Langsung ke konten utama

Politik kecil wartawan tengil

Ngopi di Manggar, Belitung tahun 2011
Pada hari saya bertemu Andrea Hirata, novelis terkenal bertopi baretta di Bumi Laskar Pelangi, Belitung, itu pertemuan kesekian kalinya dengan si Ikal dalam cerita novel Laskar Pelangi karyanya yang sangat monumental.

Novel itu menggerakkan hampir seluruh sudut kehidupan negeri, pasca difilmkan oleh Riri Riza dibawah perusahaan Miles Films milik Mira Lesmana.

Seperti bola salju, hasil buah pikir dan endapan hati Andrea Hirata itu menggelinding bertenaga, menyumbangkan kebanggaan. Dan tentu saja pemerintah kota Belitung rela membukakan pelabuhan khusus bernama Pelabuhan Laskar Pelangi di Tanjung Pandan.

Sehari setelah peresmian pelabuhan pada Sabtu, 11 Juni 2011, Andrea Hirata mengajak wartawan film dan kebudayaan. Saya diundang oleh penerbit buku, dan ikut menapaktilasi lokasi syuting film Laskar Pelangi di pantai Kelayang, serta menikmati hangatnya kopi Manggar di malam hari.

Jamuan itu mengesankan, tapi saya lebih terkesan dan terkejut dengan kalimat yang dilontarkan saat menyambut.

"Haloo, Mas Imam apa kabar? Wartawan yang ditakuti oleh kawan maupun lawan," katanya. Kami pun saling berjabatan tangan. Akrab.

Saya menimpali dengan kalimat standar, "Apa kabar juga, mas Andrea?"

Ucapan novelis itu tentang saya, yang disebutnya "ditakuti oleh kawan maupun lawan" itu tidak pernah saya konfirmasikan sampai saya menulis ini.

Jika bertemu dengannya nanti, mungkin saya akan tanya juga. Sebab saya terganggu dengan ucapannya itu. Baper (terbawa perasaan), kata anak gaul sekarang.

Saya coba menebak makna dibalik ucapan Andrea tersebut, saat ini. Mungkin itu berkaitan dengan sikap saya terhadap siapapun.

Ada benang merah antara ucapan Andrea dengan aktivitas saya di lapangan sebagai wartawan.

Sejak tahun 2003 saya melebur di bidang liputan film. Meski sesekali ditugasi meliput agenda musik, televisi dan budaya, saya lebih banyak bertemu dengan orang film.

Mengikuti proses FFI -- pasca mati suri 12 -- tahun 2004 sampai hari ini sangat menarik. Konstelasi politik perfilman, taruhlah begitu berada di depan mata. Saya menikmatinya.

Sebelum FFI digelar lagi tahun 2004, saya sudah ke lapangan mengejar narasumber program tayangan apresiasi Festival Film Indonesia (FFI) di TVRI. Itu tahun 2003.

Acara itu tidak terkait dengan FFI sebagai sebuah event. Saya satu tim dengan mas Akhlis Suryapati sebagai penanggungjawab program, saya ajak dua rekan wartawan untuk 'side job' bikin acara mingguan ini.

Kedua wartawan itu sekarang menjadi juragan Nasi Liboet di Bandung, dan seorang lagi penyiar Bens Radio.

Sempat selama tiga episode, artis Lola Amaria menjadi presenter acara ini sebelum digantikan I Made Kadek Devi, artis remaja pendatang baru.

Karena keterbatasan biaya, program FFI TVRI hanya bertahan dalam 36 episode.

Sejak FFI dimulai sampai 2006 saya membantu kepanitiaan bersama Gugun Gondrong di kehumasan.

Sempat diminta oleh rekan wartawan Teguh Yuswanto (Tabloid Bintang Indonesia) untuk menjadi Ketua Dewan Juri Verifikasi pada Festival Film Jakarta (FFJ) yang pertama diadakan oleh tabloid Bintang Indonesia tahun 2006.

Ketika Masyarakat Film Indonesia (MFI) protes atas kemenangan film Ekskul dan mengembalikan Piala Citta FFI, saya melalui komunitas Wartawan Film Indonesia (WFI) berupaya "mempertemukan" kubu anak muda perfilman dan para senior mereka di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail.

Namun, kubu MFI menolak ajakan WFI. Mereka antaranya Riri Riza Cs (saya sebut kubu anak muda perfilman) menolak hadir. Diskusi berjalan timpang dihadiri kubu senior seperti H Djonny Sjafruddin, dan lain-lain.

Wartawan Film Indonesia (WFI) saya gunakan sebagai "cantelan", karena saya belum menjadi anggota PWI.

Karena tuntutan pekerjaan di Harian Terbit, saya intens bolak-balik dari Gedung Film di Jln MT Haryono ke Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail di Kuningan, Jl HR Rasuna Said. Bahkan setelah pindah-pindah media, dan membuat sendiri media.

Semangat untuk beraktifitas berlanjut dengan mengadakan acara Diskusi Film di Hotel Puncak Raya tahun 2007.

Ada semacam keinginan agar teman-teman wartawan punya kegiatan karena kantor PWI Jaya seksi Film di lantai 4 PPHUI ketika itu sepi pengunjung.

Diskusi di Puncak Raya selama tiga hari menghadirkan narasumber, antaranya Iman Brotoseno, ketua APFII (Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia) yang kini sutradara film dan aktivis medsos.

Untuk kegiatan tersebut saya gunakan nama Pokja PWI Jaya seksi Film dan Budaya. Lagi-lagi karena saat itu saya belum jadi anggota PWI. Memakai nama "Pokja PWI" atas izin Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya, Akhlis Suryapati.

Setahun kemudian (2008) karena disuruh oleh kantor, saya bikin kartu PWI. Tugas di Harian Terbit (sampai 2014) "kartu biru" saya ditandatangani Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam yang saat itu Pimred di koran milik Harmoko, Tahar, dan Sugiarti.

Tahun 2008 pengalaman pertama saya diminta bertanggungjawab sebagai Ketua Bidang Humas dan Dokumentasi FFI.

Tak hanya mengerjakan yang wajib mengurus wartawan untuk meliput malam puncak di Bandung, atau memproduksi berita update FFI, saya juga membuat acara 'sunnah', yakni Diskusi Bahasa Dalam Film dan Pameran Foto Jurnalistik.

Acara ini yang pertama terjadi di sepanjang perhelatan FFI. Diskusi tentang Bahasa Dalam Film Indonesia menghadirkan narsum Lola Amaria, Chand Parwez, dan Direktur Pusat Bahasa, Dandy Laksono.

Sementara Pameran Foto Jurnalistik melibatkan sekitar 20 wartawan (senior, madya, dan junior) untuk mengirimkan foto mereka. Pameran berlangsung selama sebulan di tiga tempat yakni Gedung Film, PPHUI, dan Blitzmegaplex, Grand Indonesia.

H Kamsul Hasan, Ketua PWI Jaya, yang meminta saya menggantikan Akhlis Suryapati yang habis masa tugasnya sebagai Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya, pada Kongres PWI Jaya tahun 2009.

Waktu itu sepertinya PWI tidak punya pilihan calon lain. Saya tidak menolak permintaan Bang Kamhas tersebut untuk jadi "ketua kelas" di organisasi nirlaba ini dari 2009 sampai 2014.

Agenda internal dan eksternal organisasi pun saya siapkan. Tanpa pengalaman dan terjun langsung.

Sistem keuangan organisasi sebelum saya masuk, ada dana secara rutin dari beberapa pihak (saya lihat bukti catatan di berkas di dalam lemari sekretariat).

Tak ingin sistem donatur berlanjut, dan demi menjaga independensi organisasi. Jadi, selama menjadi Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya, saya tidak menerima bantuan rutin dari pihak atau lembaga manapun.

Lalu dari mana biaya operasional dan untuk membayar office boy? Saya atasi sendiri dengan kantong pribadi. Meski tidak kaya, alhamdulillah ada kalau untuk itu.

Secara eksternal saya lakukan konsolidasi anggota, dan tetap memompa semangat agar wartawan tidak memble dan gak gampang tunduk di depan orang film, yang bekas wartawan sekalipun.

Entah disetujui atau tidak kebijkan saya tersebut, tapi organisasi tetap bergerak.

Aksi masyarakat film menolak pengesahan draft UU No 33 tahun 2009 menunjukkan kesamaan visi orang muda di kubu MFI dengan kubu senior.

Mereka menggelar aksi "Duka Cita Atas Matinya Perfilman Indonesia" di Gedung DPR dan di PPHUI. Aksi ini dimotori Riri Riza Cs, Slamet Rahardjo, Jajang C Noer, Rima Melati, NiaDinaya, dan hampir semua ketua organisasi film Sapta Tunggal seperti PPFI, KFT, GPBSI, PERFIKI, PARFI, ASIREVI.

Ketika aksi demo berlangsung, saya sedang menyiapkan edisi ketiga Tabloid Kabar Film. Tabloid ini berkonsentrasi pada kronik perfilman. Sampai lima tahun ke depan, Tabloid Kabar Film hadir setiap bulan.

Biaya dari mana untuk membuat tabloid? Saya selalu serius menjawab pertanyaan yang sering diajukan oleh orang film maupun rekan wartawan tersebut dengan mengatakan uang pribadi. Selebihnya, "Tuhan yang kasih modal," kata saya. Tapi, mereka selalu anggap saya hanya bercanda. Hahaha.. Saya ikut tertawa. Pedih.

Karena untuk menerbitkan Tabloid Kabar Film butuh perjuangan dan berdarah-darah. Hingga saya tak kuat lagi membiayai, lalu menghentikan penerbitan tabloid dan beralih ke versi digital (online) dengan nama web www.tabloidkabarfilm.com sejak Mei 2014.

Dunia film sangat dinamis. Sejak tak menjadi pengurus PWI, kantor sekretariat Seksi Film dan Budaya di lantai 4 PPHUI itu jadi sarang hantu, tak pernah diinjak oleh pengurus yang baru.

Saya tak mau mandeg mengikuti organisasi yang tidak peduli, dengan membentuk Forum Pewarta Film (FPF) dan mengajak teman wartawan aktif di PPHUI.

Sejak itu FPF mengadakan kegiatan mulai dari nonton film lawas, buka puasa, diskusi dengan organisasi Parfi yang lagi berseteru dan Pusbangfilm, dan lainnya.

FPF juga ikut membidani Usmar Ismail Awards (UIA) yang pertama tahun 2016. Saya diminta menjadi Ketua Bidang Kehumasan, sekaligus Ketua Bidang Penjurian. Jabatan itu bukan permintaan saya. Rangkap jabatan, pasti gede dong, honornya?

Saya terima tantangan baru untuk menghadirkan performa wartawan di ajang perdana Usmar Ismail Awards. Saya membagi dua kelompok wartawan: Tim Juri dan Tim Sekretariat.

Berhasil mempertemukan wartawan senior, madya dan junior (yang diantaranya bahkan tidak saling mengenal) sebagai juri UIA adalah kepuasan buat saya.

Menghadirkan buku acara UIA 2016 dengan tampilan eksklusif dan berkarakter adalah prestasi bersama Tim Sekretariat UIA.

Sayangnya, nasib Tim wartawan di Sekretariat tidak sebaik Tim wartawan Juri yang sudah dibayar.

Tim Sekretariat UIA harus gigit jari dan penuh keringat karena hingga acara UIA 2016 bubar, tidak ada penghargaan (honor) selama bekerja beberapa bulan.

Atas kejadian itu, saya sebagai penanggungjawab FPF menolak dilibatkan di ajang UIA -- yang diselenggarakan Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) -- tahun berikutnya.

Ternyata sikap penolakan saya itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mau 'cuci tangan' dari persoalan, serta mereka yang berambisi eksist melalui ajang ini.

Bagi saya berteman itu penting, tapi tetap menjaga integritas jauh lebih penting. Saya harus katakan itu karena memang integritas itulah modal saya selama ini. Setidaknya, pada Mei - Juni 2017 saya dipercaya melaksanakan Indonesian Movie Week di Kroasia.

Beberapa wartawan saya ajak meliput IMW, dan ini juga pertama dalam sejarah acara film di luar negeri membawa rombongan wartawan sama banyaknya dengan delegasi film peserta.

Sudah kenyang saya mengurusi tek-tek bengek organisasi dan wartawan film. Sudah tidak kepikiran mengejar jadi ketua rombongan sirkus.

Ketika hari-hari ini muncul manuver lucu dari secuil wartawan untuk "Singkirkan Imam dan FPF dari kegiatan perfilman", saya tertawa geli dalam hati.

Lha, wong saya kenal banget siapa mereka, baik yang senior dan junior, kelakuannya sampai isi perut mereka. Hehehe..

Ada beberapa orang film, mantan wartawan (senior) yang sebal pada saya dan menyebut saya wartawan tengil, sombong, ngawur dan tidak sopan.

Penilaian itu saya dengar langsung, keluar dari segelintir orang nyinyir yang tidak bisa "menekuk" saya.

Rupanya inilah maksud dari ucapan Andrea Hirata, saat kami bertemu di Bumi Laskar Pelangi, Tanjung Pandan, Belitung, Juni 2011. Saya anggap ucapannya itu sebagai doa. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala