Langsung ke konten utama

Kultus Fahri di film "Ayat Ayat Cinta 2"

Poster film "Ayat Ayat Cinta 2"
Fahri di film Ayat Ayat Cinta 2 berbeda dengan si Boy di film Catatan si Boy (1987), meski sama-sama punya kharisma dan daya pikat yang membuat kaum hawa termehek-mehek; ganteng, kaya, soleh, dan pintar.

Tingkat kesalehan sosial mereka dipengaruhi budaya,  ruang dan waktu berbeda, si Boy di Indonesia dan Fahri di Edinburgh.

Fahri sangat akademis di jalur yang cukup ketat terhadap norma-norma agama, dan membatasi hubungan antara lawan jenis.

Pada scene tertentu, batasan norma tersebut dihajar juga. Ini bisa diasumsikan sebagai gimmick agar film yang sarat simbol dan nasihat agama tidak menjadi dogma membosankan.

Boy bukan hanya kurang alim dibanding Fahri, tapi juga kalah secara finansial dan intelektulitas. Fahri punya toko dan dosen universitas terkemuka di luar negeri, tidak merokok, dan hafidz Alquran.

Konsep cinta Fahri sangat menjunjung kesetiaan kepada Aisha, istrinya yang hilang di tengah kemelut politik di jalur Gaza.

Sementara kesalehan Boy sebatas hormat kepada orangtua, adik dan teman. Boy juga tidak mundur jika diajak berkelahi. Yang terpenting; ada tasbih tergantung di kaca spion di dalam mobil mewah pemberian orangtuanya.

Penyanyi Ikang Fawzi menegaskan sosok Boy tersebut di salahsatu lagunya seperti ini: "Siapa tak kenal dia?...jagoan lagipula pintar, wooh Boy!"...

**

Karakter Fahri bin Abdillah diperankan Fedi Nuril yang sejak Ayat Ayat Cinta (2008) konsisten dengan bentuk tubuhnya. Mungkin karena rajin olahraga dan puasa juga.

Fahri dirundung duka mendalam sejak Aisha, istrinya tidak pernah pulang sejak terjadi aksi serangan bom di jalur Gaza. Saat itu Aisha menjadi relawan.

Tinggal di Edinburgh, Fahri hanya ditemani Hulusi (Pandji Pragiwaksono), asisten rumah tangga merangkap sopir pribadi, berdarah Turki.

Dengan semua hal positif yang dimiliki, Fahri dikagumi banyak kaum Hawa. Dari para mahasiswinya sampai nenek Catarina (Dewi Irawan), orang Yahudi.

Ada juga perempuan yang benci walau akhirnya berbalik suka pada Fahri. Seperti Keira (Chelsea Islan), gadis Skotlandia yang terobsesi jadi biolis terkenal.

Fahri bertemu dengan Hulya (Tajtana Saphira), gadis peranakan Turki-Jerman yang sedang mengambil kuliah S2. Dia masih kerabat Aisha.

Kedatangan Hulya memicu kenangan sedih Fahri sekaligus mengobati kerinduan pada Aisha, yang sebenarnya sudah pulang ke rumah Fahri dalam wujud berbeda.

Saat itu Aisha menyamar sebagai Sabina, pembantu tanpa identitas yang direkrut Fahri. Penyamaran Aisha tanpa sengaja diketahui oleh nenek Catarina, Hulya dan Fahri menjelang lahir anak pertama hasil pernikahan mereka yang disaksikan pula oleh Aisha.

Dengan modal kepercayaan 3,8 juta penonton di film Ayat Ayat Cinta tahun 2008, sekuelnya kali ini lebih luas berbicara tentang Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, memberi rasa aman bagi penduduk dunia.

Fahri menjadi simbol laki-laki Islam ideal. Dia nyaris selalu hadir di tengah persoalan. Membantu nenek Caterine yang diusir anaknya sendiri dan membelikannya rumah.

Pada saat yang sama, Fahri diam-diam membiayai sekolah musik anak gadis tetangganya, yang ayahnya jadi korban bom teroris.

Kemurahan hati serta sikap toleransi Fahri tanpa melihat perbedaan agama siapa yang ditolongnya. Sikap yang diperlihatkan Fahri dalam Islam sangat dianjurkan.

Yang menggelisahkan adalah kerendahatian Fahri sangat berlebihan. Mudah saja sikap itu dianggap sebagai upaya terbaik kelompok minoritas di negara tersebut.

Satu hal menarik, film diawali dengan kericuhan di jalur Gaza. Teknik CGI hadir disini.

Film AAC2 cukup terbuka pada isu-isu yang dihadapi Islam terutama pandangan dunia luar terhadapya. Sinisme dan skeptisme pada Islam. Sosok Fahri menjadi pengantar syiar bahwa Islam tidak seperti persepsi itu.

Setidaknya,  isu poligami yang menjadi trend film berbalut keagamaan selama ini, tidak dominan di film berbasis novel karya Habiburrahman ini.

Tidak mengherankan jika Fahri menjelma bak 'superman' yang dikultuskan oleh script.  Berbeda dengan AAC yang  lebih wajar membentuk karakter Fahri.

Kekuatan AAC2 tidak hadir dalam hal cerita, tapi lebih karena munculnya karakter baru yang diperankan oleh artis-artis 'mahal'. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala