Langsung ke konten utama

Cara menang lomba foto


Lomba foto sedang mewabah, diselenggarakan oleh komunitas, lembaga atau perusahaan swasta sampai pemerintah. Dalam sebulan, ada tiga sampai empat pengumuman lomba dengan berbagai tema di media sosial.

Bagi pecinta fotografi yang suka tantangan, mengikuti lomba dan menang dapat hadiah berupa materi bukanlah satu-satunya tujuan.

Ada yang serius mencari 'jati diri' atau sekadar hobi. Syukur-syukur kalau menang, itu jadi semacam bonus. Ada yang ikut lomba untuk uji kemampuan teknis, atau sekadar meramaikan acara lomba.

Apapun motifnya, ikut lomba fotografi banyak manfaatnya; menambah jumlah teman dan menyalurkan bakat, misalnya.

Saya suka memotret, tapi dari kelompok yang "meramaikan" jika berada di dalam deretan peserta lomba. Saya bukan profesional (menjadikan pekerjaan utama), tapi hobi melihat foto-foto apapun jenis dan temanya.

Makanya sesekali suka memotret dengan gaya saya sendiri. Melihat sebuah foto bagi saya sama seperti menyelami pengalaman si juru foto saat beraksi di belakang kamera.

Makanya dengan kamera handphone, saya sudah bahagia menikmati hasil bidikan dan jepretan sendiri.

Berbeda dengan beberapa teman saya yang "grade" kepuasan dan bahagianya dalam memotret lebih ditentukan jenis kamera tertentu, DSLR atau mirrorless yang sangat teknikal.

Saya mengenal beberapa nama fotografer, yang 'karatan' di bidangnya seperti Arbain Rambey (Harian Kompas), Firdaus Fadlil (Majalah HAI -- sudah tidak terbit), dan Didi Kaspi Kasim (National Geographic Indonesia).

Walau tak ikut menilai langsung foto-foto peserta lomba "Aseanta 2015" tapi melalui ngobrol2 dengan ketiga fotografer yang sama-sama di kepanitiaan Aseanta 2015, saya jadi lumayan "dong" seperti apa, mengapa, dan bagaimana sebuah foto bisa menang lomba.

Ketika berlangsung workshop fotografi khusus wartawan Forum Wartawan Pariwisata (Forwapar) di Historia Food & Bar, Kamis (5/10/2017) dengan terbuka fotografer muda Sendy Aditya Saputra (Garuda Inflight Magazine) membuka rahasia tips menang lomba.

Apapun jenis kamera yang dipakai tidak penting ketika panitia lomba foto tidak mensyaratkan harus pakai kamera jenis tertentu.

Jadi, bersiap-siaplah menangkap obyek dan maksimalkan skill, tenik juga insting. Jangan lupa mengenal beberapa trik memenangkan lomba, plus berdoa.

Memotretlah dengan gaya (style) sendiri, bukan sambil bergaya apalagi kebanyakan gaya.

Berikut ini tiga jurus untuk menang juara lomba:

1. Kenali siapa penyelenggara
2. Kenali siapa jurinya
3. Tentukan tema.

Penjelasannya sebagai berikut:
1. Dengan mengenal siapa (lembaga) yang mengadakan lomba, kita akan mudah mendeteksi "apa maunya" sehingga kita bisa pahami foto yang sesuai "maunya" penyelenggara. Misal, yang mengadakan Kementerian Kesehatan maka pendekatannya adalah berbagai situasi dan hal terkait kesehatan.

2. Juri lomba biasanya para ekspertis di bidangnya. Dia adalah mantan juara berbagai lomba foto, atau juri berbagai lomba foto. Pahami ciri foto yang pernah dimenangkan oleh juri di berbagai lomba dimana dia menjadi juri.

Biasanya, seorang juri punya kecenderungan memenangkan foto yang "sama" di setiap lomba. Alam bawah sadar juri merekam semua itu. Tengok saja foto-foto yang dimenangkan oleh si juri. Maka di sini berlaku istilah "tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, kalau tak cinta maka tak menang.. Hehehe

3. Mengapa tema harus ditempatkan di bagian akhir dari trik memenangkan lomba? Karena kalau ditaruh di awal, dia akan "memasung" ide, sementara "apa maunya penyelenggara" kita belum tahu, kan?

Membuat tema foto lomba sangat terkait dengan teknis, sehingga di sinilah kemampuan personal fotografer diuji. Untuk memahami teknis, mungkin tak terlalu repot karena umumnya kamera handphone sudah memadai untuk menghasilkan foto yang terlihat "profesional" seawam apapun si juru foto. Tinggal pencet tombol, cekrek! Maka jadilah..

Tapi jauh-jauh hari sebaiknya seorang peserta rajin melihat referensi foto-foto dari lembaga atau personal, yang tersebar di media sosial. Pahami juga visual literasi dan visual storytelling.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala