Patung-patung di Jakarta punya cerita. Meski mereka berbeda wilayah kekuasan, sebenarnya masih bersaudara. Etnis dan tulang-darah mereka sama; terbuat dari perunggu, besi dan tembaga. Partikel jenis logam ini yang menjadikan patung di Jakarta mampu berdiri hingga ratusan tahun, sejak kolonial Belanda menguasai Batavia.
Lelaki kusam dan rokoknya itu sudah kembali di tempatnya. Setiap hari sejak di PHK enam bulan lalu, dia berada di tempat itu, dengan tingkah yang sama.
Dia menatap langit. Kakinya berdiri di bawah patung Tugu Pancoran. Sore itu hujan turun dan jalanan macet total akibat semua kendaraan mau lewat pada jam yang sama.
Dia menatap langit. Kakinya berdiri di bawah patung Tugu Pancoran. Sore itu hujan turun dan jalanan macet total akibat semua kendaraan mau lewat pada jam yang sama.
Musim hujan di bulan April 2017 disertai badai. Ruas jalan di Jakarta menjadi lahan parkir kendaraan dan manusia. Lelaki itu terus menengadahkan kepalanya ke langit. Dia mencari-cari wajah patung yang diajaknya berbicara.
Apapun yang terjadi dengan Jakarta, rapat malam ini harus kita tuntaskan. Ini sudah final. Tidak bisa menunggu persetujuan dewan patung, apalagi berharap kerabatmu datang kesini. Ini sudah sangat genting.
Bibir lelaki lusuh itu sedikit terbuka, terganjal rokok yang diisapnya. Sesekali, kepulan asap menyembur keluar dari celah bibirnya. Lelaki itu terus menengadahkan wajah.
Ini kedatanganku yang entah sudah berapa kali ke sini. Kita sudah ngobrol banyak tentang cara mengatur kota ini. Tapi, bisa-bisanya kau tega begitu terus. Berbicara denganku tanpa mau melihatku. Bahkan sekadar menengokku pun tidak kau lakukan. Itu tidak sopan, kawan.
Heh, kau lagi galau dan kini curhat padaku? Bukankah kau sama dengan kebanyakan orang di sini, yang juga tidak pernah bicara dengan cara, yang menurutmu sopan? Mereka berbicara tapi tidak saling menatap wajah lawan bicara. Bukan cuma di saat ngomong, waktu berpapasan, di meja makan, dan bekerja pun mereka terbiasa saling membuang muka. Kau ini, seperti orang baru saja.
Ya, tetapi mereka kan, sibuk. Kau tidak?
Apa kau pikir dan kau lihat aku tidak sibuk? Alasan warga kota ini sibuk dan tidak mau saling menatap wajah ketika bicara, itu hanya cari-cari pembenaran. Toh, sama saja ketika mereka tidak kerja, off, atau nganggur, mereka tetap asik sendiri-sendiri. Sering kulihat di sebuah keluarga, semua berbicara, tapi tidak saling menatap wajah. Ayah, ibu, anak, pembantu sama saja. Mereka seperti mesin, robot, bahkan hampir menyerupai kelakuanku. Alasan mereka begitu, karena bicara dengan handphone memancing adrenalin. Banyak fitur dan aplikasi di telepon pintar, yang menarik ketimbang ngobrol dengan manusia, yang hambar tanpa emosi. Bikin capek.
Itulah makanya, aku selama ini tidak berhasrat menatap langsung wajah warga kota ini. Mereka sudah dihinggapi penyakit egoisme yang kronis, mau menang sendiri, arogan, sok jago, mau diperhatikan tapi tidak peduli, mau dikomentari dan dikasih like saat posting status di media sosial. Sakit jiwa.
Yang jelas, keberatanmu soal sikapku tadi, aku pikir juga sudah keterlaluan, bung. Sebagai kawan, kau ternyata belum tahu karakter dan asal-usulku. Kau tahu tidak, bung, sejak lahir aku sudah berdiri cacat, leherku tidak bisa digerakkan kemanapun. Wajahku ditakdirkan hanya menghadap ke langit. Apa kau kira, ini bukan siksaan? Coba bayangkan, bung. Kalau hujan dan panas tidak ada pelindung wajahku. Hidungku jadi kubangan air. Burung-burung kurang ajar, seenaknya mampir dan berak di wajahku. Sayangnya, aku tidak suka memakan daging burung.
Lelaki tadi mendengarkan patung berbicara. Sepertinya, dia memahami jiwa patung, sahabatnya itu. Kalau ngambek tak mau lagi patung berbicara dengannya. Lebih baik mengalah sebentar, daripada rencananya gagal, hanya karena tidak sabar menyimak argumen sahabatnya itu. Jadi, lelaki kusam itu bertahan di tempatnya. Air hujan membasahi badannya. Rokok yang tadi bertengger di bibirnya pun terpental entah kemana. Situasi ini membuatnya jengah dan serba salah.
Maafkan, sebenarnya aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung, sobat. Aku hanya khawatir, kita terlambat memperbaiki kota. Aku sudah bicara dengan sejawatmu yang di kawasan Senayan, di Jalan Jenderal Sudirman, di Lapangan Banteng, dan di Lapangan Monumen Nasional. Mereka sepakat dengan rencana kita, seperti yang aku bicarakan kemarin. Intinya, kota ini harus kita perbaiki tanpa harus menunggu orang sok jago, dan mengaku mampu membereskannya. Bagaimana, apakah sudah bisa kita mulai pembahasan rencana final malam ini?
Begini bung, tidak ada yang sulit buatku dan kami para patung. Kami punya pengalaman seabrek, dan banyak tahu soal seluk-beluk kota ini. Bung mau tanya soal apa, kami bisa jawab. Dari soal pembuangan sampah, angkutan umum, jalanan becek, pangkalan preman, tempat tandatangan kontrak palsu, lokasi transaksi pejabat dan pengusaha yang menyogoknya, lokasi prostitusi, gedung kesenian, rumah ibadah, arena nongkrong anak sekolah yang suka bolos, markas copet dan maling, lokasi syuting film yang gratis tapi dipaksa bayar, dan lain-lain. Semua kami pelajari dan pantau duapuluhempat jam sehari, selama puluhan tahun.
Lelaki itu terbelalak mendengar penjelasan sobatnya yang keras kepala, dan tingginya 20 kali darinya. Tubuh kecil lelaki itu bergetar, antara menggigil karena kedinginan dan takjub dengan semua ocehan patung. Tetapi hal itu membuatnya semakin yakin, untuk merealisasikan rencananya. Dia sudah tidak mempersoalkan, apakah patung itu mau menatapnya saat berbicara, atau tidak. Pokoknya kota ini harus berubah.
Jangan terburu-buru, bung. Sabar. Pastikan semuanya berjalan on the track, sesuai skedul. Kalau semua sudah ready, go on!
Lelaki itu tidak sabar lagi. Tas ranselnya dibukanya pelan-pelan. Wajahnya antusias, sesekali dia melihat ke sekeliling arah. Lalu kembali fokus pada ransel yang dicangklong di dadanya. Dari dalam ransel dia keluarkan tas plastik kresek warna merah. Dia membuka tas plastik itu, dan mengeluarkan tas plastik warna hitam di dalamnya.
Ini dia yang akan mengubah kota ini!! Kau pasti tahu, apa isinya, sobat? Yah, dengan modal ini semuanya akan beres. Kau tidak bisa melihat yang kupegang? Baiklah aku jelaskan, ini bom rakitan, yang akan membuat semua patung di kota ini ambruk di saat yang sama. Jadi, bersiap-siaplah untuk turun dari atas sana. Tunggu aba-aba dariku selanjutnya.
Sedikit berlari kecil di antara hujan, lelaki itu menuju pondasi patung. Dia pastikan untuk meletakkan bungkusan itu di tempat yang tidak salah. Nafasnya memburu, wajahnya semakin dingin dan pucat, hatinya mungkin membeku lebih dulu. Dengan keyakinan, dia buka bungkusan tas kresek hitam digenggamannya, lalu meletakkannya perlahan persis dibawah patung. Suasana arus macet di jalan semakin berkurang. Kondisi ini sangat menguntungkan, jika ada hal-hal yang tak diinginkan, dia bisa berlari dalam beberapa detik tanpa ada yang mengetahui.
Tiba-tiba datang lima orang petugas Hansip dan langsung menyergap lelaki itu. Dia tak sempat kabur. Sang komandan menghardik lelaki itu, dan memerintahkan anggotanya membawa bungkusan yang diletakkannya tadi. Dengan sigap beberapa anggota hansip menyambar bungkusan tas plastik hitam, yang setelah diperiksa oleh mereka, berisi sisa-sisa makanan.
“Memang semakin banyak orang stress di Jakarta,” gerutu sang komandan sambil melompat ke bak mobil patroli.**
Bekasi, 12 April 2017 - Debat Final Pilkada DKI
Komentar
Posting Komentar