Kaki peserta triathlon di Sungai Siak, Pangkal Pinang 2015. (tis) |
Sementara ada yang bilang lebih afdhol jika doa dibiarkan mengendap di lubuk hati? Ibarat ide, resolusi punya hak privacy. Mungkin pemikiran ini terlalu berlebihan, lebay..
Ok, saya bukan kaum pencatat kehidupan pribadi yang baik. Setiap tahun sepertinya lewat begitu saja tanpa catatan. Seperti angin di bulan Desember yang sejuk bergerimis, suasana itulah yang secara alami tercatat dalam memori saya.
Hidup adalah proses yang harus dinikmati dan dihayati. Begitu saya menimbang rasa. Jika kita sibuk mencatat perjalanan, lalu apa manfaatnya perjalanan itu? So, saya harus menikmati semua ini..
Kalau tidak ada catatan sebagai evaluasi, mana tahu kita sudah bergerak atau diam di tempat? Mana tahu kita maju atau mundur? Begitu pertanyaan yang selintas muncul di perjalanan.
Halangan bahkan benturan keras adalah bagian dari perjalanan. Misalnya ketika menulis ini, anak saya Ajeng Salma (8 tahun) tiba-tiba menyusup ke samping badanku yang baru mulai asik menulis sambil tiduran.
Ajeng tidak bermaksud mengganggu. Dia hanya ingin memanjakan diri. Dia ngomong sendiri dan sesekali minta ditanggapi. Kalau sudah begitu, saya tidak bisa lanjut menulis..
Nah, Ajeng sudah tidur ketika saya lanjutkan 'perjalanan' tulisan ini. Saya akan menulis catatan perjalanan, evaluasi, ensiklopedi, resolusi, atau apapun namanya.
Yang pasti, saya perlu menulis untuk lepas dari keterbatasan artikulasi saat berbicara. Menulis menjadi katarsis atas ketakutan mandegnya gagasan, juga kesia-siaan akibat tersapu angin gerimis dingin Desember 2017.
***
Langkah 1000 dimulai dari selangkah. Saya mulai saja perkisahan dari titik ini ke belakang. Setahun ini saya ngapain aja? Melakukan hal-hal untuk banyak orang atau untuk urusan pribadi?
Saya lebih suka mengerjakan hal yang melibatkan banyak orang, tapi selalu dimulai dengan mengerjakan sendiri. Over confidence, juga tidak. Hanya saya merasa lebih nyaman mengerjakan sesuatu sendiri lebih dulu: kalau sudah jadi itu barang, boleh buat rame-rame. Bukan sok, tapi itu pilihan.
Bicara perjalanan, tahun 2017 ini saya agak jauh melangkah sampai ke negara eks Balkan, Kroasia di Eropa Timur.
Seperti perjalanan sebelumnya, semua serba tiba-tiba. Tidak ada permintaan kecuali diminta datant. Perjalanan saya selalu mengejutkan.
Jangan heran jika ada beberapa teman menganggap saya a lucky man, lelaki yang beruntung. Yang lainnya bilang saya orang gila ketika melakukan satu pekerjaan, ada juga yang tiba-tiba 'misuh-misuh' gak jelas kemudian akhirnya saya tahu dia bersikap seperti itu hanya karena tidak bisa melakukan hal yang saya sudah kerjakan, terutama diam-diam cemburu dengan keberuntungan saya. Ada juga seseorang yang menuduh, bilang kalau saya adalah seorang Event Organizer. Apapun kata orang, saya terima walau sejatinya tidak seperti yang mereka bayangkan.
Saya bukan mahluk transenden atau teresterial tapi bisa tiba-tiba duduk di bawah pohon kering di Bukit Merese, Mandalika, Lombok, NTB.
Makan tidur di Kapal Perang KRI Makassar atau di KRI Teluk Cendrawasih, lalu esoknya menclok di kamar Westin Hotel, Los Angeles.
Lalu tiba-tiba saya berada di depan kudapan pepeda dan ikan bakar di Pulau Rasi, Biak, Papua. Juga bisa tiba-tiba kehilangan orientasi terhadap waktu. Malam menjadi siang, siang adalah pagi dan seterusnya.
Sekali waktu saya berada di pasar ekstrim di Tomohon, Manado berbaur dengan aneka daging hewan bertaring yang dijual bebas.
Banyak hal mengejutkan lainnya yang saya alami di perjalanan. Semua memperkaya hidup sekaligus mengajarkan pada saya bagaimana mensyukuri dan menghargai hidup dan kehidupan, cinta, pertemanan, kesehatan, dan terutama menghargai diri sendiri dan tentu saja bagaimana mengasah intuisi.
***
Tahun 1990an waktu bekerja di koran sore Harian Terbit, saya kagum pada Luqman Hakim Gayo wartawan perang Bosnia yang berkisah lewat serial dan buku tentang Bosnia, Zagreb, dan sekitarnya.
Di bulan Juni 2017 selama hampir 10 hari saya berada di Zagreb jantung kota Kroasia, untuk Indonesian Movie Week. Saya merasa tiba-tiba ada di sana: lalu khayalan saya terbang ke cerita Luqman Hakim Gayo soal Bosnia-Herzegovina.
Perjalanan keluar negeri bukanlah target pribadi tapi saya selalu bersyukur dengan pencapaian langkah kaki yang tiba-tiba sudah berada di jantung hiburan dunia: Hollywood, Los Angeles pada tahun 2013.
Menginjak jejak para pesohor dunia di Walk of Fame, berfoto bareng "mereka" di museum Madame Tussaud dan hal ganjil lain yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya: saya di Amerika!.
Perjalanan lebih ke belakang, saya tiba-tiba sudah menyelonong di jalanan utama ajang balap mobil F1 di Monte Carlo, Monaco, Italia tahun 2012.
Beberapa puluh langkah dekat jalan itu ada Casino Royale. Mobil-mobil mewah milik kaum high-class berwajah Timur-Tengah sesekali mampir di sana. Ada juga suara orang mengobrol berbahasa Indonesia. Mata mereka sipit.
Tapi saya lebih asik menyelami fikiran para orangtua, yang dari tadi keranjingan main mesin Jackpot di Casino. Sepertinya mereka sudah selesai dengan urusan dunianya. Asik sekali.
Itu adalah bagian dari perjalanan saya melongok Festival Film Cannes. Saya tinggal satu pondokan dengan artis Happy Salma dan Cokorda suaminya yang bule Bali, serta Corry Sandioriva yang mimisan tak tahan udara dingin.
Saya lihat kesibukan suami-istri artis ini mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Dan kami mengobrol, makan dan ngopi bareng. Happy Salma menyetrika bajunya sendiri, dan suaminya membantu mengeringkan rambut panjang lurus Happy dengan cara manual: dikipas seperti orang membakar sate.
Selama di Cannes, saya bertemu wartawan senior majalah Tempo, Gin Ginanjar. Selalu di venue jika ketemu Gin. Gin cerita setiap tahun ke Cannes, karena rumahnya relatif dekat di Belgia.
Masuk ke pabrik pembuatan parfum terkenal legendaris, menapaktilas lokasi kecelakaan istri Pangeran Rainier III, Putri Monaco Grace Patricia Kelly - tewas tahun 1982 - dan menyesapi suasana di koridor Istana Monaco. Dari tempat inilah saya bisa melihat kota pelabuhan yang memukau. Ah, saya sudah di Monaco.
Ke Hongkong lain lagi. Inilah awal pertama perjalanan jauh saya meninggalkan Indonesia di tahun 2011.
Tiba-tiba saya sudah terduduk di kursi sepi Taman Victoria Park yang dibuat filmnya oleh Lola Amaria. Saya pun berdiri di The Peak yang tingginya melebihi hotel-hotel di Kota Hongkong. Malam harinya menyusuri club-club hiburan di kawasan ramai orang yang berjalan sempoyongan karena mabuk.
Selebihnya saya seperti mengunjungi pameran di Jakarta Convention Centre. Ajang Hongkong Filmart memang sebuah ekshibisi industri film.
Beberapa film Indonesia diputar untuk masyarakat Indonesia di Hongkong, yang kebanyakan para TKW.
***
Perjalanan bagaimanapun bentuk dan caranya, jauh atau dekat jaraknya adalah pencapaian, yang layak dirayakan. Perjalanan ini belum selesai, dan entah sampai kapan, hingga di titik yang mana akan terhenti.
Seperti suatu hari tiba-tiba saya duduk semeja dengan Djarot Saiful Hidayat Wakil Gubernur DKI Jakarta membahas Usmar Ismail Awards. Duduk bersama para juri UIA yang semuanya teman saya. Lain waktu, saya ada di ruangan pengurus Badan Perfilman Indonesia berhari-hari membahas perfilman, seolah jadi orang penting.
Tahun ini akan habis bersama angin dan gerimis sejuk bulan Desember yang menyita perhatian. Tapi, masih ada hal yang tidak mampu dilumat oleh waktu. Hal itu menemani saya sepanjang perjalanan. Entah apalagi kejutan yang akan datang. Berdoa dan tetap menggunakan intuisi sebagai radar, itu jauh lebih penting. ***
Sabtu, 30 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar