Sebuah foto bukanlah gambar statis tak bermakna. Dia bisa jadi alat ukur derajat keakraban atau chemistry seseorang pada orang lain di dalam satu frame.
Saya sering melihat pada berbagai kesempatan orang minta foto bareng tokoh atau selebriti, kemudian mengunggah foto itu ke media sosial. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang memakainya sebagai foto profile akun medsos dan Whatsapp.
Memamerkan foto sendiri atau bersama selebriti di medsos, pada kadar tertentu dianggap bentuk kelainan jiwa narsisisme. Agama menyebut itu 'riya. Pamer ingin dipuji orang.
Yang lain mengatakan, pamer foto pribadi di medsos, artinya mengkurasi kehidupan diri. Buat saya monggo aja selama tidak merugikan orang lain.
Berfoto dengan siapapun, dimanapun adalah ekspresi pergaulan sosial jaman kiwari. Sebuah foto bahkan mampu bercerita.
Anggapan itu benar meskipun jika foto tanpa disertai teks, biasanya cuma bisa dikonsumsi oleh pemiliknya. Sebaliknya, cerita tanpa foto bisa dikatagorikan hoax. Lucu.
Stalking karena kepo, mengunggah foto pribadi saya lakukan juga. Sangat sedikit saya unggah foto keluarga.
Sebagai penikmat foto, saya tak mudah percaya pada foto yang berdiri tunggal tanpa dilengkapi cerita. Mengapa? Karena foto yang dilengkapi cerita akan memberi nuansa kedalaman, tentang keakraban obyek. Foto jadi lebih berbobot dari sekadar alat pamer. Menurut saya, lho.
Sebagai penikmat foto, saya tak mudah percaya pada foto yang berdiri tunggal tanpa dilengkapi cerita. Mengapa? Karena foto yang dilengkapi cerita akan memberi nuansa kedalaman, tentang keakraban obyek. Foto jadi lebih berbobot dari sekadar alat pamer. Menurut saya, lho.
Beberapa swafoto bersama selebriti politik, film, dan lain-lain umumnya saya yang memintanya. Pada situasi demikian, level saya berada di bawah mereka. Tidak apa-apa, asal bisa foto bareng artis top!
Terkadang saya terpaksa bersama para tokoh di satu frame foto. Saat itulah saya selevel dengan mereka. GR dikit.
Ada banyak momen saya bertemu para pesohor, tapi sedikit saya manfaatkan berswafoto dengan mereka. Itu pun tidak semua foto saya unggah ke medsos. Saya simpan dengan tidak teratur.
Salah satu foto yang saya anggap penting adalah bersama Najwa Shihab, presenter acara Mata Najwa di Metro TV. Itu terjadi awal tahun 2016.
Najwa Shihab anak ulama Quraish Shihab. Seperti kebanyakan orang, saya mengenal kedua nama itu dari berbagai media massa.
Dan saya lebih mengenal Nana, sapaan Najwa Shihab sejak dikenalkan oleh rekan fotographer Dudut Suhendra Putra.
Dengan kameranya, Dudut beramal jariyah memotret beragam peristiwa. Entah sudah berapa banyak wajah 'membeku' di kameranya. Dari laut, darat, udara, hingga gunung. Tukang becak, polisi, menteri sampai presiden. Mbok penjual gudeg di Jogjakarta sampai presenter jurnalis Najwa Shihab.
Sepenceritaan Dudut, suatu hari dia memotret Nana untuk kebutuhan redaksi majalah Adil, tempatnya bekerja. Melihat hasil jepretan Dudut, putri ustadz itu puas lalu minta difoto lagi di lain waktu, untuk dokumentasi pribadi.
Bukan hanya Nana yang menyukai hasil karya Dudut. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun mengapresiasi karyanya (untuk Buku Musik), juga Menteri Ferry Mursyidan Baldan (buku Chrisye dan lain-lain).
Sepekan terakhir ini, acara Mata Najwa menjadi buah bibir terkait undur diri Nana sang pembawa acara. Keputusan mundur Nana disampaikan pasca penayangan episode terakhir acaranya, yaitu wawancara dengan Novel Baswedan.
Novel Baswedan adalah anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korban penyiraman air keras di depan rumahnya yang dilakukan orang misterius.
Menurut kabar, sikap 'jantan' Nana untuk resign berangkat dari komitmennya terhadap institusi tempatnya bekerja.
"Idenya membuat episode kasus Novel sebenarnya ditolak oleh internal, tapi Nana ngotot bahkan pakai biaya sendiri untuk memproduksi episode itu," cerita seorang teman, wartawan yang suka mengamati televisi.
Pertamakali saya bertemu Nana, tidak ada yang berbeda pada sikapnya seperti sering saya lihat di layar kaca.
Dia luwes berbicara, peduli dan menghormati lawan bicara dengan cara menatap mata. Dia memang smart. Saya membatin, "Oo, ini toh aslinya mata Najwa?".
Perkenalan saya dengan Nana secara on the spot. Saya dapat informasi Nana akan datang ke Perpustakaan Nasional menghadiri acara penobatannya sebagai "duta baca".
Kebetulan saya punya urusan dengan Perpusnas yang menjadi mitra acara Usmar Ismail Awards (UIA).
Selesai menjelaskan ihwal UIA, dan mengorek sedikit tentang kegiatannya, saya merayunya agar bersedia menjadi juri bersama belasan juri wartawan lainnya, yang saya pilih. Ini adalah tugas saya sebagai Ketua Bidang Penjurian dan Kehumasan acara yang diselenggarakan Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail bersama Forum Pewarta Film saat itu. Tahun berikutnya, saya tidak terlibat di acara tersebut.
Obrolan dengan Nana mulai dari soal duta baca sampai ke cara mendidik anak agar suka membaca. Hasil obrolan, sebagian saya tulis untuk materi Buku Acara UIA 2016. Sedangkan soal tawaran saya tadi, Nana tidak punya waktu untuk menjadi juri. Jadwalnya padat. Saya memakluminya.
Sebelum presenter cantik ini bergeser keluar gedung, saya nginthili dan tidak sia-siakan minta berswafoto, tak lupa bertukar nomer telepon. Beberapa kali Dudut merekam 'keakraban' saya dengan mantan presenter di Metro TV itu.
Hasilnya, tentu saja sebuah foto yang ciamik. Apakah foto sok akrab saya bersama Najwa Shihab itu sudah terlihat natural, apakah ada tanda chemistry diantara kami? Kalau tidak ada, lupakan saja. Memang begitulah adanya. **
Jakarta, 12 Agustus 2017
Jakarta, 12 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar