Langsung ke konten utama

Tiket Nonton Film Dari Yahudi

Sobekan tiket nonton hari itu. Kebetulan dapat sama-sama di Studio Satu dan kursi no. 14 (tis) 
Dua film besar saya tonton pada Rabu (5/12/2017) sore-malam itu tidak khusus bicara tentang Yahudi sebagai ras dan agama, tapi ada "benang merah" diantara keduanya, terutama ketika esok harinya Presiden Amerika Donald Trump menyatakan dengan gagah, bahwa Yerusalem -- yang selama ini diakui dunia sebagai bagian dari negara Palestina -- adalah ibukota Israel, negara pendatang yang puluhan tahun mengikis perlahan bumi Palestina. Dunia bereaksi keras atas pengakuan Tramp yang kontraproduktif bagi proses perdamaian.

Kedua film yang saya tonton di dua bioskop (Cinema XXI Plaza Indonesia dan Djakarta Theatre)  itu adalah film nasional karya sutradara Guntur Soeharjanto Ayat Ayat Cinta 2 dan film internasional (impor) yang digarap Kenneth Branagh, sutradara merangkap pemeran utama film
Murder on The Orient Express.

Di AAC2 sosok Yahudi muncul pada tokoh nenek Caterine (diperankan Dewi Irawan). Keyahudian Caterine terkonfirmasi ketika dia memasuki sinagog.

Yang tidak biasa, Caterine diantar sampai pintu gerbang rumah ibadah Yahudi itu oleh Fahri, tokoh utama film sekuel Ayat Ayat Cinta (2008) yang sukses mengantarkan 3.800 ribu penonton ke bioskop.

Fahri dikisahkan sebagai penganut Islam yang taat dan tidak puritan. Film AAC2  memperlihatkan agama yang kerap dituding produsen teroris itu rahmat bagi seluruh penduduk bumi, tanpa pandang bulu, bahkan kepada Yahudi sekalipun.

Sementara, ada ayat yang berbunyi:.. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka

..

Tidak ada dialog film yang menjelaskan mengapa Fahri harus lapang dada mengantarkan Yahudi ke sinagog. Tentu saja, penonton yang punya nalar akan mengatakan "tak mungkin Fahri yang relijius itu pindah agama hanya karena mengantar nenek Caterine ke sinagog".

Hal itu terjadi di film yang setting-nya di Edinburgh dimana penganut Islam minoritas. Apapun itu, langkah sutradara memunculkan adegan yang tidak populer di ranah film Indonesia adalah hal baru.

Hadirnya sosok Yahudi di film adaptasi novel karya Habiburrahman ini mengingatkan kedekatan tokoh pembaharu Gus Dur kepada negara Yahudi Israel, yang sempat dipersoalkan karena sentimen agama dan minimnya dialog di Indonesia.

Selesai menghadiri gala premiere Film AAC2 di Plaza Indonesia, saya dan teman wartawan Herman Wijaya bergeser tempat ke Djakarta Theatre, meninggalkan acara press conference yang molor dari jadwal.

Saat turun lift di PI, saya satu rombongan dengan artis dan sutradara film Guntur Soeharjanto yang menggandeng anak laki-lakinya.

Posisi saya terjepit di belakang, tak sempat juga menyapanya sampai pintu lift terbuka dan mereka berhamburan. Waktu menjelang Maghrib, mungkin mereka mau solat.

Saya dan Herman mengejar jadwal nonton di Djakarta Theatre yang masih 1,5 jam lagi. Kami putuskan berjalan kaki ke Djakarta Theatre, sekalian olahraga.

Toh, sampai di bioskop legendaris ini masih ada waktu kami mampir tempat makan di kantin belakang dekat masjid Al Hikmah.

***

Tiket Murder on The Orient Express sudah di tangan, kami mulai menikmati film berbasis novel karya Agatha Christie yang pernah dibuat dan tayang tahun 1974 itu. Film cerita detektif ini memanjakan mata dan fikiran.

Film dibuka dengan adegan suasana kota Yerusalem di tahun 1943. Masyarakat penganut tiga agama besar di sana (Islam, Nasrani, dan Yahudi) hidup berdampingan.

Adegan beralih ke tembok ratapan, tempat suci yang diyakini orang Yahudi untuk menjalankan ritual doa.

Hercule Poirot mantan polisi yang menjadi detektif beraksi di kawasan tembok ratapan ini. Dia melakukan sidang kasus pencurian benda berharga di tempat yang majemuk itu, dengan cara memanggil tiga pimpinan agama Islam, Nasrani dan Yahudi sebagai tersangka.

Dia berhasil menemukan pencuri yang ternyata adalah polisi pelapor pencurian itu sendiri. Kasus selesai.

Tapi tugas baru menanti Hercule Poirot, dalam perjalanan liburan naik kereta, dia menghadapi kasus terbunuhnya seorang mantan penjahat yang menjadi pengusaha. Hingga selesai nonton, rasanya masih kepingin dan berjanji akan nonton lagi. Nanti.

Dari dua film yang ada Yahudinya tadi, saya terkesan pada tokoh nenek Caterine di film AAC2.

Sebelum menonton tadi, sebenarnya nenek Caterine datang ke meja tempat saya duduk di Premiere Lounge.

"Gue cuma muncul sebentar di film ini. Oya, ada itu gak, apa namanya.. tetring. Ini buat nyambung internet. Gue lagi fakir quota," kata Dewi Irawan. Dia datang sendirian.

Saya kenal dengan Artis Terbaik FFI 2014 (film Tabula Rasa) itu ketika sama-sama hadir di Gedung Film, Jalan MT Haryono,  Jakarta Selatan. Waktu itu pembentukan pengurus organisasi Sekretariat Kine Klub Seluruh Indonesia (Senakki) yang diketuai Akhlis Suryapati tahun 2006.

Artis kelahiran 13 Juni 1963 itu baru menata kegiatannya di perfilman sejak kembali dari Perancis. Lama dia tinggal di sana bersama anak dan suaminya. Saya masih ingat dia pakai topi, baju blazer dan celana panjang serba putih.

Waktu mbak Dewi sibuk dengan gawainya, saya pamit antre absen ambil tiket di meja resepsionist. Antrian panjang bikin sungkan. Apalagi, saat sampai di tempat registrasi tidak ada nama saya.

"Terimakasih, kalo begitu saya tidak absen," kata saya pada petugas PR Media dari MD Pictures di meja registrasi. Dia meminta saya untuk menuliskan nama, saya ogah. Dengan tidak absen, maka saya tidak dapat tiket nonton.

Saya kembali ke meja di Premiere Lounge, tanpa mendapatkan tiket nonton gala premiere AAC2.

"Pake tiket ini aja, gue ada dua. Ini hadiah, kan gue dikasih tetring," kata Dewi Irawan menawarkan karcis nonton.

Kebetulan banget. Rejeki anak bandel, gak kemana. Akhirnya, saya nonton bersebelahan nomor kursi sama mbak Dewi yang di film itu berakting cukup bagus dan menyita perhatian.

Kakak artis Ria Irawan ini juga mengomentari perannya dan sedikit cerita di balik persiapan syuting, termasuk soal kemana target produser membuat film itu.

"Saya tidak mengejar target untuk festival-lah, ini proyekan aja. Cari duit," katanya. Saya tidak bertanya lagi apakah itu serius atau bercanda. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala