Langsung ke konten utama

Fantastis! Inilah honor panitia FFI 2017

Aktris Christine Hakim usai menerima Piala Citra FFI 2017 katagori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik untuk film Kartini. (tis) 






                                                                Puncak acara Festival Film Indonesia (FFI) selesai di kota Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (11/11/2017).

Mungkin para sineas penerima Piala Citra FFI malam itu, saat ini sudah sibuk dan sedikit melupakan malam anugerah yang terlihat sangat garing itu.

Dari tv plat di Press Room yang dingin dan sepi, saya menyimak penganugerahan FFI 2017 yang dipandu duet host komedian Denny Chandra dan Putri Indonesia, Kezia Warow.

Ruang khusus wartawan peliput FFI ini terletak bersebelahan dengan auditorium Grand Kawanuwa International City Novotel Hotel, tempat FFI disiarkan langsung dan dipancarluaskan I-News TV, Global TV dan TVRI.

Sebuah lorong membatasi Press Room dengan "studio" siaran FFI. Tapi cukup jelas terdengar dari kamar sebelah.

Melalui akses sederhana inilah, para artis dan sineas peraih Piala Citra -- dalam hitungan tak lebih dari 3 menit sejak turun dari panggung -- bisa menemui sekitar 15 orang wartawan untuk difoto dan diwawancara.

Tempat wawancara dibuat khusus dengan 'panggung' beralas karpet merah disertai backdroop bertuliskan logo FFI 2017 dan tentu saja sejumlah sponsor. Sangat minimalis.

Seluruh peraih Piala Citra datang menyapa wartawan. Dari yang paling muda Muhammad Adhiyat (6) Pemeran Anak Terbaik untuk film Pengabdi Setan sampai yang paling senior, peraih Lifetime Achievement, Budiyati Abiyoga (73).

Suasana Press Room FFI 2017 (tis) 
Artis senior yang juga menjenguk Press Room adalah Christine Hakim. Kepada wartawan dia bilang, datang ke Manado bukan untuk menang atau kalah, tapi mendukung Panitia FFI yang sudah bekerja keras.

"Saya lagi kurang sehat sebenarnya, tapi harus datang ke acara ini. Bukan untuk menang atau kalah, tapi untuk mendukung moril panitia. Karena saya mendengar ada pihak-pihak yang mengganggu FFI 2017 dan panitia," kata Christine Hakim, yang malam itu menerima Piala Citra Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di film Kartini.

Saya tersenyum maklum sewaktu diteriaki "provokator" oleh artis yang selalu saya sapa 'mbak', lantaran menyeletuk: "Bagaimana bisa tumbuh regenerasi artis, kalau yang mendapatkan Piala Citra ini-ini lagi?"

"Tauk tuh, juri yang milih. Eh, elu ya si provokotor?" katanya sambil tertawa ke arah saya yang menyembulkan muka di barisan belakang kerumun wartawan. Kemudian dia meladeni wartawan lainnya yang bertanya serius.

Salut saya pada totalitas dan akting si mbak, yang menyisihkan nominee lainnya Adinia Wirasti (Cek Toko Sebelah), Marissa Anita (Galih dan Ratna), Djenar Maesa Ayu (Kartini), Cut Mini (Posesif), Widyawati (Sweet 20), dan Ninik L Karim (Sweet 21).

Mengenal mbak Christine dalam sebuah acara beberapa tahun lalu, beliau sering menyapa lebih dulu.   Kalau bertemu, bahasanya selalu elu-gue. Santai.

Setelah sesi ngobrol tadi, saya mencari suasana lain. Sepanjang koridor lobby hotel, banyak orang film hilir-mudik. Ada juga pejabat Pemda Sulut bersama keluarganya.

Sempat saya mengucap selamat pada Ketua Dewan Juri FFI 2017 Riri Riza, Ketua Panitia FFI 2017 Leni Lolang, Direktur Perum Produksi Film Negara M Abduh, Ketua BPI Bidang Festival Luar Negeri Dimas Jayasrana, dan panitia FFI lainnya.

Dari dalam gedung yang dibatasi tembok kaca, saya melihat di luar sana,  Ketua Badan Perfilman Indonesia Chand Parwez dan Wakilnya,  Dewi Umaya bersama undangan lainnya. Mereka merokok. Kami ngobrol sebentar lalu saya kembali ke Hotel Grand Puri tempat menginap, berjarak setengah jam perjalanan bis dari venue FFI ini.

***

CITRA sebagai ajang mewah-glamour dan wangi memang melekat pada Festival Film Indonesia (FFI) sejak pertama digelar tahun 1955. Dan, pada malam itu FFI tetap berupaya menjaga citranya tersebut.

FFI pernah sangat disukai dan ditunggu oleh masyarakat penonton tivi yang menyiarkan Malam Penghargaan Piala Citra.

Belakangan ini FFI semakin tidak merakyat. Sayangnya ini tak pernah dievaluasi oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pelaksana dan penyelenggara FFI.

Hal yang juga menarik dari FFI adalah di bagian off air tempat berkumpul panitia. Dari sinilah sebenarnya FFI sering bermasalah, terkait tatakelola dan manajemen.

Semangat transparansi dan akuntabilitas belum terlihat dari sistem pendanaan FFI. Mungkin ini yang menyebabkannya diributkan oleh orang film sendiri.

Di jaman sekolah SD dan SMP tahun 80an, saya setia nonton TVRI yang menyiarkan FFI.

Malam sudah larut, tapi oom dan tante atau pakde dan bude membiarkan saya nonton bersama mereka.

Yang melekat di ingatan sampai hari ini lagu Citra, Piala Citra dan ketika artis berdiri di panggung bangga mengangkat Piala Citra. Penonton pun ikut bangga..

***

SEJAK FFI dihidupkan lagi tahun 2004 (paska mati suri antara 1992 - 2003) sampai FFI tahun 2017 kebetulan saya mengikuti karena tuntutan pekerjaan.

Tidak hanya meliput, saya sempat melebur dalam kepanitiaan FFI tahun 2004, 2005, 2006 dan 2008.

Panitia FFI yang berganti-ganti rezim ketua setiap tahun itu, meminta saya membantu di bidang kehumasan.

Otomatis, hubungan saya dengan orang film jadi lebih hangat.  Yang semula narasumber berita, berubah menjadi mitra kerja. Salahsatu mitra saya di kehumasan FFI 2004 adalah Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong.

Masa dinas panitia FFI biasanya antara 5-6 bulan atau menyesuaikan kesiapan panitia terkait alokasi dana fasilitasi dari pemerintah.

Sampai tahun ini FFI masih menggunakan dana APBN. Untuk mengetahui berapa anggaran FFI, bisa dilihat di website kementerian.

Biaya FFI tertinggi terjadi di era Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2013 yaitu sebesar Rp16 Miliar.

FFI laksana benang kusut yang berulang. Akuntabilitas dan transparansi anggaran belum menjadi fokus masalah yang harus dibenahi. Tidak adanya laporan ke publik setelah acara adalah indikasinya.

Dari tahun ke tahun pembiayaan FFI mengalami perubahan. Pada tahun 2012 dan 2013 sebesar Rp16 Miliar lalu menjadi Rp7,8 Miliar pada tahun 2014-2016.

Pagu anggaran FFI yang diajukan oleh pemerintah ke DPR fluktuatif. Pada tahun 2004, Kementerian Pariwisata Seni dan Budaya (Kemenparsenibud) membantu Rp800 Juta ke Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) selaku panitia penyelenggara FFI.

Tahun 2005 anggaran FFI naik menjadi sekitar Rp1 Miliar. Ketika itu film berada dibawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Tahun 2006 bantuan untuk FFI bertambah menjadi Rp5 Miliar. Bantuan sebesar itu bertahan sampai tahun 2011.

Peningkatan bantuan FFI tersebut tentu saja atas permintaan masyarakat film, yang diharapkan meningkatkan performa dan kualitas FFI.

Tahun 2012 dan 2013 pemerintah menggelontorkan Rp16 Miliar untuk FFI. Hasilnya? Ajang yang sempat ditolak oleh sejumlah orang film ini, justru menjadi ajang rebutan kepentingan dua kelompok perfilman nasional.

Sempat membiayai FFI sebesar Rp16 Miliar pada tahun 2013, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)  Mari Elka Pangestu memangkas bantuan FFI mejadi Rp7-8 Miliar di tahun 2014.

Tahun ini FFI memasuki masa transisi karena perubahan nomenklatur lembaga Kemenparekraf menjadi Kementerian Pariwisata (Kemenpar). FFI pun menjadi gawe bersama Kemendikbud dan Kemenpar.

Maka ketika perfilman secara resmi menginduk ke Kemendikbud, mulai tahun 2015 dan 2016 anggaran FFI tetap Rp7-8 Miliar.

***

BAGAIMANA dengan FFI tahun 2017? Apakah berada di orbit pendanaan yang sama? Sumber di Kemendikbud menyebutkan biaya FFI 2017 Rp6 Miliar. Artinya, menurun dari tahun sebelumnya.

Alokasi terbesar dipakai untuk biaya airtime siaran langsung di tiga stasiun televisi, yang kisaran masing-masing @ Rp1-2 Miliar.

Sisanya untuk biaya Launching FFI, Penjurian, dan Malam Nominasi. Apakah habis? Jika merujuk tabiat pemakaian dana APBN, maka uang proyek harus habis.

Dihabiskan untuk apa dan kemana, itu yang tidak pernah jelas dan tuntas dalam pelaksanaan FFI. Persoalan ini selalu abu-abu dan cenderung gelap.

Sejak tahun 2004, baru di FFI tahun 2017 inilah para juri dan panitia mendapat apresiasi sangat fantastis.

Sekadar membandingkan, honor juri FFI tahun 2014 berkisar antara Rp10-18 juta per orang. Itu pun masih ada juri senior yang bisa nego harga sampai diatas Rp20 juta.

Honor Ketua Pelaksana FFI tahun itu mungkin sekitar Rp50 Juta. Angka ini diasumsikan berdasar besar honor staff level bawah, Rp15 juta pertiga bulan.

Ketika menjadi Ketua Bidang Humas dan Dokumentasi FFI 2008, saya terima honor sekitar Rp15 juta ditambah uang kehadiran setiap hari sekitar Rp50 ribu. Bila ditotal selama 3 bulan kerja sekitar Rp20 Juta.

Jumlah itu lebih kecil dibanding honor staff humas FFI tahun 2013 yaitu Rp30 Juta pertiga bulan. Itu baru honor staffnya. Kalau ketuanya mungkin lebih dari Rp50 Juta.

Bekerja di kepanitiaan FFI bukanlah semata soal berapa angka-angka yang diterima, tapi lebih menjadi tanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan negara.

Sayangnya, sertifikat penghargaan saya sebagai panitia FFI terselip entah dimana.

Pelaksanaan FFI tahun 2017 sempat diguncang kritik, tidak diakui hasilnya, bahkan ada yang berencana mempolisikan karena film Posesif masuk nominasi meski konon melanggar hukum.

Saya senang melihat FFI tidak berhenti di tengah jalan. Memang sudah semestinya begitu. Buat apa panitia dibayar, kan?

Yang bikin saya geleng-geleng kepala dan salut pada panitia FFI 2017 adalah honor yang mereka terima sangatlah fantastis, diluar perkiraan.

Berapa kira-kira honor yang pantas untuk Ketua FFI tahun 2017? Saya perkirakan Rp100 juta per proyek, walau itu terbilang kecil.

Ketika saya konfirmasi kepada Leni Lolang selaku Ketua FFI 2017, dia menunjukkan kwitansi resmi honornya dari Pusbangfilm.

Mata saya mendelik, berusaha lebih fokus. Tidak percaya tapi nyata. Di kwitansi itu tertulis angka nominal Rp1,2 Juta. (baca: Satujuta duaratus ribu rupiah). Saya berulangkali mengejanya, ya tetap segitu.

"Memang segitu. Yang penting kan FFI berjalan sukses. Semua pihak senang dengan seluruh hasil Malam Piala Citra di Manado kemarin," kata Leni Lolang dijumpai di Jakarta, Kamis (30/11/2017).

Saya jadi penasaran dengan honor wakilnya. Ketua BPI Bidang Festival ini pun menyerahkan capture kwitansi honor wakilnya, Totot Indrarto. Di sana tertulis angka Rp998 ribu.
"Itu honor wakil ketua selama tiga bulan," kata Leni.

Miris saya melihat kegiatan perfilman milik pemerintah itu, yang sangat bermanfaat bagi pemerintah dan memajukan serta meningkatkan martabat perfilman, memperlakukan para seniman film tanpa memperhitungkan profesionalisme mereka.

Staff sekretariat juga mendapat apresiasi yang sama jika dihitung perbulan sebesar Rp300 ribu. Uang sebesar itu, jangankan untuk makan, sekadar ongkos naik ojek pun masih tekor.

"Panitia mulai bekerja sejak lima bulan lalu, tapi honor yang diberi Pusbangfilm hanya untuk tiga bulan. Saya sudah protes juga, tapi hal itu katanya disesuaikan keluarnya SK Panitia. Ya, mau gimana lagi?," ujar Leni yang mengaku masa bodo dengan honornya dan nyinyiran orang padanya tentang FFI.

Sangat aneh dan rasanya ada yang salah dengan mekanisme anggaran FFI di Pusbangfilm Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tapi, apapun itu saya melihat heroisme dan semangat idealisme panitia FFI 2017, saya salut dan tepuktangan untuk kalian semua. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala