Langsung ke konten utama

Perempuan yang selalu tersenyum di kereta - Cerpen

KALAU tidak ada teman diajak bicara di kereta, aku lebih suka membuka handphone. Semua ada di alat komunikasi mutakhir bernama telepon pintar atau smartphone itu. Semua orang rasanya punya dan selalu membawanya. Malam saat penumpang didera lelah dan kantuk, mereka punya alasan untuk terlihat sibuk dengan telepon selularnya masing-masing.

Sebagian dari penumpang ada yang berusaha menyembunyikan letihnya, dengan menampilkan wajah merona dan tersenyum. Tapi senyum itu bukan untukku, melainkan untuk telepon di genggamannya.

Mungkin dia mengajak ngobrol pacarnya, teman dekat, suami, istri, anak atau siapapun di telepon itu. Mana kutahu?
 
Tidak sedikit penumpang yang memaksakan diri supaya terlihat manis dan ganteng. Padahal dari tadi kulihat mereka menguap berkali-kali. Ada juga yang senyumnya manis dan asli. Jika ada yang seperti itu, mata jadi malas terpejam.

Malam itu kereta listrik yang kutumpangi siap berangkat dari stasiun Manggarai ke Bekasi. Di saat melangkah masuk ke kereta tadi, sempat kulirik jam besar di peron stasiun menunjukkan jam 10.00 WIB. Gerbong malam ini tidak terlalu padat penumpang. Sehingga sangat mudah orang bergerak berpindah tempat.

Kucari sudut terbaik untuk bersandar sambil pegangan. Di sudut kursi dekat pintu kereta. Persis di sebelahku berdiri, ada wanita dan pria muda yang asik mengobrol. Obrolan mereka tidak terlalu jelas. Kuperhatikan wajah keduanya. Semoga mereka tidak tahu kalau aku perhatikan. Ah, ge-er-nya aku. Terlalu postive thinking. Mungkin bahkan mereka tidak mempedulikan aku. Bisa saja, kan? 

Seperti ada masalah penting yang belum selesai dari keduanya di stasiun tadi, sehingga obrolan dilanjutkan di dalam kereta. Mau tak mau, aku terseret ikut mendengar percakapan mereka. Tidak terlalu sempurna suara mereka ke kupingku. 

Deru suara roda di atas rel dan kipas angin keretalah yang mengaburkan suara percakapan mereka. Kutebak-tebak, keduanya lagi tegang. Mereka berselisih paham, entah apa penyebabnya. Mari kita cari tahu nanti.

Si wanita tersenyum saja sepanjang obrolan itu. Sementara si pria lebih ekspresif. Dia menggerakkan tangan layaknya seorang orator berpidato. Air mukanya menahan marah serta menekan suara agar tak terdengar penumpang lain. Dipikirnya aku tidak mendengar percakapan mereka? Kulihat sekali lagi, otot di lehernya membesar setiap dia berbicara.

“Jadi kamu maunya begitu ya? Aku tidak bisa kasih penjelasan lagi..” kata si pria. 

Dia berdiri diatas kedua kakinya. Tangannya tidak berpegangan di tiang atau tuas tempat bergantung tangan penumpang. Kereta listrik ini punya teknologi peredam getar dan goncangan. Itu sebabnya penumpang bisa berdiri ajeg tanpa pegangan. Kalau pun kereta berguncang tidak terlalu berarti.

“Tidak seperti itu. Bukan itu maksudku..” kata si wanita. Tatapan matanya pada si pria menjelaskan dia minta permakluman. Tetapi, wajah dan bibir si wanita terus saja tersenyum. Ini jelas-jelas sebuah drama yang dibuat-buat pikirku.

“Ya, maksudnya bagaimana? Tadi aku sudah bilang, kan?” lanjut si pria yang badannya lebih pendek beberapa senti dari si wanita. Tangan si pria bergerak-gerak untuk menunjukkan dirinya menguasai obrolan dibanding si perempuan yang devensif.

“Kamu memang sudah ngejelasin tadi, tapi bukan itu yang aku..” jawab si wanita berkulit cokelat itu. Ujung kalimatnya menghilang dari telingaku, tertimpa suara masinis kereta di pengeras suara: 

“SESAAT LAGI KERETA ANDA AKAN TIBA DI STASIUN JATINEGARA, PERSIAPKAN BARANG DAN TIKET ANDA JANGAN SAMPAI TERTINGGAL DI RANGKAIAN KERETA,” seru pengeras suara.

Pengeras suara berganti suara seorang wanita: “MOHON PERHATIAN, PINTU KERETA AKAN SEGERA DIBUKA. HATI-HATILAH DALAM MELANGKAH.”

Terdengar lagi percakapan wanita dan pria di sebelahku. Aku berusaha untuk lebih tahu, apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya, aku tidak mau nguping percakapan yang bukan urusanku. Aku bukan laki-laki penggosip. Tapi situasi di kereta ini memaksaku bertindak seperti detektif swasta.

“Kalau saja kamu tadi bilang setuju, seharusnya katakan saja. Bukan ke aku, tapi ke mereka,” kata si wanita. Orkestrasi antara suara, senyum di bibirnya tak seirama makna di balik sorot matanya.

Sesekali aku melepas pandangan jauh ke penumpang lain, kemudian mendaratkan pandangan ke mata si wanita. Eh, bukannya aku mau iseng cari perhatian dari si wanita, tapi sakadar mengorek lebih jauh apa yang ada di dalam perasaanya. Bukankah mata jendela jiwa?

Dasar apes! Tatapan mataku bertubrukan dengan mata si wanita. Aku tertangkap basah. 

Situasi ini membuatku kikuk. Rasanya seperti orang tidur dan tersiram segelas air es. Semampuku mengatasi situasi ini dengan membelokkan arah pandangan. Kalau si wanita tersinggung kemudian bertanya, ‘Apa lu liat-liat?’, aku sudah siap menjelaskannya. Bahwa arah mataku bukan hanya untuk dia tapi untuk penumpang lain.

Kupikir wanita itu terganggu dengan ulahku, ternyata dia acuh. Dia terus bicara dengan si pria. Kali ini, suaranya lebih halus, nyaris tak terdengar. Seperti berbisik. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga si pria.

“Ssts. Jdara, darsiegahd, jsaa brisksh..” seru si wanita. Terdengar seperti suara penyiar radio yang singnalnya buruk. Aku berusaha menambah frekuensi daya dengar dengan memejamkan mata sambil menunduk. Konsentrasi fokus ke suara wanita itu.

Sialan! Aku kehilangan momentum. Karena yang diucapkan si wanita tidak terdengar, dihajar suara masinis lewat pengeras suara yang mengacaukan semuanya.

“SESAAT LAGI KERETA ANDA AKAN TIBA DI STASIUN KLENDER, PERSIAPKAN BARANG DAN TIKET ANDA JANGAN SAMPAI TERTINGGAL DI RANGKAIAN KERETA,” serunya. 

Dilanjutkan suara wanita: “MOHON PERHATIAN, PINTU KERETA AKAN SEGERA DIBUKA. HATI-HATILAH DALAM MELANGKAH.”

Aku masih konsentrasi menangkap dengan jernih suara percakapan wanita dan pria tadi. Benar-benar tak berdaya aku menangkap suara mereka. Adrenalinku meninggi ketika tiba-tiba si pria bergerak menepis dari bisikan wanita itu. Kaki si pria bergerak selangkah menjauhi wanita yang tersenyum itu.

“Sudahlah, aku tida mau seperti ini terus. Karena itu kan kemauanmu..” kata si pria, sebelum bergeser dari posisinya tadi. Dia ingin menunjukkan bahwa dia juara perdebatan itu. Gaya hindarnya dari si wanita itu hanya sekian detik. Kemudian dia merapat kembali ke sisi wanita itu.

Melihat sikap pria tersebut, si wanita lebih melebarkan senyumannya. Gigi putih yang rapih sampai terlihat sebentar. Tetapi matanya tidak bisa berbohong. Dia dalam situasi tertekan. 

“Yang bisa kamu lakukan adalah datang ke orangtuaku. Mereka selama ini menunggumu, sayang..” katanya datar dan pelan.

Baru aku paham kalau keduanya punya hubungan istimewa. Entah itu pacar atau suami-istri. Tetapi kuragukan analisaku sendiri. Karena sejak naik kereta ini, keduanya tidak saling berpegangan tangan. Atau minimal bersentuhan. Setidaknya si wanita harusnya berpegangan pada pinggang atau lengan si pria.

“Oke, kalau begtitu. Aku bisa lakukan yang kamu mau. Sekarang deal, ya?” kata si pria. Tangannya disodorkan ke arah si wanita. 

Dia mengajak wanita itu untuk menjabat tangannya. Dan si wanita menyambut uluran tangan si pria. Keduanya berjabatan tangan.

Aku tersenyum dan bergumam dalam hati, drama ini tidak akan seperti yang kubayangkan. Kupikir si pria akan menghindar beberapa langkah dan tidak akan berbicara lagi dengan si wanita. Ternyata si pria masih sayang pada wanita yang selalu tersenyum itu.

Suara informasi dari pengeras suara memecahkan suasana. Kali ini kereta akan memasuki stasiun Cakung. Obrolan keduanya menjadi lebih intens dan tidak terdengar. Hanya gerak-gerik si pria tetap ekspresif.

Tetapi lho, si pria mendadak pergi meninggalkan si wanita. Dia menjauh hingga terpaut lebih tiga meter dari si wanita. Wajah si pria bersungut-sungut membuang muka, sambil kedua tangannya berpegangan pada tuas di atas kepalanya.

Ada rasa syukur diam-diam di hatiku melihat drama ini berlanjut. Rasa kantuk dan bosanku hilang melihat kejadian ini. Terlebih, ketika itu si wanita tetap diam di tempatnya, tidak mengejar si pria sok ganteng itu. Wanita itu berdiri di sampingku. Wajahnya tetap tersenyum, namun kemudian kepalanya menunduk.

Apakah wanita ini menangis? Kucari celah untuk melihat sudut matanya. Tetapi dia tertunduk. Ketika dia mendongakkan kepalanya, wajahnya tetap tersenyum. Dia tidak menangis.

Belum sempat aku perpanjang lamunanku tentang wanita itu, tiba-tiba si pria yang berjarak tiga meter itu merangsek mendekati si wanita. Kali ini, si pria bersuara dengan nada keras dan tegas. Tangannya menggapai lengan wanita itu.

“Bagaimana, deal ya? Dan ini yang terakhir. Kita benar-benar harus selesaikan ini. Oke?,” katanya.

Sekarang bukan aku saja yang mendengar dan memperhatikan keduanya. Penumpang lain ikut mendengar. Beberapa diantara mereka mengarahkan pandangan ke dua orang itu. Mereka melihat sekilas, kemudian tenggelam lagi dengan urusan masing-masing.

Penumpang yang lainnya tidak benar-benar tahu jalan cerita kedua pasangan itu. Para penumpang menganggap obrolan kedua orang itu adalah hal biasa saja. Buatku justru sangat menarik.

Informasi dari masinis terdengar lagi. Kereta akan sampai di stasiun Kranji. Kulihat wanita dan pria yang berdiri di sebelahku itu bersiap turun dari kereta. Si pria menggamit erat tangan si wanita yang tetap tersenyum itu. Mereka turun bergandengan menyusuri peron.

Beberapa detik kemudian terdengar dari pengeras suara: “MOHON PERHATIAN, PINTU KERETA AKAN SEGERA DITUTUP.”

Kereta melanjutkan perjalanan menuju stasiun terakhir kota Bekasi. Dari balik kaca jendela kulihat keduanya sampai tak terlihat lagi. Rangkaian panjang kereta belum sempat meninggalkan stasiun Kranji ketika tiba-tiba ramai suara penumpang di gerbong belakang.

Sebelumnya terdengar jeritan diantara para penumpang. Mereka berteriak “Ada  orang menabrakkan diri ke kereta ini..!!

Mendengar itu, aku terkesiap dan berharap kejadian itu bukan bagian drama sepasang pria dan wanita yang baru turun tadi. Kereta melaju hingga stasiun Bekasi. 

Sampai di rumah kulihat televisi memberitakan tewasnya wanita dan pria setelah menabrakkan diri ke kereta api yang melaju di stasiun Kranji. Dari sisa pakaian yang terkoyak, aku mengenali siapa pemiliknya. Drama itu sangat tragis.**

Bekasi 9 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala