Langsung ke konten utama

Kenyataan itu aku - Cerpen

Setelah menerima email dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Zagreb, Kroasia sebulan yang lalu, semalam dia ditelepon oleh seorang petugas KBRI Beograd, ibukota Serbia.

Sang petugas memperkenalkan diri melalui pesan Whatsapp, yang diakhiri minta izin menelepon.

Ini seperti sebuah canda tetapi serius. Kenyataan kadang unik, dan terkadang menggetarkan.

Dia tercenung setelah si penelopon mengucapkan salam dan terimakasih. Malam di Indonesia jam 23.00 WIB sedangkan di Beograd lebih lambat 6 jam.

Dia bertanya-tanya dalam hati, dan memorinya melompat ke masa lalu. Apakah dia dipermainkan oleh harapan manis ataukah kenyataan?
***
Siapa pun tidak mengira jika anak laki-laki yatim yang nakal di masa kecilnya itu sering menyendiri. Bukan karena dia ingin, tapi situasi yang membuatnya begitu.

Sampai pada suatu hari, saat dia menyendiri, jiwanya tergerak untuk melompat keluar dari jendela kamar di lantai atas rumah pakdenya.

Bukan, bukan ingin bunuh diri, tapi dalam tangisan diam-diam yang entah keberapa kali dan kepada siapa harus diadukan itu, dia merasa jiwanya harus berada di awan yang berarak di luar jendela sana. Siapa tahu di atas awan dia bertemu sesuatu, yang akan menerima keluhannya. .

Tetapi niat itu urung dilakukannya. Pikiran warasnya ternyata masih lebih kuat dari imajinasi liarnya, yang seringkali muncul tiba-tiba.

Dunia yang sedemikian ramai di telinga dan matanya, berbeda dengan yang diterima oleh indera perasanya. Keramaian itu menjadi tidak berguna, jika situasi kacau dan benar-benar membuatnya ingin terbang seperti burung; menangkap angan-angan dan rindunya pada ayah, ibu dan nenek.

Dia terbiasa mandiri mengelola keperluan diri, menata perilaku dan bersiasat demi memperhankan jiwa dari berbagai kemungkinan. Dia juga menyadari keterbatasannya adalah tidak punya orangtua laki-laki seperti teman-temannya, yang membela jika berhadapan dengan musuh. Atau membelainya jika dia kalah. Dia sudah belajar memahami kehidupan; bergerak maju atau tersingkir.

Sejak usianya belum genap setahun, sang ayah pergi mendahului kembali ke haribaan Tuhan. Ibunya sendiri sibuk mengurus dua kakaknya yang juga masih kecil-kecil di tahun 1969. Dan, sejak menikah lagi, ibunya memiliki tiga anak lagi menjadi adik-adiknya.

Tidak mudah menjadi anak yatim. Jalan ke depan seperti belantara hitam yang harus diterabas. Jiwa dan fikirannya menjadi terbiasa menghadapi banyak jenis dan karakter manusia.

Sejak kelas 2 SD dia nekad pergi keluar rumah, karena tidak betah tinggal bersama lima saudara dan terutama dengan ibu kandungnya sendiri. Dengan berbekal baju yang dipakainya dia menetap di rumah pakdenya hingga kelas empat SD. 

Kepergiannya itu mungkin diketahui sang ibu, yang memantaunya dari kejauahan. Selama masih tinggal di rumah famili, maka dibiarkan anaknya di sana. Alasan kepergiannya ketika itu hanya ingin mendapat pelukan dan kasih sayang dari sang nenek, yang merawatnya sejak bayi.

Sejak masuk SD dia dikembalikan ke ibunya sebelum akhirnya kembali ke pangkuan sang nenek saat duduk di kelas 4 SD sampai lulus sekolah.


Nakal dan tanggungjawab
 
Lingkungan dan alam mendidiknya sedemikian rupa, keras dan penuh pengertian, seperti sang nenek yang bertalar pendidikan jaman Belanda dan pernah menjadi tentara.Hal itu baik untuk mengerti soal kedisiplinan. Tetapi tak jarang dia terkena sabetan ikat pinggang, gagang sapu, atau lecutan sapu lidi jika melakukan kesalahan.

Anehnya, tidak pernah dia menangis dengan kekerasan tersebut, meskipun juga tidak tertawa-tawa. Dia hanya menahan rasa sakit. Justru air matanya mudah meleleh jika sang nenek berbicara pelan dan halus ketika menasihatinya.

Ya, pukulan dan sabetan tangan atau gagang sapu bukan sesuatu yang menakutkannya. Peralatan rumahtangga itu sudah menjelma permainan ketangkasan di matanya. Sehingga saat berhadapan dengan situasi itu, semuanya dilalui tanpa beban. 

Mungkin saja dia mengandalkan egonya sebagai laki-laki, yang selalu dibenamkan keyakinan bahwa laki-laki tak boleh cepat menangis. Tidak boleh cengeng. Begitu sang nenek kerap memberi nasihat.

Kenakalannya sebagai anak laki-laki luar biasa menurut ukuran nenek. Dia hadapi hidup bebas tanpa beban, ringan seperti kapas. Dia berbahagia di pelukan sang nenek. Dia paham betapa pentingnya belajar hanya untuk menyenangkan hati nenek. Nenek baginya adalah ‘ibu’, sedangkan ibu dianggap seperti sodara lainnya, tante atau buklik dalam versi yang berbeda.

Karena nakalnya dia, kelopak sebelah matanya sempat terkelupas oleh ujung ranting kering, yang melesak saat dia mengejar ayam jantan milik tetangga yang ingin diadunya. Ada perasaan suka dia menyaksikan pertarungan hewan ternak itu.

Naik ke atas torn air setinggi gedung kampus mahasiswa UI Daksinapati dilakukannya dengan mengajak beberapa temannya. Dia melanglang Jakarta -- dengan melompat dari satu mobil bak ke mobil bak lainnya, dari satu bis ke bis kota lainnya – setiap pulang sekolah di SD Utankayu.

Tidak takut hilang atau nyasar, jatuh atau terluka. Hanya saja dia galau ketika membayangkan wajah marah sang nenek jika dia pulang. Tapi, dia siap dengan segala risiko. Setidaknya, hukuman pukulan dan sabetan nenek hanya dirasakannya sebagai permainan belaka.

Sampai suatu hari, sang nenek tidak lagi menghukumnya dengan kekerasan fisik. Sore saat pulang sekolah, sang nenek menemukan di kantong baju seragam sekolah serpihan tembakau rokok. Warna cokelat di ujung kantong baju menunjukkan itu. Dia tak berkutik dan siap menerima hukuman akibat merokok.

Hukuman dari sang nenek ditunggunya, namun tak kunjung datang. Nenek hanya memberi sebuah nasihat, yang terdengar halus namun melesak ke dalam hatinya. Air matanya meleleh, dan meminta maaf.

Pernah suatu ketika dia terjatuh di saat menggapai daun pohon jambu di halaman rumah seorang pakde. Ketika itu dia masih di TK. Kepalanya membentur besi sambungan kereta api yang dijadikan tempat duduk. Dia pingsan, dan ketika siuman sudah ada jahitan di jidatnya. Luka itu membekas.

Sebelum sekolah dia menjadi bulan-bulanan temannya, disuruh menggaruki pinggiran luka (koreng), mendorong rangka kereta, minum air kencing temannya, dan lain-lain. Neneknya tidak punya rumah tetap, dan mengontrak dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Jakarta.  

Waktu berputar cepat. Dia sudah dewasa dan cukup memiliki rasa percaya diri. Keyakinannya diasah sejak kecil melalui ceramah radio setiap pagi, yang didengarnya saat pakde yang seorang polisi itu  mau berangkat dinas. Saat remaja, dia aktif di masjid sebagai pengurus organisasi remaja masjid.


Pesantren jalanan


Pada dasarnya dia seorang pendengar yang baik dan senang berorganisasi, sehingga sempat didatangi oleh guru-guru yang nyaris membaiatnya dalam komunitas pengajian ekslusif.

Instingnya tajam agar meneruskan belajar agama. Pendidikan akidah dan sedikit sejarah diterimanya dari anggota jamaah yang menjaganya. Dia memahami berbagai aliran agama Islam lewat komunitas pengajiannya. Suatu saat ia melepaskan diri dari komunitas pengajian yang memberinya pemahaman 'keras’. Jika saat itu dia terus mengaji pada kelompok ini, sangat mungkin hari ini dia jadi  teroris.

Semangat yang dibawa dari 'pesantren jalanan' itu ada baiknya, meski akhirnya dia menyesuaikan diri saat mulai memasuki dunia kerja. Dia tertarik dengan bidang tulis menulis. Pesan sang nenek selalu terngiang dan dihayatinya; cintai pekerjaanmu apa pun itu, pasti ada hasilnya. 

Suatu hari ketika diajak melamar kerja oleh tetangganya yang PNS dia menolak dengan diplomatis. Tetangganya itu janda dan punya dua anak perempuan remaja. Saat itu dia sebenarnya sudah dijamin diterima kerja di sebuah departemen, atas katebelece tetangganya tadi.

Meskipun tawaran itu menarik, dalam hatinya dia khawatir jika tetangganya akan menjadikannya calon suami untuk salah satu anaknya. Sehingga, ajakan bekerja di departemen milik pemerintahan Soeharto tersebut ditolaknya.

Penolakannya ditanggapi tetangganya dengan menyebarkan ‘berita’ dia menganut Islam garis keras. Memang, pernah suatu hari dalam obrolan, dia menyebut menghormat bendera dilarang oleh ajaran Islam yang dia anut ketika itu. Tetapi, soal menghormat bendera itu -- di kemudian hari dia paham hal itu tidak menyalahi akidah -- bukan alasan. Sebab dia hanya ingin ‘merdeka’ dalam bekerja.

Akhirnya dia masuk ke dunia kerja yang tidak pernah dibayangkannya. Dia secara otodidak belajar menulis di media yang memberikannya kesempatan untuk itu. Dia menulis dan mengedit berita, artikel opini, hingga dipercaya menyelesaikan dua halaman Hiburan selama beberapa tahun. Sebelumnya dia ditugaskan menjadi korektor kemudian petugas sekretariat di sebuah koran sore.

Kemampuan dan semangatnya dicemburui awak redaksi. Suasana menjadi konyol, ketika ada upaya menjatuhkan kredibiltasnya. Dia dan redakturnya bereaksi menolak penugasan dari Pimred, yang tidak didasarkan alasan kuat. 
Pada titik puncaknya, dia dan sang redaktur dibuang, halaman tempat dia menulis berita dihapus. Tidak ada lagi ruang untuk menulis. Dia tidak kecil hati atau berdiam diri, meskipun termasuk orang yang jarang bicara. Dia melakukan perlawanan sikap.

Di tengah kekalutan suasana di kantor, dia harus memikirkan nasib kedua anak dan istrinya. Maka dia lanjutkan bekerja tetapi bukan di media tempatnya belajar dari nol. Pihak manajemen kantor pun tidak bisa melarangnya untuk melakukan aktivitas diluar kantor.


Menikmati proses
 
Tulisan-tuliannya untuk sementara dia kirimkan ke sejumlah media, demi menunjukkan dirinya mampu dan diterima oleh pihak luar. Dia ingin menunjukkan betapa rugi kantor yang menyia-nyiakan kemampuan dirinya.

Sebagai pekerja, sebenarnya dia mentaati aturan hingga tercatat sebagai wartawan berprestasi dengan menerima bonus insentif setiap bulannya. Kredonya: Bekerja bukan untuk kantor, melainkan untuk diri sendiri, keluarga dan terutama untuk tujuan beribadah. Jadi, bekerja harus maksimal.

Etos kerja yang dilandasi kredo itu yang melapangkan jalan, diterima oleh banyak teman, tetapi juga disegani oleh lawan-lawan. Saat masih menjadi wartawan di koran sore, dia bisa bekerja di perusahaan media milik Velvet Media, yang salah satu media terbitannya adalah majalah Playboy. Hanya bertahan setahun sebelum grup itu bubar karena pemiliknya meninggal dunia.

Organisasi kewartawanan tertua di negeri ini pun memintanya mengurusi sekretariat bidang film dan kebudayaan. Menjadi ketua organisasi wartawan merupakan prestasi sekaligus pengalaman baru. Hal ini disyukuri meskipun menjadi beban, karena di saat yang sama dia tidak punya ruang untuk menulis secara rutin.

Satu-satunya jalan adalah menerbitkan sendiri media. Itu tidak mudah. Dia memulainya dengan berdarah-darah sejak tahun 2009, dan menjadi media online sejak 2014 hingga sekarang.

Pelajaran mengelola dan mengorganisir situasi yang didapat saat kecil mulai dirasakan manfaatnya. Dia meraih prestasi bagi diri sendiri ketika menerima undangan meliput acara film di Cannes, Italia. Itu diterimanya saat wartawan di bidang yang sama seangkatannya hanya mampu berkhayal sampai ke sana. 

Dia kembali diundang menghadiri acara perfilman di negara Hongkong, kemudian ke Los Angeles di Amerika. Perjalanan ke negeri Paman Sam ini tak dilewatkannya untuk mampir ke jantung hiburan dunia, Hollywood. Semua itu diraih dengan paspor sebagai wartawan media yang dikelolanya sendiri. Jika masih di koran sore itu, belum tentu dia sampai di titik ini.


***
Sebulan lalu, undangan dari KBRI di Zagreb, ibukota Kroasia masuk ke emailnya. Undangan meliput acara pada bulan Ramadhan, pertengahan Mei nanti. Ini akan jadi pengalaman baru baginya masuk ke negara eks Yugoslavia yang terpecah akibat perang itu.

Yang lebih membuatnya terkejut, malam ini ditelepon oleh petugas di KBRI Beograd, ibukota Serbia yang berdekatan dengan Zagreb. Petugas itu memperkenalkan diri, dan mengaku mendapat nomor telepon dia dari petugas KBRI di Zagreb.

Inti percakapan itu adalah meminta bantuannya untuk persiapan kegiatan kebudayaan, yang akan digelar oleh KBRI di Beograd. Pihak KBRI ini dipertemukan dengan otoritas perfilman di Indonesia.


Kembali dia memandang sederetan kalimat pesan di android miliknya. Ini nyata, dan sangat unik. Dia tidak mengira sampai mendapat kepercayaan dari perwakilan pemerintah di luar negeri, sejauh ini. Dia adalah anak kecil yatim yang nakal dan pelamun tingkat tinggi. Dia kembali teringat petuah sang nenek. Dia adalah aku. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala