Langsung ke konten utama

Berwisata ke Pulau Bokori di Kendari

Satu dari beberapa pulau kecil di kota Kendari, Sulawesi Tenggara menawarkan keindahan. Namanya Pulau Bokori. Pertamakali pada bulan Mei 2016 saya dengar nama itu. Sotoy saya mwnduga, pasti itu nama seorang laki-laki, semisal Bukhori atau sejenisnya, si pemilik pulau yang tenang dikepung laut biru itu.

Ternyata saya salah. Sebutan nama pulau Bokori berasal dari bahasa Suku Bajo -- yang sempat bermukim selama puluhan tahun di sana. Asal katanya "boko" yang artinya penyu. Mungkin, dulunya banyak hewan laut penyu di kawasan seluas 18 hektar tersebut.

Kedatangan saya ke Pulau Bokori tanpa perencanaan. Kunjungan itu cukup mendadak, untuk menghabiskan sisa waktu di hari terakhir menghadiri kegiatan sosialisai "sensor mandiri" oleh Lembaga Sensor Film (LSF) di Kendari.

Saya bersama beberapa staf sekretariat LSF mengatur waktu secara mandiri untuk menikmati spot kawasan wisata terdekat dari Kendari.

Masalah waktu harus kami perhitungkan, agar tidak terlambat naik pesawat dari Bandara Haluoleo ke Jakarta, pukul 15.00 WIB.

Singkat kata, pagi-pagi pukul 08.00 WIB dari tempat hotel kami menginap, sopir mengajak ke Pulau Bokori yang berjarak tempuh sekitar satu jam sampai ke Pantai Nipah.

Dari Pantai Nipah kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Bokori dengan menyewa perahu motor dengan kapasitas angkut 20 orang. Harga sewa untuk sekali berangkat-pulang Rp25.000 per orang. Perjalanan ke Pulau Bokori ditempuh maksimal 1,5 jam dari Kendari.

Hanya perlu setengah jam dari Pantai Nipah ke Pulau Bokori. Sebelum berangkat, sebaiknya siapkan keperluan untuk 'acara' di Pulau Bokori. Hal ini dilakukan oleh tim kami dengan membeli beberapa kilogram ikan sebelum sampai di Pantai Nipah tadi.

Udara sejuk bebas polusi, langit hari itu biru terang berawan. Laut bersih dan biru menentramkam hati. Tempat ini sangat layak menjadi kawasan wisata pantai. Sejak dibuka dan dikelola oleh Pemda tahun 2014 hingga Juni 2016 saat saya berkunjung, masih dilakukan perbaikan infrastruktur di sana.

Saya memanfaatkan waktu nyemplung di pantai yang jernih tembus pandang ke dasar laut. Rasanya ingin berlama-lama di bawah sana, berendam jika tak ada teriakan panggilan untuk segera makan siang.

Panitia sudah siap membakar ikan dan saya harus 'menyelesaikannya secara adat'. Menyantap ikan bakar sambil memandangi laut biru, hmmm. Keindahan mengepung panca indera.

Dengan keterbatasan waktu, saya tidak sempat mengeksplorasi garis pantai sekitar pulau, yang pernah dihuni oleh Suku Bajo, Bugis dan Makassar.

Menurut pemandu wisata kami, Pak Bidu, Pulau Bokori pernah dihuni tiga suku yang terbagi dalam 6 wilayah selama puluhan tahun.

Pulau Bokori relatif kecil, maka ketika jumlah penduduknya terus bertambah, di tahun 1970an pemerintah memindahkan seluruh penduduknya ke seberang pulau.

Seluruh penghuni pulau dipindahkan dengan kompensasi setiap kepala keluarga mendapatkan rumah.

Perkembangan jumlah penduduk di tempat baru, di seberang Pulau Bokori (disebut Bokori daratan) pun meningkat. Saat dipindah jumlah penduduknya hanya dibagi menjadi tiga desa, namun kini jumlahnya beranak-pinak, melebar menjadi 6 desa.

Perpindahan warga membuat Pulau Bokori sepi, dan akhirnya diambilalih oleh Pemda untuk dikelola sebagai kawasan wisata. Saat ini sudah ada beberapa bangunan cottage, lapangan volley pantai, dan spot lainnya.

Salah satu kegiatan di sini adalah Indonesia Open untuk kejuaraan Bola Voli Pantai Seri III, Gubernur Cup tahun 2015.

Bagi pecinta kawasan pantai yang belum berkunjung ke Pulau Bokori sebaiknya mencoba kemewahan alam dan panorama yang ditawarkan di sini. Angin dan pohon kelapa, pantai biru yang jernih membuat mata dan jiwa tergoda menyelaminya..**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala