Pagi jam 06.30 WIB saya ikut merapatkan barisan bersama jemaah Masjid Al Ikhlas dekat rumah. Duduk bertakbir hingga datang waktu solat Ied. Ini mungkin sama seperti jemaah haji yang wukuf (diam berdoa) di Padang Arafah, Makkah.
Bedanya, jemaah haji berkumpul di bawah terik matahari. Jemaah di sini duduk di dalam masjid berpendingin AC. Setan tidur pun leluasa menggoda iman.
Di tempat saya tinggal, mayoritas adalah karyawan selain kalangan profesional sektor jual-beli (pedagang), dokter, guru, penjahit, dan beberapa orang tentara. Ini di Bekasi Utara.
Masjid pagi ini fullbook, jemaah membludak keluar pagar masjid hingga bertambah tujuh shaf, diisi para jemaah muslimah. Ini selalu terjadi di setiap hari raya, termasuk Idul Fitri.
Setelah solat dua rakaat dengan ketentuan, rakaat pertama 7 kali takbir dan rakaat kedua 5 kali takbir, dilanjutkan dengan ceramah.
Pada adegan ceramah inilah banyak jemaah yang berguguran keimanannya, 'runtuh' tergoda setan tidur. Saya juga tergoda. Tapi upaya setan sia-sia. Meski berkali-kali saya menguap, tetap berusaha fokus ke ceramah khatib. Jadi, tidur tak sampai 'njomplang' rubuh menabrak tetangga.
Di beberapa shaf, ada jemaah tertidur dengan gaya berbeda. Rata-rata menundukkan kepala dan mata terpejam. Tapi masih lebih banyak yang terjaga dan khidmat dibanding yang ngantukan.
Jemaah di masjid ini menganut Islam aliran ahlu sunnah wal jamaah. Dari gaya penampilan mereka mengindikasikan itu.
Saya merasa cocok menjadi bagian dari mereka. Walau tak dianjurkan tapi juga tidak ada larangan saya solat pakai celana jeans, baju koko, dan tanpa peci.
Suasana masjid damai dengan kegiatan ngaji rutin seminggu tiga kali: membaca Kitab Arbain, dan kitab lain tentang akidah dan syariat Islam. Solat subuh di sini selalu menyisipkan doa qunut.
Usai solat Ied panitia Hari Raya tidak mengeksekusi hewan qurban kambing dan sapi. Atas pertimbangan waktu karena persiapan solat Jumat, potong hewan qurban ditunda besok, hari Sabtu.
Prosesi berikutnya, saya bawa anak dan istri silaturahim ke rumah orangtua (pakle dan bukle) dari garis ibu di Tanjung Priok. Kebetulan hanya mereka yang haji dan masih sehat wal afiat.
Siang hari sampai di Tanjung Priok, saya mampir solat Jumat bersama jemaah Masjid Ash Sholihin, yang juga menunda sehari pemotongan qurban.
Berbeda dengan jemaah masjid di dekat rumah tadi pagi, solat Jumat di sini saya bertemu saudara jemaah penganut Islam yang berbeda.
Saat berdiri solat, kaki saya "terdesak" oleh kaki jemaah yang terlalu "meregangkan" kaki. Saya sempat tidak fokus solat, akibat geseran kaki yang lebay, menurut saya.
Mereka yang solat meregangkan kaki lumayan banyak di sini. Pakaian mereka sama; celana komprang bahan tigaperempat, baju koko putih, jenggot dan tanda solat di kening.
Postur badan saya relatif lebih tinggi dari tetangga, sebenarnya bisa saja membalas merentangkan kaki lebih lebar.
Jika saya merentang kaki, itu pantas buat menopang badan. Tapi hal itu tidak saya lakukan. Jadi, kaki saya tegak lurus dengan badan. Sementara, saya lihat kaki di kanan-kiri saya ngangkang lebar.
Sebetulnya saya berdiri dengan jarak kaki normal. Tapi, karena terdesak dari kanan kiri, saya geser kaki sedikit kedalam.
"Pasti kaki saya mengambil porsi tempat berdiri mereka," saya membatin.
Yang mengejutkan, kaki tetangga terus "mengejar" hingga menempel nyaris menginjak kaki saya. Duh. Okelah, saya persempit lagi rentang kaki ini.
Ternyata, kebijakan saya tidak menghentikan agresi itu. Daripada batal solat Jumat, saya bertahan di posisi kaki berdiri paling sempit, asal tidak ambruk saja. Dan melanjutkan hingga salam. Selepas itu duduk dan salaman.
Saya dengar khatib tadi berceramah tentang kisah Nabi Ismail, yang mau disembelih oleh ayahnya sendiri yaitu Nabi Ibrahim. Ismail adalah anak dari pernikahan Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar.
Allah SWT menggantikan sosok Ismail dengan kibas (kambing) saat detik-detik lehernya ditebas pedang Nabi Ibrahim. Pelajaran besar dari kisah qurban adalah pengorbanan tanpa syarat dari Nabi Ibrahim dan keyakinannya terhadap perintah Allah.
Usai solat, khotib membaca takbir Iedul Adha beberapa kali dengan suara syahdu dan menggetarkan hati. Matahari di luar masjid terlihat terik, saya melap lelehan air mata dengan jari.
Di rumah pakle dan bukle suasana sudah ramai. Sanak-saudara berkumpul, asik ngobrol dan makan siang khas bikinan bukle yang terkenal; sambel krecek, ketupat, opor ayam, oseng-oseng pare, tempe goreng, bakso, dan kue wajik ketan.**
Komentar
Posting Komentar