Langsung ke konten utama

Diplomasi pisang goreng tanduk Mpok Nur

Peter, Herman dan saya. (foto: Harris Jauhari)
Kuliner Indonesia macam bakso, sate, dan nasi goreng dikenal di antero dunia berkat tebaran Presiden Amerika ke-44 Barrack Obama. Dua kali ke Indonesia di tahun 2010 dan 2017, Barry ikut mempopulerkan kuliner yang merakyat itu.

Di tingkat nasional, komunikasi politik dilakukan petinggi partai Demokrat, Soesilo Bambang Yudhoyono saat menjamu ketua umum Gerindra Prabowo Subianto dengan menu utama nasi goreng pada Juli 2017 di Istana Cikeas, Bogor, Jawa Barat.

Ternyata diplomasi kuliner lumayan ampuh untuk mencairkan suhu maupun kebekuan politik. Dunia politik pun mengenal istilah "tak ada makan siang gratis".

Meski bukan bagian dari agen politik negara, apalagi sampai punya agenda politik nasional, saya mendapat suguhan pisang goreng tanduk Mpok Nur di Manggarai saat dipertemukan dengan Peter de Meij, staff bidang hukum Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis di Jakarta.

Pertemuan ini dicomblangi wartawan senior nan mahsyur Harris Jauhari. Anak Betawi asli yang kini jadi konsultan politik seorang anggota DPRD itu mengirim pesan di Whats App beberapa jam sebelumnya:

"Gile, ngantri dibawah terik. Ikut, ah!" tulisnya di grup Jurnalis Film Indonesia, Kamis (8/9/2017) siang. Dua buah foto ikut dikirim untuk menegaskan posisi dan konteks pesan tertulisnya. Suhu udara di Jakarta siang itu 34 derajat. Cukup panas.

Siang menjelang sore itu bang Harris antri di depan warung pisang tanduk goreng Mpok Nur yang, menurut dia paling top se Jakarta.

"Buat temen ngopi, nanti," tulisnya.

Selepas maghrib, saya yang sudah janjian bertemu rekan Herman Wijaya langsung menuju ke titik pertemuan yang kami sepakati di percakapan grup WA yaitu di EAT & EAT, Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta Selatan.

Di kursi dan meja panjang itu saya melihat dari belakang, bang Harris ngobrol dengan seseorang, yang saya lihat di WA.

Kami pun berkenalan. Dia adalah Peter de Meij, staff bidang hukum di Kedubes Belanda, Erasmus Huis Jakarta.

"Saya mengurusi hal yang terkait dengan politik dan demokrasi. Kalau soal film itu lebih ke budaya, ada teman saya yang mengurus itu," jelas Peter.

Sosoknya mengingatkan saya pada mantan vokalis Genesis, Phil Chollins. Dia lancar berbahasa Indonesia. Kami mengobrol banyak hal dari seputar film, politik, dan gosip artis.

Sesekali, saya memotek pisang goreng tanduk di dalam plastik yang dibawa bang Harris dari warung dekat Stasiun Manggarai itu. Meski tinggal di apartemen dekat Epiwalk, bang Harris suka hangout dengan Kereta Rel Listrik. Cukup maklum, karena bermobil di Jakarta justru tidak mobile.

Saya, Herman dan Peter diberi kesempatan ngobrol lebih akrab saat bang Harris pamit untuk solat Maghrib. Saya menyusul setelah dia kembali dari musola.

Pertemuan saya dengan Peter yang punya kisah manis dengan Dian Sastrowardoyo pada 15 tahun silam itu, memang singkat.

Namun, saya sudah cukup menggali informasi tentangnya. Kami berbagi nomer telepon, dan merancang pertemuan berikutnya.

Hasil pertemuan kali ini cukup penting dengan apa yang kami rencanakan.

Dan yang tidak kalah penting adalah pisang goreng tanduk Mpok Nur, yang menjadi sub obrolan kami tentang kuliner disamping agenda lainnya.

Salahsatunya, Peter cerita soal nasi goreng yang menjadi kuliner khas Belanda, dan itu sangat terkait dengan strata sosial pada masanya.

Saya merasa langsung akrab dengan Peter yang lebih 20 tahun kenal bang Harris. Hebatnya lagi, dia tidak sungkan saat bang Harris menawarinya agar membawa satu dari dua bungkusan plastik pisang goreng tanduk yang ada di meja.

Membayangkan cerita Peter de Meij tadi, saya jadi teringat lagu "Geef Mij Maar Nasi Goreng" gubahan wanita kelahiran Surabaya berkebangsaan Belanda, Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort atau Tante Lien pada tahun 1979.

Tante Lien lahir di Surabaya tanggal 16 Mei 1943 dan menetap di Kota Pahlawan itu hingga berusia 14 tahun. Kemudian dia tinggal di Den Haag, Belanda hingga sekarang.

...Geef mij maar nasi goreng met een gebakken e
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij... ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala