Langsung ke konten utama

Nasihat orang gila - Cerpen


Aku orang gila bersertifikat resmi. Segala hal yang berkaitan dengan kegilaan adalah milik dan duniaku. Cap sebagai orang gila, yang ditunjukkan orang-orang, melalui sikap dan ucapan mereka kepadaku, adalah bentuk apresiasi yang membanggakanku. Kalau ada orang gila di jalanan, atau orang mengaku gila tapi tak bisa menunjukkan sertifikat kegilaannya, maka belum sah secara hukum.

Sebagai orang gila yang berbadan hukum, tentu saja aku mendapatkan hak previlage, istimewanya kemudahan akses memasuki semua lini kehidupan sosial dan politik. 

Kadar gilaku berbeda dengan kebanyakan orang gila. Itu bisa kubuktikan dengan sertifikat gila yang kumiliki. Apa aku bangga dengan kegilaanku, yang sudah mendapat pengakuan secara nasional? Yaiyalah. Sertifikat yang kuterima dari Asosiasi Orang Gila sudah kubingkai dengan cantik di dalam kaca bening, kupajang di tembok ruang tamu rumahku, supaya mereka yang datang tahu siapa aku sebenarnya.

O, ya hampir saja lupa, kegilaanku bercitarasa tinggi, lho, Bukan ecek-ecek atau sembarangan. Bukan sekadar gila hormat, gila harta, gila judi, gila perempuan, gila seks, gila olahraga, atau gila pangkat dan jabatan, Ah, itu gak level!.

Orang gila semacam itu stratanya jauh dibawahku. Bukannya sombong atau mau pamer nih, aku gila bukan karena terpaksa atau apalagi cuma gara-gara dijanjikan iming-iming harta, tahta, dan wanita. Kegilaanku adalah dorongan suci dari dalam diri, ini adalah panggilan jiwaku. Idealismeku.

Sebagai orang gila, pengalamanku tidak diragukan lagi atau dianggap enteng, termasuk untuk mengerjakan tugas yang bagi sebagian banyak orang waras anggap susah. Aku bisa melakukannya semua, aku jadi suka kasihan melihat orang waras.

Aku mau sharing pengalaman, dengan mereka yang masih bingung mau jadi apa, atau mau ngapain? Aku bisikin rahasia ya, banyak kok yang datang minta tolong aku, dan syukurlah mereka yang dulu datang minta tolong, sekarang sudah sukses jadi wakil rakyat, menteri, pejabat, artis, dan beberapa profesi lainnya.

Pada prinsipnya, aku cukup terbuka dan fleksibel, kapanpun bisa diminta datang untuk memberi pelatihan, workshop atau apapun namanya itu, sehari juga tidak apa-apa, gratis tidak perlu bayar.

Kepada mereka yang tertarik untuk menjadi gila, aku sudah siapkan tips and trik. Bukan. Bukan asal-asalan seperti sekolah abal-abal itu. Setidaknya aku punya silabus pelatihan tentang bagaimana menjadi orang gila dengan cepat. Materi pelajaran bersumber dari buku-buku terjemahan dan buku lokal. Ada juga diktat dari calon mahasiswa yang tidak lulus. Pokoknya dijamin mudah diserap, gampang diterapkan.

Tagline dan mottoku: Tidak gila, maka uang kembali, ups!, sorry, tadi aku sudah bilang tidak pasang tarif alias gratis, kan? Ya namanya juga orang gila, mohon maklumlah. Yang pasti pengajaran dan pelatihan ini, semua aku dedikasikan untuk mempercepat proses pertumbuhan orang gila.

Jujur saja, aku, ah ini tidak masuk akal, dan tidak mungkin orang gila bisa berbohong dengan lancar. Aku ini kesepian dalam kedudukanku di puncak kegilaan. Kenikmatan sebagai orang gila kuraih dengan mudah.

Ada yang perlu surat zin proyek gedung olahraga, sini aku bereskan. Mau bikin kontrak proyek pembuatan Kartu Tanda Penduduk sistem elektronik, atau meloloskan pengadaaan alat kesehatan, pengadaaan alat berat dan sistem keamanan, percetakan buku agama, dan banyak proyek-proyek atas nama kemanusiaan, atas nama rakyat, dan lainnya. Semua proyek tidak kecil harganya, triliunan rupiah? Itu soal mudah buatku

Kehidupan orang gila kurasakan sangat hedonis dan glamour, penuh harmoni dan dihormati, banyak orang yang mengincar status gila, tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya, sehingga banyak yang tersasar salah jalan, akhirnya mereka berjalan lurus-lurus saja. Jiwa mereka pun merana sepanjang hayat. Gokil, kan cara-cara yang biasa itu?

Jangan kalian kira aku suka dan minta disembuhkan dari penyakit yang mengasyikkan ini. Apa, penyakit? Maaf, aku salah ucap, bukan, ini bukan sejenis koreng, panu, atau AIDS. Banyak dokter datang kepadaku, mereka katanya mau membenahi syaraf-syarafku yang menurut mereka agak bergeser, tapi semuanya aku tolak, aku meronta-ronta, minta keadilan dan mengajukan keberatan ke Dewan Perwakilan Orang Gila, mensomasi para dokter itu. Aku senang, akhirnya mereka para dokter itu, sekarang sudah menyadari kesalahannya, mereka jadi anak buahku, menuruti perintahku.

Bukan cuma dokter yang menjadi pasienku, seperti aku ceritakan tadi, profesi penting dan mulia seperti dukun, orang pinter, paranormal, tabib, atau apapun namanya, semuanya aku tolak ketika mereka mau meluruskan jiwa dan otakku.

Aku tolak semua itu demi kemaslahatan hidup dan integritasku sebagai orang gila. Pernah juga mereka melawan, aku tidak segan-segan menuntut ke pengadilan, dan yakin pasti menang di tingkat awal pengadilan, bahkan tidak sampai ada kasasi, apalagi proses hukum lainnya, karena banyak anak buahku di gedung pengadilan, dan aku selalu menang.

Tak sedikit teman-temanku di masa waras, akhirnya beralih ke dunia gila. Mereka semula  malu-malu kucing untuk bikin akun di media sosial twitter, facebook, instagram, whatsapp, path, dan lain-lain. Sekarang justru mereka sudah sepertiku. Narsisius dan kemaluannya jadi mengecil di dunia maya. Mereka gila jika status postingannya tidak dikomentari atau diberi kode 'like' oleh pemirsa, jangan heran kalau aku tidak suka memberi like atau mengomentari postingan status teman-temanku, kuharapkan mereka menjadi gila secara wajar dan elegan, penuh rasa tanggungjawab.

Mumpung ada orang gila sebaik aku, wahai kalian yang waras, coba renungkan nasihatku ini, jadilah orang gila yang wajar, jangan seperti orang waras yang berlaku gila itu. Lakukan saja sekarang, saat ini, detik ini, jangan buang waktu lagi, selamat memasuki dunia orang-orang gila. 

O, ya jangan lupa untuk berusaha mencapai prestasi gila setinggi-tingginya, agar kegilaan kalian diakui negara, kabari aku jika sudah dapat sertifikat, ya? **

Puri Harapan, 13 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala