozer menjadi bintang tamu acara yang diprakarsai Dudung Abdullah Yuliarso (almarhum) dan difasilitasi Pemda Biak tersebut.

Tingginya biaya hidup (high living cost) di Papua saya saksikan di Biak. Kasus sederhana itu di depan mata; seorang panitia repot menghadapi permintaan salahsatu artis.

Bersama bocah Biak. 

Marcella Zalianthy di lokasi malam anugerah Festival Film Etnik Nusantara 2015. (dudut sp)

"Dia minta makannya pakai rendang malam ini. Disini kan, tidak ada warung Padang. Kalau siang hari masih bisa deh kita usaha cari, tapi sekarang tidak mungkin," kata panitia yang akhirnya tak dapat memenuhi permintaan si artis. Saya paham kalau dia mumet mencari solusi.

Si artis ngambek dan manyun.  Tapi ketika namanya disebut untuk naik ke panggung acara dan berbicara, senyumnya mengembang manis sekali. Syukurlah, dia profesional.

Situasi seperti itu kemungkinan tidak terjadi seandainya seluruh jalanan di Biak rapih mulus, terhubung sampai ke jalan kabupaten dan desa. Pasokan bahan pokok juga akan cepat dan harganya bisa sama dengan di Jakarta. Warung Padang dan Warteg tentu akan tumbuh subur.

Pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi sedang berusaha memangkas akses pengiriman barang ke sejumlah kota termasuk di Papua dengan membangun ruas jalan, dan infrastruktur seperti bandar udara dan pelabuhan.

***


Rencana pemerintah Indonesia membeli beras dari Thailand, Philipina dan Pakistan memicu polemik di pekan kedua Januari 2018. Apalagi total beras yang mau dibeli 500 ribu ton!.

Menurut petani, mereka sudah siap menyambut musim panen raya sekitar Maret. Jika pasar dijejali beras luar negeri, dikhawatirkan harga beras petani yang siap dipanen nanti bakal anjlok. Yang rugi adalah para petani. Kalau sudah begitu, siap-siap saja melihat munculnya pertanyaan menggugat, dimana keberpihakan pemerintah?

Petani bukan lagi wong cilik yang lugu bersahaja seperti dikisahkan dalam marhaenisme. Mereka punya paguyuban tempat bersuara menentukan arah nasib melalui sistem dengan bergabung di organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang diketuai Moeldoko, purnawirawan jenderal.

Pemerintah seperti dikatakan pengamat pertanian, mengeluarkan regulasi berbeda antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan,. Hal ini membuat wacana impor beras blunder dan gaduh.

Pemerintah cq Kemendag menilai impor beras (oleh Bulog) justru dalam rangka menjaga stabilitas harga beras medium di pasar. Sehingga petani tak perlu khawatir harga beras mereka anjlok saat panen nanti. Pemerintah juga menjamin stok beras masih aman.

Jika ada jaminan stok beras, sebaiknya juga dijamin daya beli masyarakat. Belum saya dengar ada pejabat yang menjamin stok uang belanja rakyat. Hehe..

***

Ngomongin beras bukan hobi saya, meski setiap hari bertemu dengan adiknya di dalam piring makan. Tapi terpaksa saya memesan beras aromatik dari petani di Cianjur. Seorang pengusaha warung Padang meminta pasokan beras untuk empat rumah makan miliknya di Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Depok.

"Kalau bisa lebih murah dari harga yang biasa saya beli, saya mau. Minta sample yang 50kg dulu. Kalau cocok, saya minta 10 ton setiap bulan," kata klien yang asli Jawa itu, waktu saya tawarkan beras Cianjur aromatik. Banyak orang Jawa mengelola warung Padang. Inilah bentuk akulturasi budaya dan bisnis.

Beras premium pesanan itu saya sanggupi dengan menghubungi seorang pimpinan petani di Cianjur, Jawa Barat. Dia channel saya satu-satunya untuk urusan beras partai besar.

"Beras aromatik sekarang Rp610 ribu per 50 kg," kata kang Wahyu kordinator petani, saat saya meminta rate harga beras empat hari yang lalu.

Singkat kata, kami sepakati harga dan tipe beras premium itu. Tapi, sampai hari ketiga, kiriman belum datang.

Melalui telepon, kang Wahyu mengatakan dia tak bisa mengantarkan beras tapi sudah berkordinasi meminta tolong kepada rekannya. Saya maklum, dan ternyata temannya itu pun tak juga mengirim.

"Harga premium aromatik tidak bisa di harga 610 pak. Nanti saya carikan yang medium tapi berkualitas," kata Tata, rekan Wahyu. Lho kok berubah?

Saya menganalisa, repotnya pengiriman beras itu dipengaruhi polemik dan gonjang-ganjing soal beras impor yang bernuansa politik beberapa hari ini.

Karena dikejar oleh klien, sementara pemasok tidak konsisten menetapkan harga, saya membatalkan order. Hilanglah kesempatan mendapat proyek 10 ton beras.

Tapi, rejeki tidak akan kemana-mana, dia hanya perlu dijemput karena manja.

Esoknya, kang Wahyu mengirim pesan WA ke saya,  "Maaf, mas Imam, saya lagi di Bojonegoro Saya akan bicarakan lagi sama Tata, Senin besok."

Saya iyain saja. **

Jumat, 19 Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut. Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo. Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat. Yosep menjaga adat hingga nanti Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya. Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai.  Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, K