Langsung ke konten utama

Saya ini si gembala kambing

Meski bukan penggembala hewan ternak, saya punya kambing domba lebih dari 20 ekor pada bulan Djulhijah tahun 1437 Hijriyah atau tahun 2016.

Awalnya tidak terfikir akan punya kambing sebanyak itu. Apalagi berencana menjadi peternak kambing, sama sekali tidak. Tetapi saya punya ikatan emosional dengan binatang ternak. Waktu kecil saya cukup akrab dengan dunia unggas, ayam kampung, peliharaan pakde di Tanjung Priok, Jakarta.

Saat kelas I SD saya belajar memelihara dan memotong ayam dengan benar. Tentu tidak di posisi sebagai pemegang pisau. Saya terbiasa menahan gerakan ayam yang meronta saat mau disembelih dengan menyatukan erat kedua sayapnya. Ini adalah teknik kuncian paling manusiawi.

Posisi kepala ayam harus menghadap kiblat, dan jangan lupa membaca basmalah dan mencabut beberapa helai bulu di leher ayam sebelum pisau memutus nadi dan urat leher ayam.

Bukannya tidak takut melihat darah ayam muncrat dan mengalir di bilah pisau belati milik pakde. Selalu saya terpejam sebentar, lalu membuka mata untuk melepaskan ayam yang meronta. Tak sengaja memegang dan menginjak tahi ayam, itu sering terjadi.

Bicara soal kambing-kambing yang saya punya, itu bermula pada tahun 2013.  Seorang teman datang ngajak ngobrol. Intinya, dia minta tolong agar saya membantu mertuanya yang sangat ingin memelihara kambing.

"Bapak mertua saya pingin piara kambing, mau gak mas beliin kambing biar dia yang merawat?" kata Saipul,  karyawan Sinematek Indonesia saat itu.

Setelah bertanya bagaimana mertuanya merawat kambing, saya nyatakan setuju. Saua menyerahkan pada Syaiful uang Rp5 juta untuk membeli tiga ekor kambing (2 betina, 1 jantan).

"Kambing sudah dibeli, tapi kandangnya belum ada, mas," kata Saipul di pekan berikutnya.  Saya tambah Rp500 ribu untuk beli pagar bambu.

Saipul selalu memonitor kambing yang dipelihara mertuanya. Dalam waktu dua bulan, kambing sudah bunting. Setengah tahun kemudian kambing beranak, masing-masing 2 ekor. Tahun pertama itu, saya sudah punya 7 kambing.

Meskipun tidak rutin melaporkan progres hewan ternak itu, pada tahun berikutnya sudah ada belasan ekor di kandang.  Tahun 2015 jumlah kambing saya lebih dari 20 ekor.

Dengan bertambahnya kambing, kandangnya pun perlu diperbesar. Saya beri tambahan biaya untuk merenovasi kandang.

Sejak punya peternakan, pada musim haji tahun 2015 dan 2016 saya tinggal ambil saja kambing buat qurban.

Jumlah kambing saya tahun 2015 ada 20an ekor. Jumlah itu separo dari total jumlah yang ada, karena begitulah sistem bagi hasil yang saya dan bapak mertua Saipul sepakati.

Artinya, sebenarnya jumlah kambing seluruhnya 40an ekor sebelum dibagi dua. Kambing tidak semuanya ada. Diantaranya ada yang mati saat baru dilahirkan. Ada juga kambing 'bagian saya' yang dijual oleh keluarga peternak, untuk kebutuhan ekonomi.

"Maaf, pak saya jual beberapa ekor punya bapak, nanti akan diganti," kata bapak yang saya lupa namanya.

Sejak setahun terakhir, sampa Agustus 2017 saya tidak mendapat report, dan saya pun tidak sempat menengok ke lokasi peternakan di Desa Cabang Bungin, Bekasi.

Seingat saya, baru tiga kali melihat kambing di desa tersebut.

Saat ini, jumlah kambing saya mungkin sudah lebih dari 30 ekor. Tapi, saya belum terlalu serius mengurusi. Padahal bisa saja secara berkala saya jual kambing-kambing itu.

Andai saya lebih peduli terhadap kepemilikan hewan-hewan ternak itu, mungkin menjadi jadi lahan bisnis. Sepertinya saya harus memulainya. Embeekk..! **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala