Langsung ke konten utama

Perayaan Onde, Merawat Tradisi Kebersamaan

Tradisi "Patekoan", suguhan minum teh untuk masyarakat. (tis) 
Gedung berusia sekitar 100 tahun itu dulunya apotek obat. Lalu berganti-ganti nama menjadi Pantjoran Tea House. Lokasinya persis di ujung Jalan Pantjoran, Glodok, Jakarta.

Kedai atau warung penyedia minuman teh ini pada Sabtu (16/12/2017) sore dipenuhi para penikmat aneka penganan khas Cina di acara "Perayaan Onde" yang diinisiasi Kelompok Pecinta dan Pemerhati Bangunan Tua Nusantara (Kecapi Batara) dan Pantjoran Tea House.

Perayaan onde diawali dengan doa tanda syukur dapat berkumpul dan meminta pada tuhan kelancaran acara.

Ketua Kecapi Batara, Diyah Wara Restiyati menceritakan, Perayaan Onde biasanya jatuh setiap Desember pada tanggal 21 atau 22. Di Cina, perayaan ini dilakukan pada puncak musim dingin bersama keluarga.


Kue onde bulat melambangkan keharmonisan, persatuan, kekeluargaan, solidaritas, dan kesetiakawanan.

Membuat onde, memakan onde, dan berdoa bersama menjadi tradisi orang Cina selama ratusan tahun. Tradisi ini lantas menyebar, dibawa oleh orang Cina yang bermigrasi termasuk ke Indonesia.

"Kebhinekaan dan solidaritas masyarakat di Indonesia khususnya Jakarta terkoyak sejak ada Pilkada. Kita adalah bagian dari masyarakat Jakarta," kata Diyah tentang semangat Perayaan Onde hari itu.

Lewat Perayaan Onde ia berharap semua orang tanpa peduli latar belakang dapat tetap bersatu, aman, dan, damai. Layaknya filosofi onde yang bulat.


Pantjoran Tea House hari ini. (tis) 
Dalam perayaan peserta disuguhkan onde-onde, dijelaskan asal usul dan arti filosofis onde sambil menyaksikan kesenian dan pembuatan teh ala Cina

Sejarah onde-onde dapat ditelusuri di Tiongkok saat zaman dinasti Tang, di mana makanan ini menjadi kue resmi daerah Changan (sekarang Xian) yang disebut ludeui.

Perayaan Onde salah satu perayaan rutin orang Cina setiap Desember. Meski tak semeriah Imlek, Perayaan Onde memiliki sejarah dan arti dari onde yang disantap.

Orang Cina biasa bilang Tan Cik yang artinya dingin dan puncak.

Perayaan Onde sudah ada sejak Dinasti Han (206 SM - 220 M). Pada zaman Dinasti Song (1127-1152 M) dilaksanakan dengan sembahyang arwah leluhur dan lima unsur di bumi yang terdiri dari logam, air, api, tanah, dan kayu.

Pada zaman Dinasti Qing (1644-1911 M) Perayaan Onde menjadi salah satu perayan penting di Cina dan daerah migrasi, tak terkecuali Indonesia.

Gedung Pantjoran tahun 1928

Gedung yang sama tahun 1930.
Berbeda dengan Imlek atau Tahun Baru Cina yang menjadi ajang silaturahmi, Perayaan Onde hanya dirayakan oleh keluarga. Tradisinya adalah berkumpul bersama, membuat onde, menikmati onde, dan berdoa bersama.

Onde berbentuk bulat juga melambangkan keseimbangan alam yakni Yin dan Yang. Onde umumnya terbuat dari tepung beras tanpa isi, melambangkan eratnya ikatan persaudara, dan air gula manis melambangkan hubungan antar keluarga yang manis.

Onde kini dibuat dari berbagai bahan tak hanya tepung beras, bisa juga kentang tumbuk. Selain itu isiannya juga semakin beragam bisa kacang tanah atau bahkan cokelat.

Ada kepercayaan makan onde yang menarik, di antaranya saat makan onde seseorang akan menyesuaikan dengan usia kemudian menambahkan satu. Lambang pengharapan agar usia bertambah lagi.

Jika ada anggota keluarga yang hamil membakar onde, kalau (onde) pecah maka bayinya berjenis kelamin perempuan, kalau tetap utuh berjenis kelamin laki-laki.

Yang istimewa, tempat ini juga menyediakan minuman teh khusus bagi pejalan kaki. Gratis.

Setiap hari, tradisi yang dikenal sebagai "patekoan" ini dimulai pada jam 8 pagi sampai 8 malam. Terdapat 8 teko teh dengan cangkir-cangkirnya untuk pejalan kaki yang perlu minum teh. Sungguh tradisi yang baik.

Sore hujan gerimis di sekitar Kota, dan Jakarta umumnya. Saya dan beberapa teman bersemeja, guyub dalam suasana penuh keakraban. Setidaknya berusaha untuk ikut merasakan Perayaan Onde, sebentar.  Sebelum kami pindah tempat ngobrol.**


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala