Langsung ke konten utama

FFI 2017 di Manado Berutang Pada 400 Undangan

Malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) di Manado, Sulawesi Utara pada Sabtu (11/11/2017) malam berlangsung mulus dan manis.

Namun ada catatan pahit dari gawe bersama Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, Pusat Pengembangan Perfilman dan Badan Perfilman Indonesia itu:panitia berutang kepada sekitar 400 undangan.

"Seluruhnya ada 600an orang, termasuk dari Jakarta 400 undangan," kata Ketua Panitia FFI 2017, Leni Lolang tentang jumlah tamu malam puncak FFI, di tempat acara.

Ke 400 orang undangan diberangkatkan oleh Pusbangfilm, berdasarkan masukan data dari Panitia Pelaksana FFI 2017. Mereka terdiri dari para artis pengisi acara, nominator, dewan juri, serta belasan wartawan.

Nah, utang panitia FFI yang dimaksud pada awal tulisan ini merupakan kasus terunik dari pelaksanaan FFI yang selalu kisruh, tapi juga sangat diminati bahkan diperebutkan oleh masyarakat perfilman sendiri. Pemda Sulawesi Utara termasuk yang berminat mendatangkan FFI tahun ini.

Sehari sebelumnya, pada Jumat (10/11/2017) malam, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyambut para undangan di kantor megahnya yang disulap menjadi panggung hiburan. Ada pentas musik dan tarian khas Manado di sana. Hujan turun mengiringi jamuan makan malam itu.

"Kegiatan perfilman seperti FFI berpotensi meningkatkan pariwisata di Sulawesi Utara," kata Gubernur Olly Dondokambey dalam sambutannya di depan seluruh undangan.

Tahun lalu Manado juga menjadi tuan rumah Apresiasi Film Indonesia (AFI).

Secara statistik, menurut Gubernur terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Sulawesi terkait acara perfilman di Manado.

"Tahun lalu hanya ada 10 ribu wisatawan datang ke Sulawesi Utara, tahun ini naik menjadi 100 ribu," katanya.

Pemprov Sulut pun merancang program di pengembangan perfilman. Saat ini ada tiga bioskop besar di Manado seperti Cinemaxx, CGV, dan Cinema XXI. Terdapat sekolah SMK yang mengajarkan produksi film, dan tiga buah film karya sineas lokal.

"Semua bentuk kegiatan yang berpotensi mendukung promosi wisata di Provinsi Sulut kami support. Film salah satu yang kami fasilitasi," ujar Olly.

Tiga judul film produksi sineas Manado, antaranya Tom dan Jerry, dan yang terbaru Hujan Bulan Juni.

"Kami programkan untuk membuat dua film dalam setahun," tegas Olly.

Fasilitasi produksi film, diakui Olly belum ada dana dari APBD. "Kami akan minta dukungan swasta, perusahaan yang memiliki program CSR seperti Bank Sulut, dan lainnya," kata Olly.

Dari obrolan dengan Gubernur malam itu, sangat jelas ekspektasi orang nomer satu di Sulut terhadap nilai kegiatan perfilman, dalam hal ini termasuk FFI.


Menurut sumber di kalangan pengurus BPI nilai anggaran FFI 2017 Rp16 Miliar yang dititipkan Pemprov Sulut sebesar Rp10 Miliar dan Pusbangfilm Rp6 Miliar.

Anggaran sebesar itu, tentunya sangat cukup untuk menghadirkan FFI. Maka jadi aneh dan menjadi pertanyaan ketika 400 tamu undangan dari Jakarta harus ikut menanggung biaya kegiatan FFI.

Sebenarnya, tidak fair jika dikatakan para undangan harus 'menanggung' biaya FFI di Manado.

"Panitia tidak menyediakan makan siang selama di Manado. Peserta mencari dan bayar sendiri-sendiri dan akan diganti nanti melalui transfer setelah acara FFI. Tapi tak lebih dari Rp15 ribu sekali makan," kata panitia kordinator media di grup Whatsapp di hari pertama rombongan tiba di Manado,

Saya terkejut membaca pengumuman yang sangat aneh itu. Wartawan tidak diberi makan siang, dan dibatasi Rp15 ribu sekali makan yang akan diganti nanti. Saya protes.

"Tapi semua peserta yang 400 orang sama masalahnya tanpa kecuali," tulis Leni Lolang membalas WA saya hari itu.

Buset! FFI mengapa jadi acak-acakan begini? Undangan disuruh cari makan sendiri pakai uang sendiri. Itu point-nya. Eh, mana ada makan siang Rp15 ribu hari gini?

Tapi, ya sudahlah. Saya tidak mau larut dalam kerepotan yang sangat aneh dan ajaib itu. Yang bikin menambah shock, peserta juga tidak mendapat uang saku. Semuanya akan ditransfer lewat rekening kalau sudah di Jakarta.

Kini FFI sudah lewat dari sebulan dan tidak ada tanda-tanda panitia akan mentransfer uang yang dijanjikan.

Biaya uang saku harian peserta jika per orang Rp 2 juta (standar uang dinas luar kota) maka total yang harus ditransfer panitia untuk 400 orangadalah Rp800 juta. Apakah ada pihak yang mengambil untung secara finansial dari FFI?

Saya mengkonfirmasi ketidakjelasan ini pada semua pihak terkait FFI.

Menurut Frederict selaku Kepala Dinas Kebudayaan Manado yang menghandle FFI Manado, pihaknya menunggu data nomer rekening peserta berikut nama bank cabangnya.

"Kami diminta data rekening itu oleh Bank Sulut sebagai bank yang akan mentransfer dana tersebut," tulis Frederict menjawab WA saya pada Rabu (14/12/2017) malam.

Data seluruh peserta FFI dan rekeningnya dipegang oleh panitia pusat. Menurut Leni Lolang, seluruh data yang diminya Frederict sudah dikirim via email sejak sebelum berangkat ke Manado.

"Sudah dikirim semua data nomer rekening peserta FFI. Bahkan sudah dikirim lagi data rekening dan bank cabang yang diminta. Memang, tidak semuanya mengirim data rekening bank cabang. Karena sebagian dari mereka sudah capek dimintain nomer rekening, saya juga capek mintanya," jelas Leni.

Ketika hal ini dikonfirmasikan kembali ke Frederict, dia mengatakan transfer sedang diproses.

"Transfer sedang diproses untuk diajukan ke Badan Pengelola Keuangan Sulut kemudian bila sudah keluar SP2D dananya diposting ke Bank Sulut lalu Bank Sulut yang transfer ke peserta yang memenuhi syarat dan punya no rekening masing-masing dan ada nama Cabang Bank dimana rekening-rekening tersebut berada," jelas Frederict setelah didesak.

Frederict mengatakan dana peserta FFI tidak ada padanya. "Dana tidak di saya dan bukan saya yang transfer. Kami mengajukan proses pembayaran sesuai persyaratan-persyaratan," katanya.

Begitu bersemangatnya Pemkot Manado meminta FFI tapi jungkirbalik mengurusi peserta FFI. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi. Memang tidak besar dana peserta itu, tapi bukan disana point-nya. Keterbukaan penggunaan dana dan pelayanan kepada tamu lebih utama.**

Komentar

  1. Hampir ga ada satu celahpun uang negara yang keluar melalui anggaran tanpa ada permainan korupsi di dalamnya.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala