Langsung ke konten utama

Film Labuan Hati: Saat bercermin pada alam

Bia, Maria dan Indi dalam film Labuan Hati
Tentang tiga perempuan pernah dibuat oleh sutradara Lola Amaria di film Kisah 3 Titik (2013). Kini di film Labuan Hati (2017), tiga perempuan dihadirkan dengan tokoh dan suasana berbeda. 

Bertutur lugas dan kritis, terkadang puitis adalah ciri dialog-dialog dalam film Lola Amaria. Semangatnya sama; menebalkan kesadaran akan kekuatan perempuan...

Panorama alam Labuan Bajo dan Pulau Komodo yang memanjakan mata dijadikan bingkai film, yang menarasikan persoalan klasik kaum perempuan. Bia, Indi dan Maria berusaha melepaskan penatnya kehidupan cinta. Mereka membawa persoalan sendiri-sendiri. 

Sebenarnya drama percintaan cukup generik dalam kebanyakan cerita film, termasuk yang ditulis oleh Titien Wattimena untuk film Labuan Hati. Hanya saja, Lola Amaria sebagai sutradara dan produser berhasil meracik dengan sentuhan berbeda, terutama dalam memanfaatkan pesona alam serta kedalaman laut yang biru.

Eksplorasi kawasan wisata sebagai background, memberi pencerahan. Pengenalan atas hal-hal remeh seperti tabiat hewan komodo betina, pasukan kelelawar yang disiplin datang dan pergi meskipun hidup di alam bebas, bahasa dan adat masyarakat setempat. Bahkan ada pulau yang dimiliki pengusaha asing misalnya adalah panduan awal bagi calon pelancong.

Bagi yang tidak tahu cara darurat menghilangkan rasa sakit akibat sengatan ubur-ubur laut, film ini memberi jawaban; gunakan air kencing manusia. Ini digambarkan saat Bia (Kelly Tandiono) terluka di bagian paha akibat tersengat racun ubur-ubur. Sambil meringis kesakitan, Bia diobati oleh Mahesa (Ramon Y Tungka) seorang tour guide, dengan cara ‘mengencingi’ paha Bia.  

Kisah Labuan Hati diawali ketika Bia dan Indi (Nadine Chandrawinata), berencana menyepi sendiri ke kawasan wisata Labuan Bajo, tanpa ditemani anak dan pasangan mereka. Sedangkan Maria (Ully Triani) petugas tour guide yang juga punya masalah dengan pasangannya. Ketiganya hobi menyelam di laut.

Bia dimanjakan secara ekonomi, punya seorang anak dan suami, hobi membaca buku psikologi kepribadian. Indi pekerja perusahaan cattering bermasalah dengan tunangannya. Mereka pergi ke luar kota untuk refreshing dan mungkin untuk introspeksi diri.

Perkenalan mereka dimediasi oleh kesamaan tujuan wisata, dan secara intens terjadi selama di lokasi wisata. Meski sempat saling bertukar cerita soal pasangan masing-masing untuk mengakrabkan diri, Indi dan Bia harus berselisih tentang satu hal; yaitu perhatian dari Mahesa sebagai satu-satunya laki-laki yang melindungi mereka selama berwisata. Perselisihan cinta ini juga menyeret Maria yang ternyata dicintai oleh Mahesa.

Drama justru terasa di bagian-bagian akhir film yang di awal hingga pertengahan lebih asyik menampilkan panorama alam laut dan pantai. Akan lebih dramatis, jika sejak awal ditampilkan sosok anak dan suami Bia termasuk tunangan Indi yang tidak pernah muncul wajahnya di dalam film.

Bia ditelepon oleh anak dan suaminya, yang merindukannya untuk cepat pulang. Juga saat Indi menerima kabar dari tunangannya di Jakarta, agar dia lekas pulang. Sayangnya, pemilik suara di seberang telepon tidak muncul hingga akhir cerita. 

Pengadeganan yang puitis di film ber-subtitle berbahasa Inggris ini diperlihatkan ketika Maria yang kecewa pada pasangan hidupnya. Dia melepas cincin dari jarinya dan melemparnya ke laut. Serta merta dia ikut terjun ke laut seperti ingin mengambil lagi cincinnya. Namun, Mahesa mengejar Maria di kedalaman laut biru dan memberinya sebuah kecupan panjang.

Pesona air laut yang biru jernih dan terjaga keasliannya menawarkan suasana meditatif. Nyaman untuk rileksasi, menyendiri dan bahkan melabuhkan fikiran serta persoalan. Dan, para perempuan mandiri di film ini tetap berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan usai bercengkrama dengan alam. Apakah setelah itu persoalan selesai? **


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala