Langsung ke konten utama

10 Tahun Setelah Chrisye Pergi

Menghidupkan kembali Chrisye

Penyanyi Chrisye wafat pada 30 Maret 2007 silam, namun tidak pernah benar-benar pergi.

Setidaknya hal itu yang dirasakan oleh para penggemarnya.

Bahkan, seorang penggemarnya tetap setia 'menemani' setelah 10 tahun kepergian sang idola...

Penggemar itu mengistimewakannya dengan membuatkan memorabilia, sebuah buku tentangnya. Ini adalah kali kedua bagi Ferry Mursyidan Baldan, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional pada kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo membuatkan buku untuk Chrisye.

Yup, penggemar fanatik penyanyi Chrisye tak lain adalah Ferry Mursyidan Baldan. Gagasannya untuk membuat buku Chrisye mendapat repons dari wartawan senior, Nini Sunny. Kemudian mereka bekerjasama merealisasikan gagasan tersebut.

Sebagai buku bacaan populer yang merangkum hampir seluruh artikel dan foto-foto yang pernah dimuat di berbagai media cetak di Indonesia, 10 Tahun Setelah Chrisye Pergi, Ekspresi Kangen Penggemar bukan sekadar klipping berita tentang penyanyi Chrisye.

Buku ini didedikasikan sebagai upaya melestarikan karya dan nama seniman Indonesia, yang berpengaruh di industri musik.

Kehadirannya memperkaya khasanah kepustakaan yang menarasikan sosok seniman pop. Inilah ensiklopedi baru musik Indonesia.

Dalam konteks dunia pers, buku tebal berisi kumpulan tulisan, foto, dan komentar para wartawan ini bahkan mungkin belum sempat terfikir untuk dibuat oleh organisasi wartawan. So, buku ini sekaligus hadiah bagi para wartawan peliput bidang hiburan musik, film dan budaya.  

Seperti ditulis oleh Produser Eksekutif (begitu ditulis dalam buku) untuk menyebut ‘jabatan’ Ferry Mursyidan Baldan pada pengantar. Buku dengan tebal 345 halaman ini merupakan ‘penyempurnaan’ dari buku pertama berjudul Chrisye, Kesan di Mata Media, Sahabat, dan Fans (2012- percetakan Mediakita).

Sebagai kompensasi dari penyempurna buku pertama, penampilan fisik dan isi buku jadi lebih padat, sibuk dan dinamis namun tetap fokus menggali hal-hal terkait dengan jejak-langkah Chrisye di panggung musik hingga peristirahatan terakhirnya.

Desain ala majalah pada setiap halaman buku ini meringankan mata untuk menyimaknya. Terutama penampilan foto-foto istimewa Chrisye, diantaranya belum pernah dipublikasikan oleh media massa.

Foto-foto ekslusif ini dikumpulkan bersamaan dengan materi terbaru buku, berupa artikel di media online yang menulis kabar berbagai konser dan event yang menggunakan nama “Chrisye”.

Sejatinya nama Chrisye telah dipatenkan oleh keluarga. Hal ini ditulis oleh Damayanti, istri almarhum penyanyi kelahiran Jakarta 16 September 1949 silam.

“Usai Chrisye wafat, seorang teman yang bekerja sebagai konsultan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), mengusulkan untuk mematenkan nama Chrisye sekaligus mendaftarkan seluruh karya-karyanya. Sebagai istri almarhum, saya ikuti saran itu, kemudian mengumumkan bahwa nama dan image Chrisye adalah milik keluarga yang kita patenskan. Jadi secara hukum kita kuat."

Nama Chrisye memang memiliki magnet bagi dunia entertainment, yang hingga sepuluh tahun kepergian penembang lagu Lilin Lilin Kecil, beberapa pihak menggelar berbagai konser ‘tribute to Chrisye’.

Kabar teranyar ada rencana sebuah rumah produksi untuk membuat film tentang perjalanan hidup Chrisye, yang diperanutamakan aktor Vino G Bastian.

Sebagai seniman, penyanyi yang memiliki nama asli Chrismansyah Rahadi pernah berdekatan dengan dunia film. Setidaknya dia berperan di dua film, yaitu Seindah Rembulan (1989) bersama penyanyi Iis Sugianto, dan menjadi bintang tamu di film Gita Cinta dari SMA (1979) bersama Rano Karno.

Sedikit masa kecil Chrisye juga terungkap dalam artikel media, serta tulisan tangan asli Chrisye ketika mengisi biodata untuk kebutuhan wawancara di sebuah tabloid hiburan. 

Masa kecil Chrisye cukup bahagia dengan kenakalannya, meski dia sempat mendapat perlakuan rasis di masa itu. Ditimpuk dan ‘dibully’ karena darah Cina yang mengalir di tubuhnya tidak membuat si pemalu ini mengurangi kenakalannya. 

Chrisye lahir dari orangtua keturunan Cina, yaitu ayahnya Laurens Rahadi adalah keturunan Betawi – Cina, sedangkan ibunya Hanna Rahadi berdarah Sunda-Cina.

Ketika mulai beranjak remaja dan senang bermusik, dia bergabung dengan grup musik Guruh Gipsy (1977) milik Guruh Soekarnoputra. Hingga akhir hayatnya, Chrisye memiliki puluhan karya rekaman terdiri dari 29 Album, 30 Kompilasi, 2 single (Lilin Lilin Kecil/ 1977), dan Kemesraan (Iwan Fals & Rafika Duri/ 1988). 

Seluruh karya Chrisye itulah yang kini menjadi warisan bagi keluarga, dan juga masyarakat Indonesia, dan terutama meresap di hati para penggemarnya. Sosok idola yang menebarkan spirit di tiap lirik lagunya harus tetap dijaga kelestariannya.

Kehadiran buku ini seperti menghidupkan kembali Chrisye, tanpa harus mengkultuskannya. Chrisye wafat pada usia 58 tahun akibat sakit kanker paru-paru.**

Judul: 10 Tahun Setelah Chrisye Pergi, Ekspresi Kangen Penggemar
Produser Eksekutif: Ferry Mursyidan Baldan
Manager Produksi: Nini Sunny
Penerbit:  Bhuana Ilmu Populer | Kompas Gramedia Bid
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Harga: Rp175.000,-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala