Langsung ke konten utama

Film Bid’ah Cinta: Merawat cinta dengan bid’ah

Ayushita sebagai Khalida dan Ibnu Jamil sebagai Hasan di film "Bid'ah Cinta"
Wajah Islam di Indonesia terkenal sangat moderat dan dinamis. Beragam cara umat menerjemahkan ajaran Nabi Muhammad SAW, dalam pikiran dan tindakan mereka. Ada yang dengan kepala lurus ke depan, terkesan kaku. Bersahaja seakan sangat lunak, bahkan ada yang inovatif mencampurnya dengan tradisi nenek moyang. Dalam Islam, cara baru atau inovasi ini disebut bid’ah.

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah melakukan perbuatan tidak seperti yang diajarkan. Banyak jenis bid’ah di dalam kamus fiqih Islam. Di Indonesia penganut bid’ah tidak sedikit jumlahnya, yang menjadikan bid'ah sebagai motif beragama, demi kecintaan terhadap Islam. 

Perbedaan pemahaman meski bertujuan sama; mencintai Nabi Muhammad dan ajarannya – sering menyulut konflik horizontal di masyarakat. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam berpotensi menciptakan kehidupan sosial yang santun, tenteram, dan sikap toleransi yang tinggi.

Sayangnya, diantara penganut Islam ada yang sangat keras dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Merasa paling benar hingga dalam skala lebih luas, sikap seperti ini sering ditanggapi secara negatif oleh lingkungan dan orang-orang sekitarnya. Cap sebagai teroris pun melekat pada kelompok ini.

Penganut Islam juga saling curiga, tepatnya saling menjaga, mengintip gerakan dan cara beribadah masing-masing. Ekskalasi kecurigaan atas perbedaan inilah yang belakangan semakin tajam di ruang sosial negeri ini.

Berlatar cinta
Wajah Islam Indonesia yang diwakili masyarakat Jakarta menjadi latar cerita film Bid’ah Cinta. Sutradara Nurman Hakim dan Willawati (produser PT Kaninga Pictures) yang sama-sama santri, sepakat menghadirkan Islam yang penuh cinta dan toleransi melalui film ini. 

Nurman yang sebelumnya membuat film 3 Doa 3 Cinta, Khalifah, dan The Window menempatkan sejumlah karakter sebagai pengantar cerita. 

Hubungan asmara antara Khalida dan Kamal (diperankan oleh Ayushita Nugraha dan Dimas Aditya) menjadi latar depan. Hubungan itu terganggu oleh perbedaan pemahaman agama yang diajarkan kedua orangtua masing-masing. Setting cerita dan syuting film di kawasan Cipayung, Jakarta Timur yang disebut dalam film sebagai basisnya ahli bid’ah. 

Ayah Khalida adalah Haji Rohili (Fuad Idris), seorang ustad tradisional imam di masjid kampung. Dia mengajar baca Alquran, rajin bersolawat Nabi, mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad, menghidupkan musik kasidah ibu-ibu, tahlilan, hingga mengadakan acara malam Nisfu Syaban. 

Sedangkan bapaknya Kamal adalah Haji Jamat (Ronny P Tjandra) memiliki pandangan beragama Islam yang berbeda dengan ayah Khalida. Dia menyebut bid’ah apa yang diajarkan Haji Rohili.

Walau berbeda cara menjalankan ibadah, Haji Jamat dan Haji Rohili solat di masjid yang sama setiap hari. Hadirnya Ustad Jaiz (Alex Abbad) yang baru pulang belajar di Timur Tengah mulai mengubah kebiasaan lama di masjid. Ustad Jaiz adalah pamannya Kamal. Kedatangannya ke Jakarta dalam rangka ingin membuka gedung pendidikan, yang biayanya didapat dari luar negeri.

Perubahan aturan di masjid semakin ketat sejak kedatangan dua sahabat Ustad Jaiz, yang membantu sebagai takmir masjid. Akibatnya, masjid tempat Haji Rohili mengajarkan Islam tradisional mulai dikuasai ‘orang luar’.

Penguasaan masjid
Masjid dikuasai kelompok Ustad Jaiz, yang sebenarnya tidak mengenal secara baik ideologi kedua teman lamanya yang direkrut sebagai takmir masjid. Di belakang hari, salah satu kawannya jadi berita di tv saat terjadi aksi bom bunuh diri. Satu temannya lagi tertembak dalam aksi penyergapan teroris oleh aparat kepolisian.

Kehadiran takmir baru yang berfikiran radikal tersebut memicu perselisihan. Pelarangan diberlakukan untuk beberapa kegiatan. Sandra, seorang transgender diseret keluar masjid saat akan solat berjamaah dengan kaum ibu. Kaum ibu pemain kasidah diusir. Puncak konflik terjadi saat Haji Rohili akan mengadakan Nifsu Syaban di masjid. Kedua kubu tak menerima alasan masing-masing. Perkelahian pun terjadi di lingkungan masjid.

Film dengan tema yang sangat sensitif ini berakhir dengan sangat aman. Perselisihan kedua kubu dapat diredam dengan ishlah. Mereka saling memaafkan, berjanji untuk membiarkan masing-masing melakukan ibadahnya tanpa saling mengganggu.

Bagaimana hubungan Khalida dan Kamal? Keduanya pun melenggang ke perkawinan, meski sempat Khalida menunggu cinta Hasan (Ibnu Jamil) yang direstui sang ayah. Perkawinan mereka dihadiri oleh kubu Ustad Jaiz dan Haji Rohili. 

Untuk melengkapi kegembiraan pesta, dihadirkan tarian zapin yang juga dianggap bid’ah. Keindahan pesan film ini jelas tergambarkan, yaitu merawat cinta terhadap Islam dapat dilakukan dengan bid’ah sekalipun. Inilah wajah Islam di Indonesia.

Film Bid’ah Cinta menjadi segar dengan kehadiran dua pemuda kampung, Farouk dan Ketel diperankan oleh Wawan Cenut dan Norman Akyuwen. Kedunya suka mabuk namun berubah agamis dalam berpakaian sejak diajak kerja di toko milik Ustad Jaiz. 

Semangat keislaman keduanya melonjak pesat meski tidak didukung ilmu yang cukup. Mereka jadi berani melabrak Haji Rohili yang pernah sangat dihormati.

Bid’ah Cinta adalah potret keragaman Islam di Indonesia. Secara aktual pesan yang disampaikan berupaya membenahi benang kusut di dalamnya, tanpa harus nyinyir menghadirkan dogma, dalil dan ayat-ayat suci dalam percakapan para pemainnya. (imam)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala