Langsung ke konten utama

Murka tetua adat Kampung Melo, Manggarai-NTT

Rumah adat Melo milik tetua adat, Yosep
Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pesona wisata yang terkenal hingga manca negara yaitu Pulau Komodo (Taman Nasional Komodo) dan Labuan Bajo, surga bagi penikmat wisata alam bawah laut.

Selain kedua nama populer tersebut, ada kawasan yang tidak kalah memikat yaitu Kampung Adat Melo berjarak sekitar 40 km dari Labuan Bajo.

Letak geografis Kampung Adat Melo berada di pegunungan dengan suhu udara antara 10 sampai 20 derajat. Kondisi ini lebih sejuk daripada suhu di NTT pada umumnya berkisar 33 hingga 34 derajat.

Yosep menjaga adat hingga nanti
Banyak hal menarik dari Kampung Adat Melo selain bangunan rumah panggung yang dihuni warganya.

Di saat tertentu, tujuan wisata yang telah ditetapkan sebagai "Kampung Adat" ini menampilkan atraksi budaya, kerajinan tradisional tenun kain sarung, peci, tas serta makanan khas Manggarai. 

Kampung Adat Melo berada persis di Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Komodo. 

Dia menjadi pintu masuk dari arah barat, karena Desa Liang Ndara dilalui jalan utama, yakni Jalan Raya Trans Flores, penghubung kota Labuan Bajo - Ruteng.

Sisi dalam rumah panggung Melo
 Menurut seorang tetua Kampung Adat Melo, Yosep (87) sejak tahun 1980an rumah-rumah panggung mulai berkurang, berganti dengan rumah-rumah 'modern'.

"Padahal rumah panggung ini warisan leluhur Suku To'e, penduduk asli Manggarai," kata Yosep saat disambangi di rumahnya yang sejuk, Minggu (20/8/2017).

Atas kesadaran pribadi untuk mempertahankan identitas budaya leluhurnya, Yosep  membangun rumah adat Melo pada tahun 2001. 

"Rumah ini untuk mempertahankan budaya dan adat Melo. Anak-anak usia 30an tahun kebawah akan sulit mengenal rumah adat jika tidak dipertahankan," lanjut Yosep.

Yosep adalah petani padi di tanah ladang. Tidak ada sawah di desa tersebut karena kontur tanahnya berbukit. Dia membangun dan merawat sendiri rumah adat Melo. 

Kini, rumahnya lebih berfungsi sebagai tempat pelayanan bagi wisatawan, tamu yang haus atau lapar dan letih serta butuh informasi soal kampung adat.

Kesibukan para tamu di luar rumah
Sejak rumah adat didirikan, sebuah LSM dari Jakarta menitipkan "Taman Bacaan Pelangi" pada Yosep, yang juga mendirikan Sanggar Compang To'e. Sanggar ini memiliki semangat menjaga adat istiadat dan budaya setempat.

"Dulu, rumah ini bisa dihuni untuk dua keluarga," kata Yosep sambil membuat gerakan tangannya tentang dimana letak kamar tidur dan ruang tamu. 

Rumah kayu berukuran 3x4 meter persegi itu sekarang kosong tanpa sekat ruangan. Kami duduk lesehan, beralas bantal empuk dari pelepah pohon kering yang dianyam.

Rumah induk ini hanyalah satu dari tiga unit bangunan di areal sekitar 500 meter persegi milik Yosep. Satu unit rumah lainnya dipakai untuk menyimpan perlengkapan atraksi budaya, dan satu unit lagi rumah tanpa panggung, tempat warga dan berkumpul.

Rumah adat Melo berhalaman luas sangat ideal bagi pelancong, yang ingin mendapat pemandangan indah Labuan Bajo dan Pulau Komodo dari ketinggian. 

Dari jendela rumah Melo dapat juga dilihat hamparan alam berupa dataran dan laut biru yang tercipta saat matahari akan rebah di ufuk barat.

Wisatawan biasanya berkoordinasi dengan tuan rumah Melo sebelum mereka mampir. Inilah mengapa, tuan rumah tampak selalu siap menyajikan makan dan minum hingga prosesi adat penyambutan tamu (tradisi Maka).

"Seminggu ini sudah ada tamu datang dari 20 negara," kata Yosep. Lalu, dia perlihatkan buku tamu dimana tercatat di buku, nama dan negara asal mereka yang pernah datang. Saya pun ikut menulis nama dan instansi.

Karena saya datang mendadak (maklum turis backpacker) maka jamuan tuan rumah ala kadarnya. Pun demikian, tetap sambutan itu terasa hangat dan bersahabat. 
Segelas teh manis dengan  gula merah asli, menemani obrolan kami sore itu. 

Jika ada yang suka kopi, pak Yosep siap menyajikan kopi asli Manggarai.
"Peci dan sarung ini pakaian adat, tidak terkait dengan agama tertentu, bukan hanya milik umat Islam," sambut Yosep saat saya bertanya soal pakaian adat Manggarai tersebut.

Dalam penuturan Yosep, nenek moyangnya sudah datang di Manggarai sejak tahun 1700. 
"Kami berasal dari Makassar, dan terpaksa menyeberang ke Flores karena menolak dijadikan pekerja oleh Raja Goa," ungkap Yosep.

Bantuan tak sampai

Di sela penuturan sejarah Suku To"e di Manggarai, Yosep memperkenalkan aneka kerajinan tangan warga setempat.

Yosep
Dia mengaku bisa mempertahankan adat dengan kondisi yang dilematis. Di satu sisi, pemerintah dan Dinas Pariwisata setempat menetapkan tempat tinggalnya sebagai "Desa Adat". 

"Tapi perhatian tidak pernah datang, baik berupa dukungan operasional apalagi bantuan pembangunan fisik rumah adat," terang Yosep.

Bahwa pemerintah pusat pernah memberi bantuan, hal itu tak dibantahnya.

Menurutnya, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan pernah mau membantu pendanaan Sanggar Compang To'e dan memperbaiki rumah adat Melo.

"Pejabat Kemenbudpar datang tahun 2009. Mereka berjanji akan memberi dana bantuan. Tahun 2010 bantuan itu datang sebanyak Rp1 Miliar," ujar Yosep.

Namun, Yosep tidak menduga jika harus menelan pil pahit, karena nama sanggar miliknya tidak masuk daftar penerima bantuan.

"Saat rapat dengan Dinas Pariwisata dan pejabat di sini, nama Compang To'e tidak masuk daftar. Saya tidak marah, tapi saya tinggalkan rapat itu," katanya.

Yosep memaklumi situasi itu. "Ada dua anak pemerintah, anak kandung dan anak tiri. Sanggar yang saya kelola ini adalah anak tiri, tidak mendapat perhatian," ujarnya datar.

Semenjak ada bantuan dari pusat, Dinas Pariwisata Daerah dan kepala daerah setempat sibuk membuat sanggar-sanggar baru. 

"Ada enam sanggar baru di sini saat itu. Meski tidak punya kegiatan di dalamnya, mereka menerima bantuan itu," ujarnya.

Anehnya, saat pejabat dari Kementerian Pariwisata datang mengontrol pada tahun 2011, sanggar-sanggar itu memasang kain tenun pinjaman darinya di jendela, kemudian memotretnya sebagai laporan.

"Ada seorang anggota rombongan pejabat Kementerian yang bertanya soal dana itu, dan saya katakan bahwa saya tidak pernah menerima satu sen pun," lanjut Yosep.

Sejak kejadian itu, tidak pernah ada orang Dinas Pariwisata Daerah datang ke rumah Melo milik Yosep.
"Sepertinya mereka malu, tidak pernah ada jejak kaki mereka di sini," ujar Yosep dengan nada getir.

Upacara adat
Bagi pelancong yang beruntung, ketika datang ke Kampung Adat Melo dapat menyaksikan upacara penyambutan tamu (upacara Maka), dan berbagai atraksi seni budaya setempat.

Acara Maka adalah prosesi penerimaan tamu,  dimana tuan rumah memegang keris seakan mau menikam tamu. 

Ada empat kalimat diucapkan tuan rumah sebagai bentuk perkenalan dan persahabatan.

"Hai kray (bahasa Manggarai: saudara) inilah gerbang pintu masuk kampung kami, kami sambut anda dengan penuh sukacita, dan marilah kita ikatkan rasa persatuan dan hati," jelas Yosep tentang 4 ujaran dalam upacara Maka.

Atraksi lainnya adalah membelah kelapa diatas kepala pengantin, untuk meramal  calon anak yang akan dilahirkan nanti.

Setelah kelapa terbelah lalu dibuang, dan posisi jatuh buah kelapa akan menentukan jenis kelamin anak.

Jika belahan kelapa jatuh tertutup, akan lahir anak laki-laki. Kalau kelapa terbuka dan tertutup, anaknya akan laki dan perempuan. Sedangkan jika kelapa terbuka keduanya, maka anak yang dilahirkan adalah perempuan.

Kampung Adat Melo memiliki daya pikat yang kuat. Saat ini, hanya dedikasi dan pengorbanan Yosep bersama 25 seniman anggota Sanggar Compang To'e yang memanjangkan umur kampung adat Melo.

"Saya senang merawat tempat ini, termasuk Taman Bacaan Pelangi yang dibuka pertama 2009 di sini, sekarang sudah ada di Papua, dan Ambon," ungkap Yosep yang telah dikaruniai 11 orang cucu dari 5 anaknya.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala