TIDAK ada yang lebih penting dan menakutkan penduduk Indonesia dibanding tidak punya Kartu Tanda Penduduk. Jamak juga disebut katepe, atau biasa ditulis KTP. Dia, KTP itu wajib dibawa orang dewasa, berdasarkan hitungan usia nasional, bukan secara hormonal.
Orang yang secara hukum agama Islam disebut sudah akil baliqh, sudah ‘mimpi basah’ berkali-kalipun, kalau belum cukup umur kata negara, minimal 17 tahun, nggak bakal dikasih KTP sama petugas kantor kelurahan.
KTP menjadi gaya hidup sekaligus kebutuhan, selain sandang pangan dan papan. Tidak makan, tidak bersandang asal punya KTP masih memungkinkan untuk melanjutkan hidup. Tidak punya papan, kalau pegang KTP tetap bisa berteduh. Lepas dari itu semua, KTP adalah identitas sebuah bangsa. Yang tidak punya, patut dicurigai caranya berbangsa.
Banyak orang yang menilai KTP sebagai simbol nasionalisme. Sehingga yang tidak punya KTP perlu diwaspadai nasionalismenya. Dalam tingkat sosial yang lebih tinggi lagi, tidak punya KTP adalah pelanggaran etika, pelanggaran sosial, sekaligus melanggar hukum. Hukum Indonesia mewajibkan setiap warganya punya identitas.
Dengan KTP semua urusan panjang jadi lebih pendek. Mau pinjam duit, mau kredit motor, mobil, rumah harus pakai KTP. Mau menggadaikan barang pakai KTP. Mau berbisnis, keluar negeri, umroh dan berhaji, kerja, belajar, hingga jalan-jalan juga menggunakan jasa KTP.
Dengan segala kehebatan fungsi KTP itulah, tidak sedikit orang melihat ‘peluang’ dari pengadaan KTP. Dari sikap petugas kelurahan yang belagak males-malesan melayani, tapi ketika disogok dia langsung bisa kerja cepat, membuatkan KTP masyarakat.
Peluang adanya ‘untung’ dari kehadiran KTP, tercium juga sampai ke tingkat pejabat negara, anggota DPR, politisi yang selama ini mengatasnamakan rakyat untuk semua posisi jabatannya itu. Atas nama rakyat pula, KTP dijadikan lahan bisnis yang manis.
Dulu, waktu KTP masih dicetak manual, masyarakat suka mengeluh tetapi cincai saja, ketika petugas keluharan minta uang administrasi, yang besarnya tidak baku, atau istilahnya ‘uang rokok’. Berapa uang rakyat yang bocor ke oknum pelayan masyarakat di kelurahan pada jaman itu, tidak pernah terdata. Tidak ada risetnya.
Di jaman millenium yang menjanjikan kemudahan akses, para pejabat pembuat kebijakan punya pikiran juga untuk mendigitalisasi informasi data kependudukan.
Caranya, dengan membuat KTP-elektronik atau e-KTP, yang bentuknya lebih sederhana dibanding KTP kertas yang dipress lalu dilaminating dulu, tapi fungsinya dobel-dobel. Bisa untuk apa saja, kata peserta tender proyek e-KTP waktu presentasi 'jualannya'.
Sayangnya kebijakan soal e-KTP ini belum matang sudah keburu dipetik. Mungkin kalangan DPR dan menteri terkait urusan eTP ketika itu dikejar deadline, kalau tidak cepat ‘ketuk palu’, bisa-bisa gak kebagian jatah proyek e-KTP nasional.
Pemerintah menggelontorkan uang Rp6 Triliun untuk proyek e-KTP dan hampir separonya, 2,3 Triuliun ‘nyasar’ masuk ke kantong-kantong para bandit berdasi di DPR, dan politisi hitam serta para begundalnya.
Sejak mau mendaftar kuliah sampai kuliah hampir selesai, si Tole belum juga mendapat e-KTP, yang pernah dijanjikan oleh petugas RT di rumahnya. Pak RT mendapat laporan dari bapaknya si Tole, bahwa e-KTP anaknya sudah tiga tahun belum juga jadi.
Dengan bijaksana, pak ketua RT menjanjikan akan mencari informasi ke kantor kelurahan. Karena banyak warganya, selain si Tole yang sudah memproses pembuatan e-KTP, tapi sudah lebih dari tiga tahun belum juga dapat.
Emangnya, e-KTP terbuat dari bahan apa, kok lama banget bikinnya? Atau, mungkin pejabat negara masih terus bersinergi untuk memproses data si Tole? Atau e-KTP si Tole dan warga lainnya nyelip di buku acara di kelurahan?
Waktu pun berlalu seperti kentut bau busuk tersapu angin. Urusan e-KTP hampir dilupakan pak RT, si Tole dan bapaknya. Semetara, KTP si Tole masih dari bahan kertas yang dilaminating. Bagi anak muda seperti Tole, e-KTP itu sama halnya dengan gadget keluaran terbaru. Rasanya seperti ketinggalan jaman, kalau masih pakai KTP press laminating.
KTP sejatinya adalah nafas administrasi negara. Dia akan mewakili negara ketika si pemegang KTP sedang di luar negeri. Dia simbol kedaulatan negara, yang di dalamnya tersemat lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
KTP diamanatkan oleh Undang-undang, yang artinya punya kedudukan tinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, pejabat di DPR berkongsi dengan cukong dan pejabat begundal, dengan sangat biadab tersenyum saat menggarong uang rakyat untuk pembuatan e-KTP nasional. Aparat-aparat itu sungguh keparat.**
11 April 2017
Komentar
Posting Komentar